Senin, Juli 13, 2015

EmirLoveStory: "Stay, He Said" - PART 12



EMIR POV 

Aku sangat merindukan saat-saat seperti ini. Bisa melihatnya kembali. Seseorang yang akhirnya datang kembali dalam hidupku setelah menghilang beberapa tahun lamanya. Aku kira ia tak akan kembali, tetapi segera ku singkirkan dugaan buruk itu. Aku percaya bahwa suatu saat kami akan bertemu. Meskipun aku harus melewati beberapa tahun yang sangat berat dalam hidupku. Didepak dari keluarga besarku sendiri, lontang lantung dijalan, mencari uang sendiri untuk gelar sarjanaku, untuk hidupku dan untuk apapun yang aku butuhkan, aku mencarinya sendiri. 

Dan saat masa kejayaanku kembali, ia datang tanpa ku rencanakan sebelumnya. Sungguh indah bukan? Kerja kerasku selama ini tak akan sia-sia. Mungkin ini cara Tuhan mempersatukan kami kembali.  Ia sudah menjadi wanita yang angun dan dewasa. Aku pikir menjadi seorang arsitek wanita adalah hal yang membanggakan.  

Tapi bukan suatu kebetulan kami dapat bertemu, dan aku tak tahu pertemuan ini adalah keberuntungan atau kesialan saat ku mengetahui bahwa ia sudah memiliki tunangan. Musuhku sendiri. 

Karna terbawa emosi mungkin, dulu aku berencana untuk membebani Cat dengan membangun rumah didekat hotel. Tapi rasa sayangku ke wanita itu menghancurkan niat burukku. Aku terlalu menyayanginya dan merindukannya. Melihatnya pagi tadi saat kami berada dipesawat membuat aku merasa sangat bersalah kepadanya. Aku yakin ia tak makan secara teratur beberapa hari belakangan ini, bisa terlihat betapa pucat wajahnya dan aku melihat lenkungan berwarna hitam dibawah matanya yang aku pikir itu efek dari niat jahatku itu. Dan sejak saat itu, hilang sudah niat bejatku. 

Meskipun rencana untuk membebani Cat sudah luntur sepenuhnya, namun aku tidak akan membatalkan pembangunan rumah tersebut, karna dengan itu aku mempunyai kesempatan untuk lebih dekat dengannya. 

Aku tak tahu apa yang akan terjadi kedepan, aku juga tak mengetahui apa yang harus kulalukan. Mengingat prilakunya terhadapku seolah-olah kami baru saling kenal beberapa hari lalu. Sikapnya yang dingin dan acuh terhadapku membuatku harus bersabar menunggu Cat yang dulu kembali.

Mungkinkah ini yang dinamakan karma? Sempat aku berpikir seperti itu, karena dulu aku sempat menyia-nyiakannya saat awal pertemuan kami. 

Dilain sisi, aku sangat menyukai saat aku menggodanya dan muncul semburat kemerahan dipipinya, dia menjadi sangat lucu saat itu. Dan ketika ia mulai mengoceh karena sikapku, saat itu aku merasa Cat yang dulu ku kenal sudah kembali. 

Satu lagi, aku mulai menyukai saat ia memanggilku dengan sebutan diktator. Entah mengapa.. Mungkin karena baru dia bawahanku yang pertama kalinya menyebutku denan panggilan diktator didepan bossnya sendiri.  


"HEY!"

Aku sedikit terkejut mendengar gadis itu berteriak tepat ditelingaku. 

"Kenapa kau melihatku seperti itu?! Kau tidak berniat menenggelamkanku kelaut bukan?!!" Katanya dengan suara meninggi diakhir kalimat dan dengan aksen cemprengnya. 

Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, sehingga ku lupa, dia ada disini..

"Apa yang kau bilang tadi?" Tanyaku berusaha setenang mungkin, menahan tangan ini supaya tak menyentuh dan merapikan rambutnya yang terkena angin malam di pantai ini. Hati dan pikiranku kadang tak berjalan sempurna jika berada didepannya. 


EmirLoveStory: "Stay, He Said" - PART 11



Suasana restaurant tempat kami mengadakan acara jamuan makan tampak sederhana, tidak seperti makan malam sebelumnya yang dilakukan di hotel mewah atau restaurant yang elegant. Makan malam kali ini diadakan dipinggir pantai dengan berhiaskan cagak-cagak lampu, lampion yang berada diatas kami dan lilin disetiap mejanya yang menambah kesan romantis ditempat ini. Aku datang dengan teman-temanku.

Tadinya Raven mengusulkan untuk mengendarai mobil mewah itu sendiri-sendiri namun aku menolaknya. Akhirnya kami ber empat berangkat dengan mobil Audi yang dikemudikan oleh Andrew, karena mulai siang tadi Audi tersebut menjadi miliknya selama kami berada di Lombok, ya… meskipun itu adalah barang pinjaman—

Ohya kemana dia? Aku belum melihatnya malam ini.

iPhone ku menunjukan pukul 06.58

Ingat. iPhone ku. Bukan pemberian iPhone Emir.

iPhone pemberiannya dan seluruh barang mewah itu masih tersimpan rapih pada tas hitam dan mungkin aku akan mengembalikannya secepatnya.

Tepat pukul 07.00 suara gemuruh terdengar dari pintu masuk menuju restaurant tepi pantai, aku yakin itu adalah Emir dengan petinggi yang lain.

Selalu tepat waktu, batinku.

Aku saat ini tengah duduk bersama Dinda, Andrew dan Raven disalah satu kursi yang sedikit dipinggir dan memojok karena aku tak ingin bertemu dengannya. Dan benar saja seorang pria berpostur tubuh tegap dan memiliki rahang yang tegas dengan kemeja hitam dan celana bahan dengan warna senada memasuki restaurant ini dengan sedikit kalem namun tetap bisa mengeluarkan aura dinginnya. Oh! Bahkan dia tak sendiri! Disampingnya seorang wanita berparas manis dan cantik dengan gaun hitam diatas lutut mendampingi langkahnya. Membawa sebuah Tas yang berwarna hitam pekat dan heels yang sangat tinggi. Rambutnya yang hitam dan panjang diterpa angin menimbulkan kesan tak kalahdingin seperti pria yang berada disebelahnya. Dari jalannya aku bisa mengatakan bahwa ia adalah seorang yang high class. Dan aku…?

Kini aku memandangi gaun yang aku pakai, gaun merah tua tepat setinggi lututku dan flatshoes.

“Kenapa? Minder?” Tanya Andrew duduk tepat disampingku.

“Engga lah, dia bukan siapa-siapaku,” Ucapku yang mendusta pada hatiku sendiri yang merasakan gelenyar aneh.

Apa? Gelenyar Aneh?

HEY! Apa yang barusan kau katakana Cat! Kau Cemburu?!

Tidak,


Rabu, Juli 08, 2015

EmirLoveStory: "Stay, He Said" - PART 10



Jangan harap hidupku menjadi lebih baik semenjak bertemu dengannya. Tidur pagi, bangun kesiangan, makan sehari sekali, mandi itu pun kalau sempat. Mungkin tubuhku akan hancur beberapa saat lagi. 


Sudah dua hari aku melakukan pekerjaan ekstra ini dan belum selesai seutuhnya. Hidupku hanya berkutat didepan laptop. Dan.. Ohya. Aku lupa menghubungi Raskal. 



Aku mengambil iphoneku didalam tas dan mencoba mengirim pesan. 



To: Raskal



Hey boss, maaf akhir-akhir ini aku harus mengerjakan tugas. Bukan hotel sajaa kau tau, haru harus membuat rumah juga untuk



Tit//iphoneku mati dalam sekejap. 



Untuk...



Kalau aku memberitahu Raskal tentang proyek rumah ini tidak menutup kemungkinan untuk dia menyuruhku melepas proyek hotel ini. Bukan masalah uang yang aku pikirkan, tapi bagaimana dengan anggota timku yang lain. 



"Itu panggilan untuk pesawat kita!" Ujar Andrew yang membuat aku terkejut.



"Oh, siapkan tiketnya," Ucapku. 



"Ini," Balas Dinda dan kami langaung mengantri masuk menuju pesawat menuju Lombok ini. Dan saat ini lah semuanya akan terulang kembali. 



Teman-temanku sudah duduk dikursinya masing-masing, tetapi aku belum bisa menemukannya. Seorang pramugri dengan jubah biru dengan motif batik dibeberapa bagian menghampiriku. 



"Maaf, ada yang bisa dibantu?"



Aku memberikan tiketnya, "Saya kesusahan mencari tempat duduk,"



Pramugari itu mengangguk dan tersenyum kearahku, "Mari saya antar," 



Ia berjalan dikabin pesawat menjauh dari tempat duduk teman-temanku. Aku rasa aku memasuki buisness class? Siapa yang memesan tiket ini huh?



"Silahkan," 



Aku menatap pramugari itu dengan penuh tanda tanya sementara ia sudah pergi dari hadapanku. Untuk satu tiket economi class saja aku rasa sudah sangat mahal mengingat ini adalah tujuan lombok. Bagaimana dengan tempat duduk yang aku akan duduki ini?



Ah. Sudahlah. 



Akhirnya aku memutuskan untuk duduk dibagian dekat jendela karena barisan ini masih kosong. Yasudah lah. Iphone mati, tidak ada teman ngobrol, dan aku merasa tidak sepantasnya aku berada disini. Hah. Baru saja berangkat sudah seperti ini bagaimana nanti? Tinggal berapa hari saja di Lombok entah sampai kapan. Sampai semua proyek itu selesai? Sangat mungkin. Dan mungkin aku akan intensitasku bertemu dengannya akan lebih tinghi dibanding bertemu dengan Raskal.



Ha.. Raskal. 



Aku memandangi jari manisku yang hampa ini.




"Apa yang kau pikirkan nona?"



Suara bass yang sepertinya aku pernah mendengar?



Minggu, Juli 05, 2015

EmirLoveStory: "Stay, He Said" - PART 9

Catharine POV


iPhone, check. Dompet, check. Notebook, check. Berkas, check. Outfit? Perfect.

Aku melangkah pasti keluar dari hotel dan langsung bertemu dengan teman kuliah hingga merangkap menjadi karib perjuangan membuat biro yang sudah mendunia, Dinda namanya. Tubuhnya yang berisi dan otak cerdas membuat ia dikagumi banyak karyawanku.

"Cat, Siap? Pertemuan ada di Ritz Hotel. Lumayan macet,"

Aku mengendus, "Huh, Jakarta."

Setibanya di hotel berbintang yang kami tuju, dan memasuki ruang pertemuan yang sudah ramai. Aku, Dinda, Andrew, dan Raven. Kami tergabung dalam crew biro arsitektur yang terbentuk saat kami kuliah dulu hingga saat ini biro kami sudah mendunia.

"Selamat datang dalam acara pemilihan biro arsitek yang akan membuat Hotel berbintang lima di daerah Lombok. Langsung saja presentator pertama dimulai dari ART+ waktu dan tempat saya persilahkan."

Aku mengambil napas panjang dan melangkah menuju panggung bersama crew terbaikku. Terlihat dibarisan paling depan berjejer para petinggi Ritz Hotel yang akan membuka cabang di Lombok.

EmirLoveStory: "Stay, He Said" - PART 8




Berbulan-bulan telah ku lewati semenjak kejadian itu. Sejak saat itu, hidupku, hidupnya dan hidup kami berubah. Aku merasa telah menjadi seseorang yang sangat beruntung didunia ini. Bisa berada disampingnya hampir setiap saat. Pagi, siang, sore, malam dan setiap detik dalam hidupku. 

Langkahku berhenti pada pinggir lapangan basket, suara pantulan bola terdengar hingga telingaku. Langanan yang tersembunyi dibalik sekolah dan mungkin kami berdua saja yang tahu. Hanya seorang disana berdiri tegap menghadap ring basket lengkap dengan kostum berangka 14. Entah mengapa ia menuliskan angka 14 dipunggungnya. Sengaja atau tidak, 14 adalah tanggal kelahiranku.


Dalam sekali tembakan mulus, three point dicetaknya. Refleks aku bertepuk tangan, membuat ia menoleh kearahku dan senyumnya mengembang. Manis. Dari dulu.

"Cat! One on one?"

"Tapi aku masih pake seragam.."

Tanpa basa basi Emir langsung mengoper bola basket dengan kecepatan sedang ke arahku. Perlahan tapi pasti aku memasuki area lapangan.

"One strawberry cheese cake frappe okey," Kataku menantang.

Itu bukan memesan semuah minuman, tapi bertaruh. Kalau aku menang berarti Emir harus mentraktirku. Sudah biasa kami bertaruh hal kecil seperti ini. Dan akhirnya dia lah yang lebih sering menang. Biasanya, taruhan Emir itu tidak jauh-jauh dari menemaninya menonton bioskop atau menonton konser musik atau menemaninya duduk di  cafe favoritnya atau yang lain.

"oke, tapi kalo aku menang... Nanti malem kamu temenin aku nonton dirumah, gimana?"

Tanpa babibu aku langsung mengacungkan jempol.

Pertarungan pun dimulai, pergerakanku agak tergenggu karena baju seragam ini. keringat pun mulai membasahi tengkuk punggung dan pelipisku namun satu angkapun belum aku cetak. Sementara Emir sudah beberapa kali tak aku hitung.

Mataharipun menghilang diufuk barat. Dia menghentikan permainannya,

"Kenapa loyo baget?" Tanyanya..

Aku terengah-engah "Soalnya.. Masih.. Pakek.. Rok.. Gak enak mainnya.."

"Berarti aku menang ya?"

Aku mengangguk pasrah. Aku duduk dipinggir lapangan dengan badan penuh keringat dan begitu pula dengan semua pakaian yang aku kenakan. Emir menyusuk beberapa menit setelah ia menembakan beberapa bola yang mulus masuk ke ring basket.

"Bau lo Cat!"

"Ngaca!" 

Napasku masih ngos-ngosan, seketika Emir menemparkan atasan seragam ke arahku. yang pas mengenai kepalaku.

"Gih sana pake.."

Aku mengambilnya dan merentangkannya. Baju yang berukuran sangat kebesaran dengan tubuhku.

"Gede banget.."

"Daripada kamu masuk angin, bajumu basah semua itu,"

Aku pun berdiri sambil membawa seragam itu menuju gerbang kecil menuju sekolahan.

"Mau kemana?"