Rabu, Agustus 17, 2016

00:09 // Apa Alasannya Sam?

“AWAS BOLA!”

Hah?

DUG

 “aAww” Tanganku reflek mengelus kepala ku yang mulai cenat cenut, akibat lemparan bola dari.

“Gue bilang juga awas,” Summer menghampiriku yang duduk dipinggir lapangan basket.

“Telat.”

“Ya lagian, ga ikut main,”

Jangan tanyakan mengapa aku bisa berada di lapangan ini. Seharusnya aku sudah berada dirumah berleha-leha, bermain handphone dan apapun. Bukan terjebak ditempat ini. Meskipun Summer percaya bahwa aku tidak bisa bermain basket hari ini, Ia tetap menarikku untuk duduk menonton latihan basket hingga selesai. Itu berarti aku harus terjebak hingga pukul enam sore di sekolah. Dua jam dari . . sekarang.

“Vet, beliin minum gih!” Kata Summer dengan santainya.

“Ogah, emang gue babu lu,”

“Ya elah bantu temen sendiri,” Summer memberikan selembar uang sepuluh ribu didepan wajahku.

Ish. “Beli apa ini?”

“Es degan yang sebrang sekolah sama batagor,”

“Buset jauh amat!”

Summer menggoyangkan tangannya mem buat uang itu terjatuh dipanguanku. Jarak lapangan basket putri dan gerbang sekolah sangatlah jauh. Duluu sekali, sekolah hanya memiliki satu lapangan basket yang berada di halaman depan, namun baru tahun ajaran ini sekolah resmi membuka lapangan basket baru yang berada dibelakang sekolah untuk para siswi yang mengikuti ekstra bola basket.

Aku bediri dan melangkah melewati tengah lapangan basket, sebelum seseorang meneriaku namaku yang bersumber dari belakang.”VET!” Aku menoleh.

“Titip kelapa dong!”

“Gue juga”

“Iya gue juga”

“Satu lagi,”

“Gue batagor,”

“Gue kelapa,”

“Esnya dikit aja,”

“Gue juga,”

Taek. Gue bawa warungnya ae lah.




“Sini duitnya!”

Sepertinya aku mengalami kenaikan jabatan, dari pemain menjadi asisten. Asisten pemain. Eh geblek, itu turun jabatan bege.Aku segera bergegas meninggalkan lapangan basket sebelum anak-anak lain yang malas berjalan, ikut menitipkan jajannya kepada ku. Setelah menyebrang dan syukurlah warung es kepala muda tak ada yang mengantri, jadi setidaknya aku tidak harus menunggu untuk waktu yang lebih lama.

“Bang, Es degan delapan dibungkus. “ “Tambah empat yang esnya dikit,” Kataku kepada abang degan.

“Buset, mau kulakan apa,” Sebuah suara yang pernah ku dengar membuatku menoleh ke samping saat aku telah selesai menyebutkan pesanan.

“Vet?” “Velvet kan?” Katanya yang kaget melihat ku yang memesan minuman sebanyak itu.

“Apaan si Len, kaya ga pernah liat gue aja,”

“Vet! Lo dari tadi dicariin Emir!”

Wat?

Kesambet apa tiba-tiba dia nyariin gue?

Falen langsung menarik pergelangan tanganku meninggalkan warung, “Bang, bungkusin dulu, ntar kita balik,” Katanya lalu aku berjalan beberapa langkah. Dan memasuki sebuah kafe kecil ditepi jalan. Cukup kecil, halaman parkir hanya cukup untuk tiga-empat mobil. Sebuah Juke terparkir disalah satu slot kosong, dan aku yakin itu adalah mobil Tante Pal. Aku teratik hingga dalam café, aroma kopi sangat kuat tercium, Falen menarik ku menuju salah satu meja dan menemukan sosok Emir disana, sendiri.

“Nih, gak usah telpon 911, udah ketemu orangnya,”

Emir mengangkat kepalanya dan mata coklat pekat itu bertubrukan dengan mataku. Kami saling melihat untuk beberapa detik tanpa bicara dan melakukan apa-apa. Membuatku menjadi gugup, paru-paru ku menjadi berhenti menarik udara.

“Lokemanaja?!”

“Eh, Um..” Back to earth! “Mm. .”

“Ngomongpansi?” Emir mulai membentak ku, lagi.

“mmhmm itu, gu-gue—“

“Lo tau? Gue, Falen, Dylan, udah nyari lo ke semua tempat! Tapi lo ga ada! Gue nyuruh anak-anak lain buat nyari lo juga!” Menyelesaikan kalimat itu, Emir berdiri. Dia membuang napas dengan kasar. “Nih hape lo,” Sebuah suara benda yang membentur meja kayu ini terdengar cukup keras. “Kenapa lo Cuma bisa jadi beban hidup gu—?!” Emir membuang pandangannya dari mataku lalu pada detik berikutnya kembali menintimndasiku dengan matanya. “Udah cepet balik! Manataslo?!”

 Aku masih membisu, tak bergrak sedikitpun.

“Em. . Mir lo pulang dulu aja,” Aku mencoba mengambil napas dan mengatur semua sistem ditubuhku yang beberapa detik lalu sempat berhenti. “G-Gue masih ada la—“ Emir mencengkram lenganku dengan raut wajahnya yang sangat membuat aku takut.

“Dimanataslo?”

“Mir, stop mir stop,” Sebuah tangan lain melepaskan jemari Emir dari tubuhku. “Velvet udah ketemu kan? Biar dia ambil tas sendiri,”

Tatapan tak percaya terpancar dari wajah Emir, “Bagus! Sekarang lo belain dia,” Dia melemparkan telunjuknya tepat didepan wajahku. “Yang baru kenal dua hari sama lo! Dibanding gue—“

“Sekarang yang jadi masalah, bukan gue ada di pihak lo atau dia,” Katanya dengan nada yang tenang. “Tapi gimana sikap lo ke Velvet—“

“Emang sikap gue harus gimana?!” “Lo gak usah sok jadi penyelamat. Lo gak usah sok ngajarin gue, kalo lo gak bisa jaga sikap lo sendiri.” Emir memberikan penekanan dalam setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya,

“Ada yang salah dari sikap gue?” “Salah kalo gue mau jadi penyelamat Velvet? Salah kalo gue ngajarin lo gimana memperlakukan wanita—“

 “Lo pikir gue gak ngerti, lo mesra-mesraan sama dia cuma buat—“

“woow woow,” Dylan memotong kalimat Emir. Kenapa mereka sangat senang memotong ucapan orang lain huh? “Jangan nambah masalah, urusan kita ini belom selesai sob,”

“Bacot lo leng, ini urusan gue, Velvet tanggung jawab gue,”

Aku mengerutkan alis. Sejak kapan gue tanggung jawab Emir? Drama macam apa yang sedang terjadi ini! “Bukannya gue cuma jadi beban hidup lo—“

“Diem lo!” Dia membentak ku sekali lagi, membuat aku tercekat dan benar-benar takut melihat tatapannya yang sangat mengintimindasi itu. “Gue ke mobil.” “Terserah lo mau ikut apa gak,”

Emir berjalan meninggalkan kami bertiga yang hanya berdiri diam ditempat kami masing-masing.

“G-gue bisa pulang sendiri,” Pada akhirnya aku melontarkan kalimat itu saat Emir berada diambang pintu keluar yang tak jauh dari tempatku berdiri. Dia memalingkan wajahnya, sehingga mata kita saling bertemu.

“You know Vet, thats wrong choice,” setelahnya Emir benar-benar hilang dari pandanganku.

Tanganku meremas gulungan uang dengan kencang. Aku tak tahu apa sebenarnya membuat Emir bisa begitu marah padaku. Apa karena aku terlambat pulang? Atau aku tak meberi kabar? Atau karena masalah iphone kita yang tertukar? Atau apa? Lalu kenapa Dylan juga ikut terkena imbasnya? ARGH.

Terlalu banyak atau di dunia ini.

Aku menoleh saat pundakku tersentuh, Dylan berdiri disampingku, Falen berdiri dibelakang Dylan. Mereka berdua diam, kami semua diam. Tak ada yang membuka percakapan. Aku pun tak tahu harus berkata apa.

“Mm. .” “G-gue harus ambil pesenan dulu,”

Dylan menggangguk lemah, “Gue mau bayar minuman,”

Aku balas dengan satu anggukan, Dylan melangkah berlawanan arah denganku. “Tunggu Vet! Gue juga mau beli es kelapa juga!”

Falen berlari kecil kerahku yang  baru memegang gagang pintu. Akhirnya, aku berjalan dalam diam bersama Falen menuju warung es degan. Semua es kelapa muda yang ku pesan sudah dibungkus rapih dan dimasukan dalam tiga kantung plastik hitam. Falen mengambil dua kantung dari tangan abang degan, lalu ia memesan satu es kelapa muda untuk dirinya. Lalu kita berjalan menuju abang batagor dan membuskuskan beberapa pesanan. Semoga saja apa yang aku pesankan tidak kurang atau pun lebih.

Setelah semua batagor dibungkus, Falen dan aku menyusuri lorong demi lorong hingga mencapai lapangan basket. Anak-anak langsung mengerubungiku dan Falen  mengambil pesanannya, ada beberapa tatapan bingung melihat seorang Falen berada disini. Falen yang notabene sebagai anggota gang terbastard seantareo dunia. Tidak banyak yang mengetahui sifat asli Falen yang lawak, receh dan friendly itu. Mungkin karena tertutup oleh sifat teman-temannya yang cool dan cuek dan badass itu. Tapi, saat Falen hanya diam dan tersenyum tanpa mengeluarkan satu lawakan pun, dia juga tak kalah seperti teman gang nya yang lain.

Kantung plastik yang kami bawa sudah kosong, anak-anak sudah kembali ke kegiatannya masing-masing. Summer berjalan kearahku, dia mengambil satu bungkus es degan yang tersisa ditanganku. Dia berdeham  saat membuka buskusan es itu.

“O-oh, ya,” Aku tersadar apa arti tatapan Summer kepadaku, “Samer ini Falen, temen gue. Falen ini Summer sahabat gue,”

Mereka saling berjabat tangan, Summer kembali menyeruput es degan, sementara Falen memerhatikan beberapa pemain yang memasuki lapangan.

“Beli ginian aja lama betul,” Kata Summer.

“Y-ya,” Aku melihat ke arah Falen yang masih fokus dengan pertandingan di lapangan. “Ada— Ngantri tadi banyak banget,”

“Hmm. . .” Summer memandang ke arah ku dan Falen bergantian lalu menunjuk Falen dengan dagunya. Setelah ini pasti Summer akan meminta penjelasan secara rinci. Namun, mungkin aku belum siap untuk menjelaskan kejadian yang baru saja terjadi. 

“Falen,” Ia menengok. “Kalo lo mau balik,” Aku mengangguk. “Gue bisa pulang sendiri,”

“Oh, yaudah,” Katanya dengan kikuk. “Gue juga harus bertempur dimedan perang abis ini,”

Falen dan aku terkekeh, Aku tahu apa yang dimaksud medan perang. Dua sahabatnya tengah berperang. Dan dia lah satu-satu nya orang yang dekat dengan keduanya. Falen lah yang harus jadi penengah dan membantu menyelesaikan perang ini. Aku mengangguk.

“Kalo ada apa-apa, line gue atau Dylan lewat line Emir, mungkin?”

Aku mengangguk, meskipun aku belum melihat handphone yang aku bawa dari tadi pagi milik siapa. Lalu setelahnya Ia mengacak-acak rambutku, “Jangan cemberut, ntar gak ada yang bisa gue recehin lagi,” Aku membalas dengan senyum sebisa ku. Lalu ia melangkah pergi.

Aku mengangkat kepalaku dan langsung bertatapan dengan Summer yang memelototkan matanya kearahku.

“Apa-apaan ini? Apa hubungannya lo, Falen? Dylan? Emir? Kenapa lo bisa— Gimana bisa Falen disini? Apa maksud Falen—  Kenapa hape Emir bisa di lo? Kenapa lo gak cerita dari awal sih Vet?”

Bibirku tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Aku tak tahu harus memulai dari mana. Semua begitu rumit dan saling terhubung. Arg.

Dengan langkah kecil aku meninggalkan Summer berjalan menuju bangku pemain, merogoh tas, mencari handphone yang  tertukar.

 Aku menemukan sebuah iphone hitam dalam tasku. Persis. Iphone ku dan Emir sama persis. Hitam polos tak ada pernak-pernik. Tak ada bedanya jika dilihat sekilas. Yang membedakan nya adalah lock  screen dan wallpaper iphone ini. Beberapa notification masuk menimbulkan bunyi yang berentet. Aku membuka line dan membaca beberapa nama groupchat, multiple chat dan personal chat yang masuk.

Aku membuka sebuah group chat, yang diberi nama taekotok. Aku terkekeh. Group yang berisikan empat orang, Emir Mahira, Kalistus Falen, Dylan A. dan what?! Sejak kapan Velvet Kadyarina menjadi anggota group taekotok?! WTF.

Velvet Kadyarina joined the group.

Kalistus Falen: Lapor bos,

Kalistus Falen: tidak ditemukan secercah kahidupan dilantai dua bos

Velvet Kadyarina:cari lagi nyet! Lo pasti longkapin satu kelas

Dylan A: Gak ada velvet di lantai bawah

Dylan A: Gue udah nyuruh anak2 lain cari disekitar sekolah,

Kalistus Falen: Yaampun bosss

Kalistus Falen: Ane udah jongkok kali2 Velvet sembunyi di kolong

Velvet Kadyarina: Monyett

Velvet Kadyarina: Gausah ngereceh  nyet

Dylan A: semua tempat udah gue cari, tinggal kamar mandi

Kalistus Falen: aku gak lagi ngelawak kak, jangan di ketawain

Velvet Kadyarina: Masuk ke kamar mandi! Pasti dia disana!

Dylan A: Anak basket pada ganti baju

Kalistus Falen: Wakwkakwk lumayan lah cuci mata

Dylan A: Matalu

Velvet Kadyarina: Nyet lo bantuin si celeng nyari semua tempat di sekolah

Kalistus Falen: okidoki

Kalistus Falen: Lo dimana bang?

Velvet Kadyarina: Gue lagi di jalan

Tak ada chat beberapa menit setelahnya,

Velvet Kadyarina: Gue gak nemu

Velvet Kadyarina: kumpul di tempat biasa

Velvet Kadyarina: asap

Dylan A: K otw

Kalistus Falen: Tunggu!

Kalistus Falen: Ane ngidam es kelapa

Dylan A: Kampret

Velvet Kadyarina: lo dimana leng?  Gue udah sampe

Dylan A: Gue ngumpulin anak2 dulu,


Tulalut. Tulalut.

Tulalut. Tulalut.

Brian is calling.

Mampus.


Tulalut. Tulalut.

TUT.

“Halo Emir,”



“Mir?”



“Hallo Emir?”

“Y-ya Om?”



“Maaf, dengan siapa saya berbicara?”

“Ini . . Velvet om, yang tinggal—“ Aku melihat sekelilingku, Summer berdiri  bebrapa langkah menghadap kearahku . Aku yakin, dia bisa mendengar segala ucapanku setelah ini.

“Oh! Ya, Velvet!” “Loh, kenapa handphone Emir bisa di kamu?”

“I-iya tadi dia salah ambil handphone om, ehehe. .” Aku mencoba tertawa meskipun terkesan terpaksa.

“Oh, ya sudah,” “Gimana di rumah? nyaman aman terkendali kan? Hahaha. . ” Terdengar tawa dari sebrang telepon.

“Hahaha,” Terkesan terpaksa, lagi. “Aman, om.” Aman apaan. Velvet  bisa diusir kali ntar malem.

“Baguslah,” “Ohya, om lagi di Tokyo,”

Wadoh. “Ngapain om?” Enak betul jalan-jalan ninggalin Tante Pal sendirian dirumah ngurus anak dua yang ga pernah aku ini, betapa jahatnya semua laki-laki didunia ini. .

“Om abis kerjaa,”

“Kok kerja jauh-jauh sih om?”

“Kalo kerja om deket-deket, gak kerja bisa kerja dong,”

LOH. “Maksudnya?”

“Om kan pilot Velvet. . . kalo kerjaannya cuma jarak sekolah ke rumah mana bisa pake pesawat,”

Krik. Pea lu vet. Pantes ae punya rumah segede lapangan bola. Mobil dua pintu lagi. Pantes.

 “WOWW, Velvet baru tau ommm! Howw cool!” Terdengar tawa lagi dari seberang sana. “Titip coklat om yang banyakk! Kitkat rasa apapunn! Greentea kalo ga rasa oreo atau yang rasa cabe keknya ada omm! Gatau deh om  hahahah,” Aku tertawa. Tertawa lepas. “Kalo gak gantungan kunci, baju-baju tulisan Tokyo juga gapapa om, cemilan yang penting jangan lupaa!”

Ternyata Om Brian juga tertawa, lagi. “Yaa Vet, kamu bawel ya,”

“Hahahaha, kaya gak tau  Velvet aja om!” “Kapan kesini?”

“Lusa,”

“YEEEEYY! Jangan lupa titipan Velvet yaaaa. . .”

“Hahaha, iya, yasudah, Om tutup ya telponnya, mahal nih,”

Eee. Kaya-kaya pelit uga.

“Ayayy Captain!”  “Trimakasih,” udah bikin mood Velvet naik, dikit.

“Makasih buat apa?”

“Gapapa, udah om bayarnya mahal. Byeee!”

TUT.

“Sampe kapan mau lari dari masalah?”

Aku terenyak dalam pertanyaan Summer. Apa selama ini gue lari dari masalah?

Selesai latihan basket, Summer memberi tumpangan untuk ku menuju rumah Tante Pal, rumah Om Brian. Aku menceritakan semuanya selama perjalanan pulang. Summer pendengar yang baik, dia tipe orang  tak suka memotong cerita orang lain. Dia hanya perlu mendengar dan berbicara seperlunya.  DIa sahabat yang cuek, dan stay cool didepan orang lain. Membuatnya menjadi kapten basket yang dikagumi banyak kaum adam di sekolah.

“Menurut gue, gak ada yang salah disini.” “Mungkin dia punya alasan kenapa dia bisa— gini?”

Apa alasannya Sam?

Aku melihat di garasi mobil yang terbuka, hanya terdapat mobil sport Om Brian. Berarti Emir belum pulang.

“Naomi tau?”

Aku menggeleng. Mobil yang kami tumpangi sudah berada didepan rumah minimalis yang sangat besar ini. “Nanti, kalau waktunya tepat, gue pasti cerita,”

Dia mengangguk.

“Makasih, Sam,”


Dia membalasnya dengan senyuman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar