Emir's POV
"Nona Bianca dilantai
tiga tuan,"
Aku segera melangkah menuju
lift. Perjalanan yang sangat melelahkan. Lombok Jakarta itu lumayan jauh. Ya
meskipun dengan jet pribadi tapi sama saja! Andai Cat menemaniku sepanjang
perjalanan seperti dulu, meskipun saling diam. Namun aku menyukainya,
Ting.
Langkah kakiku yang besar
segera memasuki lorong rumah sakit ini. Dan saat aku membuka pintu, Bianca
tergeletak diatas ranjang tidak berdaya. Rianti tertidur disofa dengan wajah
yang lelah.
Dasar anak bodoh!
Aku berdiri kaku disamping
ranjangnya. Pergelangan tangan kanannya menempel selang infus dan sementara
yang kiri terdapat perban disana yang masih ada bercak merahnya.
"kenapa harus bunuh diri
kalau ujung-ujungnya masuk rumah sakit bodoh!" Aku sudah tak tahan menahan
emosiku didepannya.
"Jangan berbicara
seperti itu nak, bagaimanapun dia calon pendamping hidupku, ia
merindukanmu.." Aku tahu itu suara Ranti. Mungkin ia terbangun gara-gara
gertakanku.
"Dia bukan calon
istriku, camkan itu!"
"Emir.. Bisakah kau
membuka sedikit hati untuknya?"
"membuka hati untuk
wanita ini? Saat ini saja dia sudah mencoba
membunuh diri sendiri! Bagaimana kalau ia membunuh anak kita kelak?
Hah!"
Ranti menghembuskan napas
dengan kasar. Aku yakin ia sangat frustasi mempunyai anak sepertiku.
"Tapi kau kemari karena
kau khawatir kan?"
Aku terseyum remeh.
"Lebih tepatnya seseorang yang ku cintai mengkhawatirkannya,"
Ranti terlihat terkejut atas
jawabanku. Biar saja. Biar dia tahu diri.
Enak saja memasangkan ku dengan seseorang yang sangatku benci seenak
jidat!
"Siapa Nak? Kenapa kau
tidak pernah memberitahukan ibu?"
"Tanya saja dengan
wanita bodoh didepanmu!"
Aku segerja berlajan ke arah
pintu keluar dengan langkah dihentakan di lantai. Saat aku memegang gagang
pintu aku dengar tangisan Ranti pecah.
"Mau kemana nak? Sampai
kapan akan begini??!"
"Kembali bekerja. Dan
jangan pernah hubungi aku lagi, kalian hanya menganggu!"
Dan aku membanting pintu
dengar keras sehingga beberapa penjenguk disini melihatku dengan penuh tanda
tanya. Tapi bukan Emir kalau aku peduli dengan mereka. Siapa mereka berhak
mengetahui apa yang aku lakukan. Terserah orang bilang aku keras. Egois. Atau
apapun. Ini aku. Kalau tidak bisa menerimaku, .berhentilah mengurusi hidupku.
Aku tidak akan mungkin
kembali ke Lombok saat ini juga! Tubuhku sangat lelah dan tidak sanggup untuk
melakukan hal apapun.
"Apartement BSD," Saat aku menghempaskan tubuh
dimobil dengan supir ini.
"baik pak,"
Deru mobil menjadi pengiring
musik selama perjalanan menuju apartement itu. Aku lupa bagai mana bentuk
apartementku yang ada di Kemang. Aku juga melupakan jumlah apartement yang ku
miliki. Yang terlintas dipikiranku adalah BSD. Tempat dimana pertama kali aku
bertemu dengan Cat..
***
Aku mengerjapkan mataku saat
cahaya memasuki celah jendela yang masih tertutup tirai. Setelahnya aku melihat
kamar didominasi warna coklat dan hitam. Terkesan maskulin. Ya, ini kamarku.
Selimut yang baru saja aku
sebakkan tergeletak dilantai dan aku juga tidak berniat membereskannya. Tubuhku
masih mengenakan pakaian kemarin. Aku merasakan lengket disekujur tubuhku.
Urgh.
Setelah membersihkan badan,
aku kembali meringkuk di ranjang mengecek iphone ku yang tidak ada
notification, penting. Sampai aku tiba di kantor yang berada dibilangan Jakarta Pusat
pun belum ada tanda-tanda Cat membalas pesanku.
Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Cat.
Cat, apa semua baik-baik
saja?
Tidak ada balasan.
Apa mungkin dia masih
tertidur? Tapi ini sudah pukul 11siang!
Apa yang terjadi?
Katakan aku seperti remaja
yang sedang tergila-gila akan cinta. Aku merindukan Cat. Walaupun baru beberapa
jam aku tidak bertemu dengannya.
Tanpa menunggu waktu lebih
lama lagi aku men dial Cat. Sekitar empat kali nada dering baru aku bisa
mendengar sambungan ini terangkat. Namun tak ada sautan dari sebrang sana.
"Cat?"
"Y-ya?"
"Apa semua baik-baik
saja?"
Hening .
"Cat?"
"I-ya semua baik-baik
saja.."
"Kenapa kamu menjadi
gagap seperti itu?" Sebenarnya aku ingin sekali tertawa karena sikapnya
yang sangat segan denganku. Tapi aku berusaha untuk menahannya.
"Ehem tidak ada."
Katanya dari sebrang telepon.
"Sedang apa kau?"
Tanyaku karna suara disana begitu sepi dan bukankah sudah siang? Kenapa ia
tidak melihat keadaan hotel?
"Mengangkat telpon
anda,"
Aku memutar bola mataku yang
geram sekali dengan gadis satu ini "Maksudku sebelum kau mengangkat telpon
ku!"
"Bernapas,"
"Baiklah nona Cat,
apakah kau tidak melihat pekerjaan hotel?"
"hemm.." Dia
sepertinya berpikir. "Hari ini sedikit kurang fit, jadi aku menyuruh Dinda
untuk melihatnya."
"Apa kau sakit?"
"Tidak terlalu
sakit,"
"Beristirahatlah yang
cukup, jangan terlalu memikirkan hotel dan rumah."
"Baiklah,"
Hening.
Sebenarnya. Sungguh aku tidak
mau menutup telpon ini dan kembali dengan kesendirianku. Yang aku inginkan
hanya terbang ke Lombok dan menemaninya di kamar, merawatnya dan melindunginya.
"Yasudah, selamat siang
nona Cat. Selamat beristirahat.."
"iya pak,"
Sambungan ku putuskan.
Dan saat seperti ini dia
masih memanggilku dengan pak.
kringkring..
Suara telpon dimeja berbunyi.
Suara yang memecahkan keheningan setelah aku berbicara dengan Cat.
"Selamat siang
pak," Suara perempuan terdengar dari ujung telpon. Sekertaris ku tiga
tahun lebih muda tapi dia sangat berkompeten. "Seseorang ingin menemui
anda, ia berkata sudah membuat janji dengan bapak."
"Siapa tamu itu?"
"katanya pemilik saham
dari London pak,"
"suruh ia masuk,"
Sebenarnya aku tidak terlalu
mengingat asal saham perusahaanku, setahuku juga tak ada saham yang berasal
dari luar negri.
Beberapa menit kemudian pintu
ruanganku terbuka dan berdiri disana seorang pria dengan badan tegap , kulit
yang putih dan potongan rambut hampir sama sepertiku.
Sepertinya aku pernah
melihatnya..
Ia mendekat ke arahku yang
masih terduduk. Saat tanganku ingin menjabat tangannya tiba-tiba saja pukulan
keras tertuju pada tulang pipiku.
Bukan main. Ini sungguh
sangat sakit.
Ada kemarahan didalam
bolamatanya. Aku tetap memegangi pipiku yang benar benar sakit ini.
"Siapa anda?!"
Kataku.
"Lo lupa sama
gue!?"
"Maaf ini kantor, jangan
membawa masalah pribadi," aku mencoba tegas karna jelas jelas ini kantorku
dan apa jadinya kalau anak buah tahu bosnya berkelahi.
"GAK USAH SOK JADI
BOS!" Katanya sambil memberikan bogeman mentah yang kedua dipipiku yang
satunya dan pukulan ini lebik keras lalu aku jatuh tersungkur di lantai.
Sial!
Pria itu kini menginjak
dadaku dan menekannya dengan kakinya.
"LO NGAPAIN CAT! BEGO!
LO SENGAJA PAKE JASANYA CAT BIAR KALIAN BISA DEKET KAN?! BAJINGAN TAU GAK LO
ITU! LO TAU CAT UDAH TUNANGAN SAMA GUE! NGAPAIN LO NYARI KESEMPATAN LAGI! CAT
PUNYA GUE!" Katanya dengan penuh emosi didepan wajahku persis. Dan aku
tahu sekarang, pria ini adalah Raskal.
"Saya-- tidak
tahu.." Bahkan untuk berbicara saja aku tidak sanggup . . .
Aaaaa makasi ya min buat lanjut ngepost, yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar juga. Semangat terus buat ngelanjutin ceritanya min^^
BalasHapus