Senin, Agustus 01, 2016

00:05 // Pro Evolution Soccer

toktok.

hm.

toktok.

hmm.

"eh, ngapain di--"

 hoam.
duh pegel banget ni badan.

Aku mencoba memulai merasakan dunia sekitar. Ohya. Tidur di jok pengemudi adalah salah satu hal yang buruk. Kaki disilangkan di atas jok membuat kesemutan. Kepala yang bersandar distir, tangan yang terjulur hingga dasboard dan rambut yang pasti menjulur acak-acakan. Dan he?! Siapa orang yang mengintip di kaca sebelahku?!

"Brisikk. ." "Klakson. . " Dia bertingkah menutup telinga dan berputar-putar tak jelas.

Aku mengangkat kepala yang sangat berat dan menyenderkannya di jok. Tidur yang sangat lama. Sangat. . Mungkin. Setidaknya aku bisa memastikan pria-pria ini tak pergi tidak akan pernah muncul keluar dari rumah ini, kecuali seorang pria yang masih mengetokngetok kaca mobil dengan brisiknya. Menambah beban kepalaku.

Dengan setengah kesadaran, aku membuka pintu dan turun dari mobil yang ku perkirakan masih dalam keadaan mesin menyala. Maafkan Velvet, Om Brian. Salahkan ponakanmu jika mobil ini rusak.

"Lo siapa? Ngapain tidur di dalem? Kenapa bisa di mobil Emir? Kenapa gak masuk? Lo tau gak sih klaksonnya bunyi?! Untuk yang dateng gue, bukan anak kampung sebelah. Brisik tau gak? Eh. Bukannya lo yang nabrak Emir waktu--"

Bawel lah abang, cipok nih.




"stop. Pusing gue." "Emir mana?"

"Di dalem,"

Aku mengerutkan kening. Ini dandan dari gue cantiq ampe berkeriput ini mah. "Masih di dalem?!"

"Ha? Iya lah," "Tadi gue denger suara klakson gak berenti, Emir lagi main ps sama Dylan jadi ya gue yang ke si--"

"EMIR LAGI MAIN PS?!"

Abang grapkar kamvret. Gue membusuk di mobil dia lehaleha main ps.

Emosi sudah berada diujung tanduk mengalir disetiap pembuluh yang berdenyut, hingga mencapai ujing rambut yang masih njebrak kesana kesini. Tanpa permisi aku langsung masuk ke dalam rumah dengan kaki yang sengaja ku hentakan ke lantai meskipun sangat sakit. sangat. Luka ini membunuhku. Luka hati juga membunuhku bang.

Dan kalian tau?! Sebuah monster berbulu putih diseluruh tubuh yang sangat besar berlemak dan kini ia mengambil ancang-ancang untuk menyerangku! Mau tak mau. Percaya atau tidak. Siap atau tidak. Aku pasti akan dia tabrak, aku jatuh dengan sikut membentur lantai dan akan membuat luka baru diatas luka yang belum sepenuhnya pulih semenjak kejadian nasi gorengku sayang. Ia kalau hanya ditabrak, kalo dimakan. Serangan pun datang. Monster ini lompat dan kini tingginya melebihiku, aku menyilangkan tangan diudara, moster ini mendorongku kebelakang, dan tibalah saatnya aku terluka lagi.


Tapi.

Tapi.

Tapi.

Tidaaak! Aku masih selamat saat aku membuka mata.

Monster itu sudag menghilang!

bukan! Monster itu berada didepanku, mosnter berkaki empat itu dengan abang grapkar yang kabur dari tugas berdiri didepanku dengan tangannya yang memegang tali pada monster tersebut.

dan aku. . Weh aku terbang.

eh apa kita sudah berada di alam yang berbeda bang?

eh kakiku masih menapak.

kepalaku bersender pada sebuah benda yang. . Hangat? Eh! Sebuah lengan menyelip dikiri dan kanan ketiakku dan jemarinya melingkar pada perutku. Sial.

awas kalo gak ganteng udah main grepegrepe.

"Uhuk. ANJING nya taro mana ya?"

Si abang grapkar merusak suasana romantis bersama abang yang masih misterius.

Dengan perlahan tangannya terlepas dari perutku. "Iket di belakang,"

Abang grapkar itu pun pergi bersama monster besar nan berbulu putih. Aku berbalik badan dengan kikuk dan melihat seorang pria tamvan dan sangat menawan. Sepuluh kali lebih tamvan dari abank grapkar yang sedang menjinakan monster tadi.

"Maaf, Jenner biasa gitu kalo ketemu orang baru," Katanya sabil tersenyum menampilkan kedua lesung pipinya yang sangat menggemaskan. "Lo gapapa kan?"

"Em." Kambuh dah penyakit gua. "I-iya, ga- papa he. . He. ."

"Baguslah, ohya." Dia menjulurkan tangan," "Nama gue Dilan pake y."

"Dibacanya apa? Diylan, dyilan, Dylany? Ah kaya cewe, Deylan, dieylan?"

Dia tertawa. Cowok didepan ku tertawa. Cowok ganteng didepanku tertawaaa! Menampilkan lesung pipinya yang . . Uah. Abank gantenk.

"Haha terserah kamu, Hahaha," dia kembali tertawa.

lu kata w lagi standup comedy bank.

"Dilan aja yaa," "Ih udah dong jangan ketawa mulu,"

"Iyayaa," Ehem. "Nama lo siapa?"

Nama gua. Siapa nama gua.

Kebiasaan deh kalo ketemu orang gantek pasti lupa semuanya deh. Payah lu, Vet.

"Namanya Freak abis." Su. Bukan gue ini yang ngomong. "Awas jangan deket-deket Leng, lo gak liat dijidatnya ada tulisan awas anjing galak!"

Reflek aku memegang jidat yang berarti harus menghentikan jabat tangan bersama abank ganteng berlesung pipi dan membuat si abang grapkar nyolot itu tertawa puas.

Terlalu banyak abank dalam hidupku ini. .

"Eh! Nama lo juga!" "Kaya nama om-om mesum yang jualin minyak dari Arab! HOAA! Gue tau panggilan baru lo!" "Emir, si juragan minyak,"

HUAHAHAHAHA.

Itu bukan aku yang tertawa, melainkan Dylan dan seorang laki-laki yang berada diambang pintu masuk yang ku ketahui ialah yang membangunkanku tadi.

"Mending gue kaya raya. Lah lo? Velvet? Kaya kue, mending kue manis enak, lah elo?! Sepet." "Marah-marah terus lagi, njing!"


"Huahahaha!" "Udah jangan naik darah" "Mending naik pelaminan,"


krik.



krik.



krik.




"Oh, Velvet. Kenalin juga, itu Falen." kata Dylan dengan ramah.

Sosok orang yang membangunkan tidur siangku mendekat lalu mengulurkan tangannya. "Falen, kamu pasti Velvet kan?"

Aku mengangguk, mungkin dia mau ngelawak. "kok tau?"

"Soalnya tadi Emir udah bilang,"

olahtaek.

"Dia emang sedikit receh," Dylan membisikan sebuah kalimat yang hingga kini napasnya masih terasa mengalir di belakang telingaku.

"Mir, kayanya mobil lo perlu ngecek aki, atau setidaknya cek bensin." Waduh, Falen. . .

Emir menatapku memancarkan api dan kilat aku bisa melihat di matanyaa!

wops. Its time to gooo!

"Atau setidaknya mobilnya lo cuci, daun pada nempel semua kacanya penuh busa," Kata Falen dengan sejujurjujurnya.

Sebelum aku beranjak dari tempat ini sebuah tangan telah mencengkram lengan ku dan badanku ditarik olehnya. Dan kita memasuki sebuah ruangan yang berada dilantai dua. Lantai dua gais. Gue jalan udah ngangkangngankang biar telapak sama lutut gue ga sakit. Taunya tetel sakit. Semoga abang ganteng ga liat ke belakang deh. Ruang kamar tepatnya. Dimana bungkus kripik makanan tersebar begitu pula dengan isinya. Botol softdrink tak bertutup dengan gelas-gelas yang masih setengah penuh. Kotak pizza 16' dan tersisa satu slice, itu pun tak utuh. Kabel beruluran menuju televisi yang menempel didinding dan aku pastikan kaber itu menghubungkan stik ps dan mesin ps nya.

 ewh.

Aku berjalan ditengah kapal alien yang terpecah belah seperti ini dan duduk di sofa dekat jendela. "Kata Emir, kalian mau jalan ke mall?"

Dylan sudah terduduj diatas tempat tidurnya dan mencoba meraih stik ps disisi lain tempat tifurnya. "Em, Velvet. . Sejak kapan ada grombolan cowok jalan di mall? Nanti dikira kita homoan,"

Aku tertawa kecil. Tertawa unyu. Kalau saja dia Emir pasti sudahku maki-maki dan selalu ku ejek sebagai grerombolan homo.

Eh! Berarti Emir boong dong sama Tante Pal! Wolah. Taek.

"Tantenya Emir gak bolehin dia main ke rumah gue," Dylan membalas seakan tau apa yang ku pikirkan.

"Kenapa?" Wajahnya menyiratkan wajah kesedihan.

"Soalnya pernah dia ga mau pulang,"

Set. Dah kaya anak kecil ae.

Aku hanya mengangguk dan menunggu kelanjutkan cerita Dylan. Tapi setelah beberapa menit, kami hanya saling diam. Aku menatap layar televisi yang sedang menampilkan pertandingan bola antara Dylan dengan lawan komputer.

"Tantenya Emir pernah cerita ke lo gak. . ?" Tanya Dylan kepada ku namun mata nya tak lepas dari layar televisi.

"Emm. Belum, gue baru dateng kemaren,"

"Ohya, tadi dia bilang. ."

"bilang apa?"

Dylan memberhentikan pertandingan PES nya dan kini matanya tertuju pada ku seutuhnya. "Kalo ada anjing baru yang galak di rumah, hahaha"

taek.

mau taro dimana muka gua.

Raja minyak kurang ajar.

"Hahaha, sini lawan gue main pes," katanya kemudian setelah ia tertawa puas.

"Gak pernah main pes,"

"Tinggal mencet, kan tadi lo udah belajar mencet-mencet di mobil omnya Emir kan?"

sa ae u bang.

"Hehehehehe," aku dan Dylan tertawa kecil dan aku menerima stik lemparan Dylan dan duduk bersebelahan dengannya di atas kasur.

Sebelum bermulai, Dylan menjelaskan tombol-tombol yang berada di stik ps tersebut. Bagaimana meletakan jari yang benar pada setiap tombol. Mengajariku trik-trik untuk men--tackel, melempar bola, menjaga gawang dari inceran musuh, membuat pola pertahanan yang baik, menyusun strategi, dan lain sebagainya. Lalu setelahnya, tanpa perlu diberi arahan, aku sudah bisa melakukan semua getakan yang standar. Semua jemariku reflek bergerak tanpa perlu aku berpikir untuk melalukan apa setelah ini. Hingga akhirnya dari kickoff ke sekian kali, kini kami masih mendapatkan skor kacamata. Bola selalu menggelinding dari lapangan ku lalu ke lapangan Dylan lalu kembali ke lapanganku dan begitu seterusnya hingga memerlukan tambahan waktu.

Dan disatu kesempatan, aku menemukan celah lini belakang Dylan dan set. Set. Set. Desss. GOOOOOL!! 

PRIIIIT. PRIIIIIT. PRIIIIIIT.

Yeah. Im the winner!

Seperti para pemain yang bersorak didalam televisi, aku juga ikut bersorak, melempar stik ps entah kemana, melompat diatas kasur dan mengangkat kedua tanganku ke udara. Merayakan selebrasi yang hanya sekedar permainan virtual semata. Sementara lawanku yang menerima kekalahan hanya mesem-mesem gak jelas.

"Udah selebrasinya?" Katanya saat aku berhasil melompatlan diri hingga aku dalam posisi terlemtang diatas tempat tidurnya.

"Ud--ahh. Capekhh. . Hah. . Hah. ."Balasku setengah ngos-ngosan.

Padahal gue baru main bola, lompat gini aja udah ngosngosan.

"Baru juga menang sekali," "Pake selebrasi," katanya dengan wajah senga.

"Namanya juga menang, harus dirayakan!"

Dylan tersenyum kecil melihat tingkahku yang seperti anak kecil memenangkan lomba panjat pinang tujuh belasan. Dia masih duduk bersila disudut tempat tidur dan menatapku dengan senyumannya itu. "Laper nih, cari makan yo?"

Eh. .

Aku menatapkan dengan salah satu alis yang terangkat keadaanku sekarang masih megap-megap belum mendapatkan pasokan udara yang cukup.

"Gue yang bayar," "Itung-itung menebus ke kalahan,"

Ceritanya mau ngajak . . "Jam berapa ini?"

Dylan mengerutkan keningnya dan melihat jam tangan yang ia gunakan. "Setengah delapan,"

"Jadi ceritanya mau ngajak dinner nih," eh.

EH! Tor! Itu gak pake tanda petik! Gue nga ngomong itu kan?!

"Emm." Dylan tersenyum. "Gue sih cuma ngajak makan," "Kalo lo anggep dinner juga gapapa,"

Demdemces.

Wajahku sebentar lagi akan berkamuflase. Oke. Aku mulai yakin pipiku sudah berwarna merah tomat saat ini.

"Ayo, sugarpulm," Dia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri dari tempat tidur ini.

sugarpulm. . . Ehe he he makin gantenk deh abank.


Aku menggapai tangannya dan mencoba berdiri dengan kedua kakiku untuk menyetarakan tinggiku.

Sebelum. .

Brug!

Aku kembali terduduk dipinggir tempat duduk. Satu detik kemudian, aku merasakan sebuah benda menabrakku dan kini aku tergeletak diatas tempat tidur, aku rasa. Sampai aku membuka mata, dan langsung bertatapan dengan sepasang mata berwarna biru laut yang sangat jernih beberapa senti didepanku. Rambut pendeknya terjuntai hingga mengenai dahiku. Salah satu tangan kami masih bertautan. Dan mungkin salah satu tangannya menjadi penopang tubuhnya, karena sekarang masih ada jarak diantara kami, meskipun hanya beberapa centi atau bahkan beberapa milicenti.

"Dy-dylan, . " Duh bibir gua gemeter pisan.

"Ya?"

"So-sorry"

"Buat?" Dan bahkan aku bisa merasakan napasnya yang mengalir dikedua pipiku.

"Itu- ma-maksud g-gue in-i," "Ka-kaki g-gue sa-sakk--"

jedar.

Kini aku merasakan sebuah benda menabrak bi . . Bi . . Bir. . . K. . Ku. . Kuh. . .

Aku melotot mengingat tak ada jarak lagi diantara kami. Namun, melihat orang yang ada didepanku memejamkan matanya, menutup mata biru yang seakan aku bisa melihat lautan luas disana. . dan aku bisa merasakan ia tersenyum dalam bibirnya. Aku memejamkan mata. Menikmatinya dan mulai terjatuh dalam pesonanya. Hingga akhirnya ia membuat jarak diantara kami, membuka lautan biru nya yang terpancar sinar bahagia dan senyumnya yang sumringah membuat lesung pipi itu kembali muncul.

"Kalo abis gue cium lo masih gagap," "Gue gak keberatan buat ngasih lagi, sugarpulm. . "

blushblushblush.

Aku mendorong dadanya dengan satu tanganku yang masih bisa bergerak bebas. Hingga aku kini bisa membuat jarak yang cukup jauh untuk memastikan Dylan tak akan mengengar degupan suara detak jantungku yang tak karuan ini.

"Gue boleh minta tolong gak?" Kataku sambil menutup mataku mencoba meredam rasa sakit yang ada di telapak kakiku yang mulai menjulur hingga ke atas.

"Apa sugarpulm?"

Masih bisa ngegombal waktu gue merintih kesakitan gini bang?

"Tolong ambilin betadin sama kapas,"

"Tunggu sebentar, sugarpulm,"  

Beberapa menit kemudian aku merasakan seseorang memasuki ruangan ini namun berhenti entah dimana, yang pasti jauh dari jangkauanku. "Dylan?"

krik. .

"Lama banget sih ngambilnya?"

Krik. .

Akhirnya aku memutuskan untuk membuka mata dan tebak siapa yang berdiri di mulut pintu.

Dia menatapku dengan tatapan aneh, "Lo kaya orang abis di perkosa,"

taek.

"Diem lo! Raja minyak bacot."

"Woa, sante mbak,"

"Cot. Ambilin gue betadin cepet!"

"Berani apa nyuruh gue, si miliader raja minyak," katanya memasang wajah senga.

"Eh ini juga gara-gara eloo! Lo yang bikin gue gini! Gak tanggung jawab lagi! Jahat katanya miliader tapi kalo pelit kikir sombong belagu, sama aja. Mati ae lu,"

Saat Emir ingin membalas perkataanku yang sangat panjang itu, seorang datang membawa betadin dan kapas ditangannya. Sanga pangeran berdiri teoat didepanku dan bertanya dimana yang luka, aku menggerakan telapak jemari kaki. Lalu dengan cekatan ia membuka kapas yang telah ku balutkan tadi siang. Membasuh kakiku dengan handuk basah yang datang dari kamar kandi didalam kamarnya, mengeringkannya dan memberikan betadin kembali dan menutupnya dengan kapas. Lalu tangan kirinya melintang disepanjang pungungku dan tangannya membawa tangan kananku untuk melingkar disepanjang bahunya. Lalu setelahnya, ia membantuku berdiri dan tebak siapa yang melihat adegan klasik dengan wajah mupeng?

Si miliader raja minyak.

Dia menggeser tubuhnya hingga aku dan Dylan dapat melewati pintu secara bersamaan.

"Sepertinya dinner kita harus ditunda, sugarpulm," katanya tepat ditelinga kananku dan membuat hidungnya bergesekan dengan kulit leher ku dan itu membuatku geli. Sangat.

Aku hanya tertawa kecil dan menoleh ke kanan, ingin melihat mata biru laut yang sangat menenangkan itu. Namun tanpa bisa ku kendalikan, bola mataku fokus pada seseorang berdiri bersandar disamping tembok dengan tangan terlipat di depan dada dan melihatku dengan tatapan yang tak dapat ku definisikan.

karena semuanya terlalu rumit untuk ku pikirkan saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar