Rabu, Agustus 17, 2016

00:10 // Kita Cari Velvet, Sekarang!


Bell pulang sekolah sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu. Tapi aku belum melihat Velvet sejak tadi. Barisan mobil pun berderet mengantri untuk keluar dari lapangan parkir ini. Sampai akhirnya hanya tersisa mobil yang ku kendarai, Chevrolet Camaro milik Dylan dan beberapa mobil lain yang dapat dihitung dengan jari. 

Aku mengeluarkan iphone yang dari tadi pagi belum ku sentuh, karena dalam waktu kegiatan belajar mengajar siswa-siswi dilarang untuk mengaktifkannya. Meskipun beberapa saat aku sering melanggar peraturan tersebut. 

Shit! Gimana gue mau nelpon kalo nomer aja gak punya! 


wtf. 

iphone hitam tersebut lemparkan dan mendarat mulus di jok pengemudi sementara tubuhku bersandar pada pintu. 

Kemana sih ni anjing satu. 

Set dah, bisa sampe besok pagi dah gue disini! 

Hingga akhirnya hanya tersisa mobil ku dan Camaron merah maroon di lapangan parkir ini. Dan, hm? 

Apa si Velvet-- Celeng? 

00:09 // Apa Alasannya Sam?

“AWAS BOLA!”

Hah?

DUG

 “aAww” Tanganku reflek mengelus kepala ku yang mulai cenat cenut, akibat lemparan bola dari.

“Gue bilang juga awas,” Summer menghampiriku yang duduk dipinggir lapangan basket.

“Telat.”

“Ya lagian, ga ikut main,”

Jangan tanyakan mengapa aku bisa berada di lapangan ini. Seharusnya aku sudah berada dirumah berleha-leha, bermain handphone dan apapun. Bukan terjebak ditempat ini. Meskipun Summer percaya bahwa aku tidak bisa bermain basket hari ini, Ia tetap menarikku untuk duduk menonton latihan basket hingga selesai. Itu berarti aku harus terjebak hingga pukul enam sore di sekolah. Dua jam dari . . sekarang.

“Vet, beliin minum gih!” Kata Summer dengan santainya.

“Ogah, emang gue babu lu,”

“Ya elah bantu temen sendiri,” Summer memberikan selembar uang sepuluh ribu didepan wajahku.

Ish. “Beli apa ini?”

“Es degan yang sebrang sekolah sama batagor,”

“Buset jauh amat!”

Summer menggoyangkan tangannya mem buat uang itu terjatuh dipanguanku. Jarak lapangan basket putri dan gerbang sekolah sangatlah jauh. Duluu sekali, sekolah hanya memiliki satu lapangan basket yang berada di halaman depan, namun baru tahun ajaran ini sekolah resmi membuka lapangan basket baru yang berada dibelakang sekolah untuk para siswi yang mengikuti ekstra bola basket.

Aku bediri dan melangkah melewati tengah lapangan basket, sebelum seseorang meneriaku namaku yang bersumber dari belakang.”VET!” Aku menoleh.

“Titip kelapa dong!”

“Gue juga”

“Iya gue juga”

“Satu lagi,”

“Gue batagor,”

“Gue kelapa,”

“Esnya dikit aja,”

“Gue juga,”

Taek. Gue bawa warungnya ae lah.

Jumat, Agustus 05, 2016

00:08 // Pretest


Si Juke telah memasuki lapangan parkir sekolah yang berada tepat di sebelah gedung sekolah.  Emir sibuk mencari slot parkir kosong, sementara aku sibuk mengunyah nasi goreng sambil memasang sepatu lalu menyisir rambut dengan jemari sebagai sisir . Saat mesin Juke telah padam, tas ransel sudah berada dipangkuanku dan bersiap untuk keluar.

“Gue keluar duluan,” Kataku masih sibuk bercermin memastikan wajahku cukup layak untuk di lihat warga sekolah. “Gue gak mau jadi omongan sekolah kalo gue berangkat bareng sama lo.”

Gerakan tangan Emir yang sedang membuat dasi  berhenti mendengar perkataanku. “tapi orang-orang bakal tau kalo gue sama lo tinggal satu rumah”

Kini aku yang berhenti mengaca dan memusatkan pandanganku pada abang nyolot satu ini. “Noway! Gak ada yang boleh tau!”

“Dylan? Falen?”

“Ya kecuali mereka,”

“Gue gak janji,”

Aku sudah sangat geram berdebat dengan Emir dan segala sanggahannya yang gak masuk akal.  “Apa sih mau lo”

Dia hanya mengangkat bahu sebagai jawaban atas pertanyaanku.”Pokoknya, di area sekolah, gue gak kenal lo, lo jangan pernah ganggu hidup gue.”  Aku membuka  pintu dan membanting dengan cukup keras pintu. Maafkeun aku telah merusak mobil mu, Tante Pal.

Memasuki gedung sekolah dan langung berjalan menuju kelas ku yang berada dilantai teratas, terpojok, dan terpencil itu. Hampir semua anak sudah berada duduk ditempat duduk seperti biasa, ya kecuali tempat ku yang berada dideretan dekat tembok. Summer sudah duduk dibangkunya, depan ku. Sementara aku tak tahu dimana keberadaan Naomi, yang jelas tas cantik nya sudah berada di meja sebelahku.

“Lo kemana aja njir? Gak pernah muncul di group,” Kata Summer setlah ia berhasil membalikan badannya ke belakang.

“Hm,” “Sibux gue,”

“Aek serah lo.”

Aku kembali meneguk susu kedelai yang tersisa setengah botol saat Summer berbalik badan menghadapku.

“Harus ya minum susu tiap pagi?” Katanya dengan pandangan serius tapi juga mengejek.

“Yaela, kaya ga kenal gue aja,”


00:07 // Pagi yang Melelahkan

Dengan langkah kecil sambil celinga celinguk. Untuk pertama kalinya aku memasuki kamar laki-laki! Ya laki-laki selain papa. Karena aku hanya anak tunggal dan tidak pernah menginap dirumah laki-laki.

Dalam bayanganku, kamar seorang anak laki-laki seumuran ku, pasti akan berantakan. Barang berserakan dilantai. Baju kotor disudut kamar, serpihan makanan diatas tempat tidur. Piring kotor tertumpuk diatas meja belajar. Kabel kabel stik ps yang menjulur ke semua lantai. Seperti kamar Dylan tadi.

Uh. Dylan! Dia laki-laki yang sangat baik dan dia sangat mengerti apa yang perempuan butuhkan. Yap. He treat me like . . Uh. I think i have crush--

"udah masuk!" Arg. And im pretty sure i hate this guy for a millions years. "Lo ngapain kek jangan ganggu gue. Main laptop. Baca majalah. gadgetan. Apa kek. Gue mau ti-dur!"


"Tapi laptop gue dirumah," Aku langsung angkat bicara saat mengingat macbook ku masih berada di laci meja belajarku semenjak aku jarang menggunakannya.

"ambil punya gue."

Senin, Agustus 01, 2016

00:06 // Ew. Are u jealous Mir?

Kenapa gue . . .

Belum ada 24 jam Dylan dan Velvet saling kenal dan mereka sudah seperti pasangan sehidup semati seperti itu?

Ew. Are u jealous Mir? WTF!
Lo jealous sama anak bawel kaya dia?

Setelah selesai menonton beberapa film di rumah Dylan. Aku mengendarai mobil Uncle Brian menuju rumah baru ku, seperti biasa. Satu hal yang tidak biasa. Aku membawa seorang gadis dalam mobil ini. Ia terlelap, menyenderkan kepalanya pada pintu mobil dengan wajah yang terlihat sangat lelah.

Sekitar pukul sebelas mobil ini sudah berhenti di rumah nya. Rumah sudah sangat sepi. Sepertinya Uncle Brian belum kembali. Aku kembali memerhatikan gadis yang masih saja terlelap disampingku.

"Heh." Aku memukul kecil lengannya. "Kebo! Bangun."

Velvet tak bergerak sedikit pun.

00:05 // Pro Evolution Soccer

toktok.

hm.

toktok.

hmm.

"eh, ngapain di--"

 hoam.
duh pegel banget ni badan.

Aku mencoba memulai merasakan dunia sekitar. Ohya. Tidur di jok pengemudi adalah salah satu hal yang buruk. Kaki disilangkan di atas jok membuat kesemutan. Kepala yang bersandar distir, tangan yang terjulur hingga dasboard dan rambut yang pasti menjulur acak-acakan. Dan he?! Siapa orang yang mengintip di kaca sebelahku?!

"Brisikk. ." "Klakson. . " Dia bertingkah menutup telinga dan berputar-putar tak jelas.

Aku mengangkat kepala yang sangat berat dan menyenderkannya di jok. Tidur yang sangat lama. Sangat. . Mungkin. Setidaknya aku bisa memastikan pria-pria ini tak pergi tidak akan pernah muncul keluar dari rumah ini, kecuali seorang pria yang masih mengetokngetok kaca mobil dengan brisiknya. Menambah beban kepalaku.

Dengan setengah kesadaran, aku membuka pintu dan turun dari mobil yang ku perkirakan masih dalam keadaan mesin menyala. Maafkan Velvet, Om Brian. Salahkan ponakanmu jika mobil ini rusak.

"Lo siapa? Ngapain tidur di dalem? Kenapa bisa di mobil Emir? Kenapa gak masuk? Lo tau gak sih klaksonnya bunyi?! Untuk yang dateng gue, bukan anak kampung sebelah. Brisik tau gak? Eh. Bukannya lo yang nabrak Emir waktu--"

Bawel lah abang, cipok nih.


00:04 // Satpam Selamat Datang

Sunday morning, rain is falling

Suara merdu abang adam sangat menghangatkan minggu pagi ini yang diguyur hujan ringan.

 Steal some covers, share some skin
 Clouds are shrouding us in moments unforgettable
 You twist to fit the mold that I am in

 But things just get so crazy, living life gets hard to do
 And I would gladly hit the road, get up and go if I knew

 That someday it would lead me back to you
 That someday it would lead me back to youuu

That may be all I need
 In darkness, she is all I see
 Come and rest your bones with me
 Driving slow on Sunday morning
 And I never want to leave

 Duh.

Gak kuku adek, bang.

"Velvet, garpunya buat nyuap spaghetti ke mulut, bukan cuma buat ngadukngaduk,"

Yaela. Abang gojek juga tau tan. Abang Adam juga tau.

"Gak enak spaghettinya?"

Ett. Ini spaghetti udah kaya buatan masterchef dibilang ga enak. "Enggaa! Lagi dengerin Abang Adam nyanyi,"

"Abang Adam siapa?" Tanya Tante Pal yang kini menatapku aneh.

"Dia emang punya dunia sendiri, biarin aja."

Eh. Abang goclean baru bangun.

Ia turun dari tangga dan berjalan menuju meja makan dimana aku dan Tante Pal memakan spaghetti kita masing-masing. Ralat, hanya Tante Pal yang memakannya. Sementara aku hanya mengadukaduknya karna saking terpesona mendengar suara surga yang turun dari speaker di ruang makan ini. Abang goclean menatapku sinis sambil mengangat sedikit ujung bibirnya saat melewatiku dan duduk disebelahku. Seketika wangi coconut semerbak disetiap sudut udara dibumi ini.

Dia sudah berganti pakaian dengan kaos abu-abu dan boxer hijau bergambar melon.

Seger bang.

Pen bet digigit dah melonnya.

00:03 // Tragedi Berdarah

"Huaaaah!"

Aku menggerakan badan dan membenarkan posisi menjadi bersandar di kepala tempat tidur yang suangaat nyaman ini. Sial. Jam berapa ini?! 

Tidak ada jam didinding, tak ada jam dimana pun! Kenapa dunia ku selalu buta akan jam. Aku merogoh tas ransel untuk mengambil iphone. And. Its dead.

Aku memberanikan diri untuk turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar dan hei. Ada empat pintu yang sama seperti kamarku dan Tante Pal belum menjelaskannya kemarin. Sepertinya. Aku kembali mengumpulkan keberanian berjalan menyusuri tangga turun. Gelap. Hanya terdapat beberapa lampu di sudut ruangan ini. Tak ada tanda-tanda kehidupan dilantai ini. Tapi sepertinya aku mendengar sesuatu.

Langkahku terus berjalan mendekati sumber suara dan akhirnya aku menemukan pusat suara dan cahaya dari televisi yang masih menyala , sendiri. Tak ada orang di sofa. Beberapa bantal terletak dilantai. Sebuah selimut yang tergulung asal diatas sofa. Dan film yang terus berputar. Sekarang aku telah duduk manis ditengah sofa yang berhadapan lurus dengan televisi itu, menikmati tontonan yang entah mengapa menjadi sedikit seram karena suara yang ditimbulkannya dan juga layar televisi yang menyorot ruangan gelap gulita sama seperti rumah ini. Hm. Horror movie? Aku mencoba menyenderkan punggu dan membiarkan kedua kaki berada dibawah meja tak terlalu tinggi antara ku dengan televisi yang tertempel di dinding.

Alah gelap terus! Mana ceritanya!

Gini doang mah, gue juga bisa bikin film horor!

Rugi ni nonton.

Tanganku mencoba meraih remot diatas meja, nihil. Aku mecoba dengan kedua kakiku yang seperti capit. Membuat remote jatuh dibawah meja. Dengan berat hati aku harus meninggalkan posisi wenak ini.

"AAAAAaAAAAAaAAaAaaa"

JEDUG!

Syit.

Benjol dah pala berbi.


00:02 // Homeyy

Lets do this!

Dua koper, satu ransel, satu dus, dan satu totebag.

Cukup lah ya buat lima bulan kedepan. Tapi nanti kalau barang ku kebanyakan gimana ya? Kalo kamarnya ga muat gimana? Haduhh. 

"Yuk?" Wajah mama kini terpantul dari cermin mini walk closet ku, ia duduk ditepi ranjangku dengan senyuman yang tak pernah hilang dari wajahnya. "Papa nunggu di mobil,"

"Ma, ini cukup gak?"

Ia hanya mengangguk lalu tersenyum lagi. "Kamu masih bisa ke rumah, setiap sabtu Mbak Mai kan kesini,"

Hmm. Tul ugha.

Tingtong. Tingtong.

Papa, Mama dan tentunya aku sudah berada didepan pintu rumah Tante Pal yang terdengar sunyi senyap tak ada kehidupan. Tak ada satu mobil pun yang terparkir diluar hmph.

"TANTE PAAAAAAL!"

"Hust, tata krama Velvet,"

00:01 // Nasi Goreng ku Sayang

Hoam.

Jam berapa sih ini?

toktoktok. 

"Velvet! Ayo sarapan! Mama papa mau ngomong sesuatu!"

toktoktok.

"Hmm. . . "

"Velvet sayang,"

"Ya ma,"

Beginilah gambaran hidup ku setiap harinya. Oh, mungkin juga tidak. Mama jarang sekali membangunkanku untuk sekolah. Kecuali ketika mama berangkat agak siang, mungkin seperti saat ini. Hari-hari ku selalu dibangunkan oleh Mbak Mai. Dia datang setelah mama papa pergi ke kantor. Dan catat, mereka pergi ke kantor sebelum matahari terbit. Jadi setidaknya aku tak harus bangun dengan mata panda disaat aku mengidap insomia hampir setiap malam. Dan aku baru bisa terlelap saat mendengar suara mesin mobil yang memasuki garasi rumah. Itu bertanda mereka sudah pulang.

Rabu, Juli 13, 2016

EmirLoveStory: "Stay, He Said" - PART 14




Emir's POV

"Nona Bianca dilantai tiga tuan,"

Aku segera melangkah menuju lift. Perjalanan yang sangat melelahkan. Lombok Jakarta itu lumayan jauh. Ya meskipun dengan jet pribadi tapi sama saja! Andai Cat menemaniku sepanjang perjalanan seperti dulu, meskipun saling diam. Namun aku menyukainya,

Ting.

Langkah kakiku yang besar segera memasuki lorong rumah sakit ini. Dan saat aku membuka pintu, Bianca tergeletak diatas ranjang tidak berdaya. Rianti tertidur disofa dengan wajah yang lelah.

Dasar anak bodoh!

Aku berdiri kaku disamping ranjangnya. Pergelangan tangan kanannya menempel selang infus dan sementara yang kiri terdapat perban disana yang masih ada bercak merahnya.

"kenapa harus bunuh diri kalau ujung-ujungnya masuk rumah sakit bodoh!" Aku sudah tak tahan menahan emosiku didepannya.

"Jangan berbicara seperti itu nak, bagaimanapun dia calon pendamping hidupku, ia merindukanmu.." Aku tahu itu suara Ranti. Mungkin ia terbangun gara-gara gertakanku.

"Dia bukan calon istriku, camkan itu!"

"Emir.. Bisakah kau membuka sedikit hati untuknya?"

"membuka hati untuk wanita ini? Saat ini saja dia sudah mencoba  membunuh diri sendiri! Bagaimana kalau ia membunuh anak kita kelak? Hah!"

Ranti menghembuskan napas dengan kasar. Aku yakin ia sangat frustasi mempunyai anak sepertiku.

"Tapi kau kemari karena kau khawatir kan?"

Aku terseyum remeh. "Lebih tepatnya seseorang yang ku cintai mengkhawatirkannya,"