“AWAS BOLA!”
Hah?
DUG
“aAww” Tanganku
reflek mengelus kepala ku yang mulai cenat cenut, akibat lemparan bola dari.
“Gue bilang juga awas,” Summer menghampiriku yang duduk
dipinggir lapangan basket.
“Telat.”
“Ya lagian, ga ikut main,”
Jangan tanyakan mengapa aku bisa berada di lapangan ini.
Seharusnya aku sudah berada dirumah berleha-leha, bermain handphone dan apapun.
Bukan terjebak ditempat ini. Meskipun Summer percaya bahwa aku tidak bisa
bermain basket hari ini, Ia tetap menarikku untuk duduk menonton latihan basket
hingga selesai. Itu berarti aku harus terjebak hingga pukul enam sore di
sekolah. Dua jam dari . . sekarang.
“Vet, beliin minum gih!” Kata Summer dengan santainya.
“Ogah, emang gue babu lu,”
“Ya elah bantu temen sendiri,” Summer memberikan selembar
uang sepuluh ribu didepan wajahku.
Ish. “Beli apa
ini?”
“Es degan yang sebrang sekolah sama batagor,”
“Buset jauh amat!”
Summer menggoyangkan tangannya mem buat uang itu terjatuh
dipanguanku. Jarak lapangan basket putri dan gerbang sekolah sangatlah jauh.
Duluu sekali, sekolah hanya memiliki satu lapangan basket yang berada di
halaman depan, namun baru tahun ajaran ini sekolah resmi membuka lapangan
basket baru yang berada dibelakang sekolah untuk para siswi yang mengikuti
ekstra bola basket.
Aku bediri dan melangkah melewati tengah lapangan basket,
sebelum seseorang meneriaku namaku yang bersumber dari belakang.”VET!” Aku
menoleh.
“Titip kelapa dong!”
“Gue juga”
“Iya gue juga”
“Satu lagi,”
“Gue batagor,”
“Gue kelapa,”
“Esnya dikit aja,”
“Gue juga,”
Taek. Gue bawa
warungnya ae lah.
“Sini duitnya!”
Sepertinya aku mengalami kenaikan jabatan, dari pemain
menjadi asisten. Asisten pemain. Eh
geblek, itu turun jabatan bege.Aku segera bergegas meninggalkan lapangan
basket sebelum anak-anak lain yang malas berjalan, ikut menitipkan jajannya
kepada ku. Setelah menyebrang dan syukurlah warung es kepala muda tak ada yang
mengantri, jadi setidaknya aku tidak harus menunggu untuk waktu yang lebih
lama.
“Bang, Es degan delapan dibungkus. “ “Tambah empat yang
esnya dikit,” Kataku kepada abang degan.
“Buset, mau kulakan apa,” Sebuah suara yang pernah ku dengar
membuatku menoleh ke samping saat aku telah selesai menyebutkan pesanan.
“Vet?” “Velvet kan?” Katanya yang kaget melihat ku yang
memesan minuman sebanyak itu.
“Apaan si Len, kaya ga pernah liat gue aja,”
“Vet! Lo dari tadi dicariin Emir!”
Wat?
Kesambet apa tiba-tiba
dia nyariin gue?
Falen langsung menarik pergelangan tanganku meninggalkan
warung, “Bang, bungkusin dulu, ntar kita balik,” Katanya lalu aku berjalan
beberapa langkah. Dan memasuki sebuah kafe kecil ditepi jalan. Cukup kecil,
halaman parkir hanya cukup untuk tiga-empat mobil. Sebuah Juke terparkir
disalah satu slot kosong, dan aku yakin itu adalah mobil Tante Pal. Aku teratik
hingga dalam café, aroma kopi sangat kuat tercium, Falen menarik ku menuju
salah satu meja dan menemukan sosok Emir disana, sendiri.
“Nih, gak usah telpon 911, udah ketemu orangnya,”
Emir mengangkat kepalanya dan mata coklat pekat itu
bertubrukan dengan mataku. Kami saling melihat untuk beberapa detik tanpa
bicara dan melakukan apa-apa. Membuatku menjadi gugup, paru-paru ku menjadi
berhenti menarik udara.
“Lokemanaja?!”
“Eh, Um..” Back to
earth! “Mm. .”
“Ngomongpansi?” Emir mulai membentak ku, lagi.
“mmhmm itu, gu-gue—“
“Lo tau? Gue, Falen, Dylan, udah nyari lo ke semua tempat!
Tapi lo ga ada! Gue nyuruh anak-anak lain buat nyari lo juga!” Menyelesaikan
kalimat itu, Emir berdiri. Dia membuang napas dengan kasar. “Nih hape lo,”
Sebuah suara benda yang membentur meja kayu ini terdengar cukup keras. “Kenapa
lo Cuma bisa jadi beban hidup gu—?!” Emir membuang pandangannya dari mataku
lalu pada detik berikutnya kembali menintimndasiku dengan matanya. “Udah cepet
balik! Manataslo?!”
Aku masih membisu,
tak bergrak sedikitpun.
“Em. . Mir lo pulang dulu aja,” Aku mencoba mengambil napas
dan mengatur semua sistem ditubuhku yang beberapa detik lalu sempat berhenti.
“G-Gue masih ada la—“ Emir mencengkram lenganku dengan raut wajahnya yang
sangat membuat aku takut.
“Dimanataslo?”
“Mir, stop mir stop,” Sebuah tangan lain melepaskan jemari
Emir dari tubuhku. “Velvet udah ketemu kan? Biar dia ambil tas sendiri,”
Tatapan tak percaya terpancar dari wajah Emir, “Bagus!
Sekarang lo belain dia,” Dia melemparkan telunjuknya tepat didepan wajahku.
“Yang baru kenal dua hari sama lo! Dibanding gue—“
“Sekarang yang jadi masalah, bukan gue ada di pihak lo atau
dia,” Katanya dengan nada yang tenang. “Tapi gimana sikap lo ke Velvet—“
“Emang sikap gue harus gimana?!” “Lo gak usah sok jadi penyelamat.
Lo gak usah sok ngajarin gue, kalo lo gak bisa jaga sikap lo sendiri.” Emir
memberikan penekanan dalam setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya,
“Ada yang salah dari sikap gue?” “Salah kalo gue mau jadi
penyelamat Velvet? Salah kalo gue ngajarin lo gimana memperlakukan wanita—“
“Lo pikir gue gak
ngerti, lo mesra-mesraan sama dia cuma buat—“
“woow woow,” Dylan memotong kalimat Emir. Kenapa mereka sangat senang memotong ucapan
orang lain huh? “Jangan nambah masalah, urusan kita ini belom selesai sob,”
“Bacot lo leng, ini urusan gue, Velvet tanggung jawab gue,”
Aku mengerutkan alis. Sejak
kapan gue tanggung jawab Emir? Drama macam apa yang sedang terjadi ini!
“Bukannya gue cuma jadi beban hidup lo—“
“Diem lo!” Dia membentak ku sekali lagi, membuat aku
tercekat dan benar-benar takut melihat tatapannya yang sangat mengintimindasi
itu. “Gue ke mobil.” “Terserah lo mau ikut apa gak,”
Emir berjalan meninggalkan kami bertiga yang hanya berdiri
diam ditempat kami masing-masing.
“G-gue bisa pulang sendiri,” Pada akhirnya aku melontarkan
kalimat itu saat Emir berada diambang pintu keluar yang tak jauh dari tempatku
berdiri. Dia memalingkan wajahnya, sehingga mata kita saling bertemu.
“You know Vet, thats wrong choice,” setelahnya Emir
benar-benar hilang dari pandanganku.
Tanganku meremas gulungan uang dengan kencang. Aku tak tahu
apa sebenarnya membuat Emir bisa begitu marah padaku. Apa karena aku terlambat
pulang? Atau aku tak meberi kabar? Atau karena masalah iphone kita yang
tertukar? Atau apa? Lalu kenapa Dylan juga ikut terkena imbasnya? ARGH.
Terlalu banyak atau di
dunia ini.
Aku menoleh saat pundakku tersentuh, Dylan berdiri
disampingku, Falen berdiri dibelakang Dylan. Mereka berdua diam, kami semua
diam. Tak ada yang membuka percakapan. Aku pun tak tahu harus berkata apa.
“Mm. .” “G-gue harus ambil pesenan dulu,”
Dylan menggangguk lemah, “Gue mau bayar minuman,”
Aku balas dengan satu anggukan, Dylan melangkah berlawanan
arah denganku. “Tunggu Vet! Gue juga mau beli es kelapa juga!”
Falen berlari kecil kerahku yang baru memegang gagang pintu. Akhirnya, aku
berjalan dalam diam bersama Falen menuju warung es degan. Semua es kelapa muda
yang ku pesan sudah dibungkus rapih dan dimasukan dalam tiga kantung plastik
hitam. Falen mengambil dua kantung dari tangan abang degan, lalu ia memesan
satu es kelapa muda untuk dirinya. Lalu kita berjalan menuju abang batagor dan
membuskuskan beberapa pesanan. Semoga saja apa yang aku pesankan tidak kurang
atau pun lebih.
Setelah semua batagor dibungkus, Falen dan aku menyusuri
lorong demi lorong hingga mencapai lapangan basket. Anak-anak langsung
mengerubungiku dan Falen mengambil
pesanannya, ada beberapa tatapan bingung melihat seorang Falen berada disini.
Falen yang notabene sebagai anggota gang terbastard seantareo dunia. Tidak
banyak yang mengetahui sifat asli Falen yang lawak, receh dan friendly itu.
Mungkin karena tertutup oleh sifat teman-temannya yang cool dan cuek dan badass
itu. Tapi, saat Falen hanya diam dan tersenyum tanpa mengeluarkan satu lawakan pun,
dia juga tak kalah seperti teman gang nya yang lain.
Kantung plastik yang kami bawa sudah kosong, anak-anak sudah
kembali ke kegiatannya masing-masing. Summer berjalan kearahku, dia mengambil
satu bungkus es degan yang tersisa ditanganku. Dia berdeham saat membuka buskusan es itu.
“O-oh, ya,” Aku tersadar apa arti tatapan Summer kepadaku,
“Samer ini Falen, temen gue. Falen ini Summer sahabat gue,”
Mereka saling berjabat tangan, Summer kembali menyeruput es
degan, sementara Falen memerhatikan beberapa pemain yang memasuki lapangan.
“Beli ginian aja lama betul,” Kata Summer.
“Y-ya,” Aku melihat ke arah Falen yang masih fokus dengan
pertandingan di lapangan. “Ada— Ngantri tadi banyak banget,”
“Hmm. . .” Summer memandang ke arah ku dan Falen bergantian
lalu menunjuk Falen dengan dagunya. Setelah ini pasti Summer akan meminta
penjelasan secara rinci. Namun, mungkin aku belum siap untuk menjelaskan
kejadian yang baru saja terjadi.
“Falen,” Ia menengok. “Kalo lo mau balik,” Aku mengangguk.
“Gue bisa pulang sendiri,”
“Oh, yaudah,” Katanya dengan kikuk. “Gue juga harus
bertempur dimedan perang abis ini,”
Falen dan aku terkekeh, Aku tahu apa yang dimaksud medan
perang. Dua sahabatnya tengah berperang. Dan dia lah satu-satu nya orang yang
dekat dengan keduanya. Falen lah yang harus jadi penengah dan membantu
menyelesaikan perang ini. Aku mengangguk.
“Kalo ada apa-apa, line gue atau Dylan lewat line Emir,
mungkin?”
Aku mengangguk, meskipun aku
belum melihat handphone yang aku bawa dari tadi pagi milik siapa. Lalu
setelahnya Ia mengacak-acak rambutku, “Jangan cemberut, ntar gak ada yang bisa
gue recehin lagi,” Aku membalas dengan senyum sebisa ku. Lalu ia melangkah
pergi.
Aku mengangkat kepalaku dan
langsung bertatapan dengan Summer yang memelototkan matanya kearahku.
“Apa-apaan ini? Apa
hubungannya lo, Falen? Dylan? Emir? Kenapa lo bisa— Gimana bisa Falen disini?
Apa maksud Falen— Kenapa hape Emir bisa
di lo? Kenapa lo gak cerita dari awal sih Vet?”
Bibirku tak dapat mengeluarkan sepatah
katapun. Aku tak tahu harus memulai dari mana. Semua begitu rumit dan saling
terhubung. Arg.
Dengan langkah kecil aku
meninggalkan Summer berjalan menuju bangku pemain, merogoh tas, mencari
handphone yang tertukar.
Aku menemukan sebuah iphone hitam dalam tasku.
Persis. Iphone ku dan Emir sama persis. Hitam polos tak ada pernak-pernik. Tak
ada bedanya jika dilihat sekilas. Yang membedakan nya adalah lock screen dan wallpaper iphone ini. Beberapa
notification masuk menimbulkan bunyi yang berentet. Aku membuka line dan
membaca beberapa nama groupchat, multiple chat dan personal chat yang masuk.
Aku membuka sebuah group chat,
yang diberi nama taekotok. Aku
terkekeh. Group yang berisikan empat orang, Emir Mahira, Kalistus Falen, Dylan
A. dan what?! Sejak kapan Velvet Kadyarina
menjadi anggota group taekotok?! WTF.
Velvet Kadyarina joined the group.
Kalistus Falen: Lapor bos,
Kalistus Falen: tidak ditemukan secercah kahidupan dilantai dua bos
Velvet Kadyarina:cari lagi nyet! Lo pasti longkapin satu kelas
Dylan A: Gak ada velvet di lantai bawah
Dylan A: Gue udah nyuruh anak2 lain cari disekitar sekolah,
Kalistus Falen: Yaampun bosss
Kalistus Falen: Ane udah jongkok kali2 Velvet sembunyi di kolong
Velvet Kadyarina: Monyett
Velvet Kadyarina: Gausah ngereceh
nyet
Dylan A: semua tempat udah gue cari, tinggal kamar mandi
Kalistus Falen: aku gak lagi ngelawak kak, jangan di ketawain
Velvet Kadyarina: Masuk ke kamar mandi! Pasti dia disana!
Dylan A: Anak basket pada ganti baju
Kalistus Falen: Wakwkakwk lumayan lah cuci mata
Dylan A: Matalu
Velvet Kadyarina: Nyet lo bantuin si celeng nyari semua tempat di
sekolah
Kalistus Falen: okidoki
Kalistus Falen: Lo dimana bang?
Velvet Kadyarina: Gue lagi di jalan
Tak ada chat beberapa menit
setelahnya,
Velvet Kadyarina: Gue gak nemu
Velvet Kadyarina: kumpul di tempat biasa
Velvet Kadyarina: asap
Dylan A: K otw
Kalistus Falen: Tunggu!
Kalistus Falen: Ane ngidam es kelapa
Dylan A: Kampret
Velvet Kadyarina: lo dimana leng?
Gue udah sampe
Dylan A: Gue ngumpulin anak2 dulu,
Tulalut. Tulalut.
Tulalut. Tulalut.
Brian is calling.
Mampus.
Tulalut. Tulalut.
TUT.
“Halo Emir,”
“Mir?”
“Hallo Emir?”
“Y-ya Om?”
“Maaf, dengan siapa saya berbicara?”
“Ini . . Velvet om, yang tinggal—“ Aku melihat sekelilingku,
Summer berdiri bebrapa langkah menghadap
kearahku . Aku yakin, dia bisa mendengar segala ucapanku setelah ini.
“Oh! Ya, Velvet!” “Loh, kenapa handphone Emir bisa di kamu?”
“I-iya tadi dia salah ambil handphone om, ehehe. .” Aku mencoba
tertawa meskipun terkesan terpaksa.
“Oh, ya sudah,” “Gimana di rumah? nyaman aman terkendali
kan? Hahaha. . ” Terdengar tawa dari sebrang telepon.
“Hahaha,” Terkesan terpaksa, lagi. “Aman, om.” Aman apaan. Velvet bisa diusir kali ntar malem.
“Baguslah,” “Ohya, om lagi di Tokyo,”
Wadoh. “Ngapain
om?” Enak betul jalan-jalan ninggalin
Tante Pal sendirian dirumah ngurus anak dua yang ga pernah aku ini, betapa
jahatnya semua laki-laki didunia ini. .
“Om abis kerjaa,”
“Kok kerja jauh-jauh sih om?”
“Kalo kerja om deket-deket, gak kerja bisa kerja dong,”
LOH. “Maksudnya?”
“Om kan pilot Velvet. . . kalo kerjaannya cuma jarak sekolah
ke rumah mana bisa pake pesawat,”
Krik. Pea lu vet. Pantes ae punya rumah segede lapangan bola.
Mobil dua pintu lagi. Pantes.
“WOWW, Velvet baru tau ommm! Howw cool!”
Terdengar tawa lagi dari seberang sana. “Titip coklat om yang banyakk! Kitkat
rasa apapunn! Greentea kalo ga rasa oreo atau yang rasa cabe keknya ada omm!
Gatau deh om hahahah,” Aku tertawa.
Tertawa lepas. “Kalo gak gantungan kunci, baju-baju tulisan Tokyo juga gapapa
om, cemilan yang penting jangan lupaa!”
Ternyata Om Brian juga tertawa, lagi. “Yaa Vet, kamu bawel
ya,”
“Hahahaha, kaya gak tau
Velvet aja om!” “Kapan kesini?”
“Lusa,”
“YEEEEYY! Jangan lupa titipan Velvet yaaaa. . .”
“Hahaha, iya, yasudah, Om tutup ya telponnya, mahal nih,”
Eee. Kaya-kaya pelit
uga.
“Ayayy Captain!” “Trimakasih,”
udah bikin mood Velvet naik, dikit.
“Makasih buat apa?”
“Gapapa, udah om bayarnya mahal. Byeee!”
TUT.
“Sampe kapan mau lari dari masalah?”
Aku terenyak dalam pertanyaan Summer. Apa selama ini gue lari dari masalah?
Selesai latihan basket, Summer memberi tumpangan untuk ku
menuju rumah Tante Pal, rumah Om Brian. Aku menceritakan semuanya selama
perjalanan pulang. Summer pendengar yang baik, dia tipe orang tak suka memotong cerita orang lain. Dia
hanya perlu mendengar dan berbicara seperlunya.
DIa sahabat yang cuek, dan stay cool didepan orang lain. Membuatnya
menjadi kapten basket yang dikagumi banyak kaum adam di sekolah.
“Menurut gue, gak ada yang salah disini.” “Mungkin dia punya
alasan kenapa dia bisa— gini?”
Apa alasannya Sam?
Aku melihat di garasi mobil yang terbuka, hanya terdapat
mobil sport Om Brian. Berarti Emir belum
pulang.
“Naomi tau?”
Aku menggeleng. Mobil yang kami tumpangi sudah berada
didepan rumah minimalis yang sangat besar ini. “Nanti, kalau waktunya tepat,
gue pasti cerita,”
Dia mengangguk.
“Makasih, Sam,”
Dia membalasnya dengan senyuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar