Bell pulang sekolah sudah berbunyi tiga puluh menit yang
lalu. Tapi aku belum melihat Velvet sejak tadi. Barisan mobil pun berderet
mengantri untuk keluar dari lapangan parkir ini. Sampai akhirnya hanya tersisa
mobil yang ku kendarai, Chevrolet Camaro milik Dylan dan beberapa mobil lain
yang dapat dihitung dengan jari.
Aku mengeluarkan iphone yang dari tadi pagi
belum ku sentuh, karena dalam waktu kegiatan belajar mengajar siswa-siswi
dilarang untuk mengaktifkannya. Meskipun beberapa saat aku sering melanggar
peraturan tersebut.
Shit! Gimana gue mau nelpon kalo nomer aja gak
punya!
wtf.
iphone hitam tersebut lemparkan dan mendarat
mulus di jok pengemudi sementara tubuhku bersandar pada pintu.
Kemana sih ni anjing satu.
Set dah, bisa sampe besok pagi dah gue disini!
Hingga akhirnya hanya tersisa mobil ku dan
Camaron merah maroon di lapangan parkir ini. Dan, hm?
Apa si Velvet-- Celeng?
Aku segera mengambil handphone tersebut dan mengunci mobil.
Lalu berjalan cepat menuju pintu yang menyambungkan lapangan parkir dengan area
sekolah. Fak. Dikunci. Aku harus benar-benar berlari menuju gerbang utama
sekolah ini yang berada di pinggir jalan raya dan cukup membuang waktu untuk
menuju kesana. Langkah kaki ku terus melaju dengan cepat melewati lapangan
basket hingga menuju koridor sekolah dan--
BURGH.
Keseimbanga ku hampir goyah jika aku tak sempat
meraih kusen jendela disampingku. Sementara orang yang ku tabrak jatuh
kelantai.
"WATDEFA--K"
Dylan?
Aku melihatnya yang masih terduduk dilantai
dengan hem sekolah yang sudah keluar kemana-mana dan beberapa kancing bajunya
yang tak terkait sempurna--
For some God forsaken reason! Im fuckin sure he
did--
"EMIR! Lo buta apa--"
"Fuck off leng! Where's she?!"
"Who is she?!"
ARGH. Aku mencengkram salah satu kerahnya hingga ia
terangkat.
" MIR!"
"Where is she! Leng!" Kataku dengan
penuh oenekanan disetiap katanya
"Ma-maksud lo siapa?!" Kedua tangannya
mencoba melepaskan gengamanku pada kerahnya.
Bullshit. "VELVET! WHERE IS SHE!" Aku melepaskan
cengraman ku membuat ia kembali terjun bebas diudara dan jatuh dengan kasar.
"GU— GUE GAK TAU MIR!"
Masih bisa ngelak dia?!
Aku mencengram kerahnya lagi dengan tangan
kiriku namun tak ku tarik. Dan tangan kananku sudah ku kepalkan, sudah siap
untuk—
"wooow gaaang!" "Stop the dramaa
pleasee!"
Sebuah tangan berhasil melepaskan cengramanku
dan menarikku menjauh dari Dylan yang masih duduk dengan raut wajah masih
terkejut.
"Calm down gangg! Whats wrong with you two?!" Kata
Falen yang melemparkan pandangannya ke arah ku dan Dylan.
"Dont ask me!" bentak ku.
Falen memperhatikan Dylan, lalu detik berikutnya
dia membantu Dylan berdiri tepat didepanku. Tempat yang strategis untuk ku
melemparkan satu tinjuan pada perutnya dan ia akan kembali tersungkur dilantai
untuk yang ke tiga kalinya.
"Hei! Gang! Kenapa jadi diemm?!"
"Oke. Gue lagi lewat lorong. Emir nabrak
gue. Dia marah-marah. Narik kerah gue. Nanya Velvet dimana. Yang jelas gue gak
tau dimana Vel--"
"Bacot leng! Mana Velvet!"
"Sumpah! Se sumpah sumpahnya! Gue gak tau
Velvet dimana!"
"Ta--"
"Stopo gangg!" Falen berhasil menangkap gengaman
tanganku yang siap menghujam lambung Dylan beberapa detik lalu. "Mir, gue
yakin Dylan gak tau Velvet dimana,"
Bagus. Falen percaya omong kosong Dylan!
"Sumpah mir! Gue harus apa biar lo percaya
hah?!"
Tilulit.
Tilulit.
Argh.
Tilulit.
Tilulit.
Jempolku
menyentuh layar dan mengangkat sambungan telepon. Pasti aunty.
“Hallo?”
“Ya,
aunty?”
“Aunty?”
Aku
terkejut saat suara perempuan itu bertanya kepada ku. Aku menjauhkan layar
handphone itu dari telingaku dan melihat layar bertuliskan— Mommy? Sejak kapan gue nyimpen nomer nyokap di sini?
“Vet?”
Vet? “Hallo?”
VELVETT!
“Ha-hallo
tante?” Aku bertatapan dengan pandangan Dylan dan Falen yang menatapku dengan
penuh tanda tanya. “Ini Emir, yang kemaren ketemu di rumah Aunty Palma,”
Tanganku member isyarat meminta waktu beberapa saat untuk menjawab telepon dan
kaki ku bergerak beberapa langkah menjauh dari mereka.
“Oh!
Emir?”
“Iya
tante,” “A-ada apa?” Stupid question! Ya
jelas nyokap nya nyari anaknya!
“Itu,
Velvet mana ya? Tante mau bicara dengan Velvet.”
Stupid.
“Ini
tante. .” Ding, “Velvetnya,” Ding, “lagi, . .” Ding, “Vetvetnya lagi mandi,”
“Ooh,”
“Yasudah, nanti tante telpon lagi,”
“Iya
tante,”
“Nak
Emir,”
“Ya,
tante?”
“Velvet
baik-baik saja kan dirumah?”
Baik
Tan, kalo lagi tidur. Diem, gak bawel, meskipun sempet kena tendang. Untung
anak tante manis—what? “Baik tan,”
“Baguslah,”
“Tolong jaga Velvet ya,”
Tan,
ini aja anaknya ngilang, “Pasti, tan.”
“Dia
kalo malem suka susah tidur, jadi gak bisa bangun kalo gak dibangunin, hahha”
Aku pun tertawa mendengar tawa dari sebrang sana, meskipun tak tertawa lepas.
Iya
tan, tau tan. Ngerepotin ya anak tante satu itu.
“Tapi,
tante serius, tolong jaga anak tante.” “Velvet,” “Anak tante satu-satunya,”
“I-iya,
tante, Emir pasti,” Doh. “Pasti
selalu jagain Velvet,”
“Hahaha,
yasudah, trimakasih nak Emir,”
“Ya,”
TUT.
Aku
memandangi layar iphone yang sudah berganti. Iphone kita tertukar. Stupid.
Dylan
dan Falen masih menatapku dengan penuh pertanyaan. Rasa terkejut dan marah
Dylan masih terlihat dari kedua bola matanya.
“Kita
cari Velvet,” “Sekarang.”
***
Rumah sudah sangat gelap, hanya beberapa lampu yang menyala
saat mobil Aunty Pal terparkir di garasi.
Aku tak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.
Apa yang membuatku menjadi seperti ini. Menjadi orang yang seakan-akan peduli
dengan orang lain. Menjadi orang yang panik. Menjadi orang yang tidak bisa
mengendalikan emosinya sendiri. Dan tidak seperti diriku yang kukenal. Semua
berlangsung spontan tanpa bisa ku kendalikan.
Hari ini, hari yang sangat melelahkan. Hari ini dan hari
kemarin. Mengingat ini sudah pukul tiga dini hari dan aku baru kembali. Mencari
seorang anak ditengah kota yang padat seperti ini. Dan ternyata dia masih
berada di area sekolah. Dan dengan bodohnya, dia tak langsung pulang setelah
sekian jam aku mencarinya. Anak itu memilih untuk pulang sendiri.
Poor you.
Langkahku
berhenti ditengah lorong sebagai jarak pemisah antara kamar ku dengan kamar
Velvet yang tertutup rapat saat aku melihatnya sekilas. Aku mendorong gagang
pintu kamarku, lampu menyala terang, tirai masih terbuka lebar dan selimut
tebal berwarna putih berserserakan diatas tempat tidurku yang juga tak rapih.
Selimut
putih sudah berada ditanganku saat aku memasuki kamar Velvet. Dia tertidur
diatas sana dengan pajamas bergambar spongebob. Aku menyelimutinya dan dia
langsung menggenggap erat selimut yang ku berikan.
Aku
teringat bagaimana ia tergeletak dipojok ruang kamarku dengan selimut tebalnya
sebagai alas. Seperti anak anjing yang menemukan kandangnya. Aku mengangat
tubuhnya hingga ia telah tertidur disebahku, diatas tempat tidur tentunya.
Hanya berselang beberapa menit sebelum akhirnya alarm ku berbunyi untuk bersiap
pergi ke sekolah.
Velvet
masih tidur dengan nyenak saat aku sudah berpakaian lengap ala anak sekolah
menengah atas. Ya tidur sangat nyenyak, dengan kaki dan tangan menjalar
kesegala arah, dan mulut yang terbuka lebar. Aku tak berani membangunkannya.
Apa jadinya kalau ia sadar, aku memindahkan tubuhnya ke atas tempat tidur, bisa
teriak-teriak dia lah.
Seperti
hari-hari lalu, setiap aku membuka pintu kamar pagi hari, Justin akan duduk
dibalik pintu menunggu pintu terbuka dan ia akan segera masuk, melompat-lompat
mencoba meraih kaki ku. Aku membantunya menaiki tempat tidur, dan menyuruhnya
untuk membangunkan Velvet.
Beberapa
saat kemudian, badan Velvet bereaksi. Aku meninggalkan kamar, sebelum Velvet
bangun dan berubah menjadi singa yang siap menerkam.
***
min, lanjut elsnya yahhh. lagi seru itu. kepo parah sama lanjutannya
BalasHapus