Gue coba telpon emir lagi.
"Hello?" "Mir?" " ya? Aku lagi dijalan.. Tunggu ya. Aku pasti kesitu"
Yah.. Emir gak bisa ditelepon. Gue tunggu satu jam, tapi belum juga datang. Sampai gue ke tiduran, dan membuka mata kembali sampai pukul 9pagi. Pusing mendera kembali. Satu yang ada dipikiran gue. Kenapa harus gue yang penyakit gak jelas ini? Penyakit yang belum diketahui ini?
Bangun2 gue udah pindah kamar lagi. Alat yang gak jelas itu tambah banyak disekeliling gue . Ruangan yang besar dan hanya gue didalamnya. Gue menunggu sampai ada orang yang sadar bahwa gue udah bangun sekarang. Sampai jauh didepan gue terlihat dibalik kaca jendela ada yang menengok ke dalam. Gue segera melambaikan tangan gue meskipun lemes. Dan dia menyadarinya. Segera dia masuk, dan ternyata itu Emir. "Eh kamu udah bangun ya.." gue pengen bilang bilang, gue kenapa? Tapi emir ngelarang gue buat lepas alat yang nutup mulut gue tu, dan dia mengembilkan secarik kertas dan sebuah pulpen. Gue menulis pertanyaan gue tadi. Emir menjawab "kita belum dikasih tau.. Harus orang tua kandung yang dikasih tau pertama. Tapi aku yakin.. Kamu gak kena penyakit yang parah. Kamuan kuat! :)" gue nulis lagi. "Mama lagi diluar" emir jawab "iya.. Kita lagi nyoba hubungin mama kamu, tapi..ya.. nihil" mendengar perkataan itu gue hanya bisa menutup mata dan meneteskan air mata yang lumayan deras mengalir. "Kamu jangan takut.. Aku akan selalu disamping kamu, sampai mama kamu datang kesini.. Aku janji. Janji sejanjijanjinya.. Kamu pasti bisa ngelewatin ini! Kamu kuat! :)"Dia cuma bisa bilang kuat! Tapi dia gak pernah tau gimana perasaan gue sekarang! Gimana sakitnya nahan penyakit ini! Gimana sakitnya ditelantarkan orang tua disaat2 kaya gini! Dia gak pernah bisa jadi gue.
"Udah jangan nangislah.." dia menghapus air mata gue. Gue mencoba tidur, ingin rasanya gue bisa bertemu mama gue lagi seperti waktu kemarin. Gue memikirkan mama gue lagi, sampai kepala gue pusing berat, akhirnya gue bisa melihat kembali mama gue didepan mata gue. Masih aja sibuk. Gue berusaha mencari phonenya, meskipun gue harus merakak sekalipun. Gue menjatuhkan hpnya yang membuatnya kaget dan menyentuh phonenya.
"misscall?" dilihatnya misscall dari nomer gue, mbak, pak rusdi dan rumah sakit. Sebelum gue berbicara dengannya, dada gue kaya ketusuktusuk sakit gak bisa ditahan.
"misscall?" dilihatnya misscall dari nomer gue, mbak, pak rusdi dan rumah sakit. Sebelum gue berbicara dengannya, dada gue kaya ketusuktusuk sakit gak bisa ditahan.
Gue kembali kedunia nyata.
Mata gue membuka dan melihat sekumpulan dokter dan suster mengelilingi gue dengan alat pembangit jantung gitu. Muka gue langsung berubah freak. Muka mereka terlihat lega. Gue gak berani berkata2 meski alat yg menutup mulut gue tidak dipasang lagi. Mereka keluar, dan gue pun ditinggal sendiri. Dibalik kaca terlihat orang banyak berkumpul. Mondar-mandir ataupun hanya duduk dan menangis. Seorang dari mereka mendekati pintu dan masuk kedalam ruangan.
"Mir, ad..a..a..pa..?" dia tak menanggapi. Hanya duduk disebelah gue man mengelus2 rambut dan pipi gue. Dia meneteskan air mata. Seumur hidup gue selama mengenal emir, gue gak pernah sekalipun melihat air mata emir jatuh. Melihat matanya berkaca2 sekalipun engga. Membuat gue shock. "Emir kenapa?" matakita saling berpandangan...........
"Mir, ad..a..a..pa..?" dia tak menanggapi. Hanya duduk disebelah gue man mengelus2 rambut dan pipi gue. Dia meneteskan air mata. Seumur hidup gue selama mengenal emir, gue gak pernah sekalipun melihat air mata emir jatuh. Melihat matanya berkaca2 sekalipun engga. Membuat gue shock. "Emir kenapa?" matakita saling berpandangan...........