Si Juke telah memasuki lapangan parkir
sekolah yang berada tepat di sebelah gedung sekolah. Emir sibuk mencari slot parkir kosong,
sementara aku sibuk mengunyah nasi goreng sambil memasang sepatu lalu menyisir
rambut dengan jemari sebagai sisir . Saat mesin Juke telah padam, tas ransel
sudah berada dipangkuanku dan bersiap untuk keluar.
“Gue keluar duluan,” Kataku masih
sibuk bercermin memastikan wajahku cukup layak untuk di lihat warga sekolah.
“Gue gak mau jadi omongan sekolah kalo gue berangkat bareng sama lo.”
Gerakan tangan Emir yang sedang
membuat dasi berhenti mendengar
perkataanku. “tapi orang-orang bakal tau kalo gue sama lo tinggal satu rumah”
Kini aku yang berhenti mengaca dan
memusatkan pandanganku pada abang nyolot satu ini. “Noway! Gak ada yang boleh
tau!”
“Dylan? Falen?”
“Ya kecuali mereka,”
“Gue gak janji,”
Aku sudah sangat geram berdebat dengan
Emir dan segala sanggahannya yang gak masuk akal. “Apa sih mau lo”
Dia hanya mengangkat bahu sebagai
jawaban atas pertanyaanku.”Pokoknya, di area sekolah, gue gak kenal lo, lo
jangan pernah ganggu hidup gue.” Aku
membuka pintu dan membanting dengan
cukup keras pintu. Maafkeun aku telah
merusak mobil mu, Tante Pal.
Memasuki gedung sekolah dan langung berjalan
menuju kelas ku yang berada dilantai teratas, terpojok, dan terpencil itu.
Hampir semua anak sudah berada duduk ditempat duduk seperti biasa, ya kecuali
tempat ku yang berada dideretan dekat tembok. Summer sudah duduk dibangkunya,
depan ku. Sementara aku tak tahu dimana keberadaan Naomi, yang jelas tas cantik
nya sudah berada di meja sebelahku.
“Lo kemana aja njir? Gak pernah muncul
di group,” Kata Summer setlah ia berhasil membalikan badannya ke belakang.
“Hm,” “Sibux gue,”
“Aek serah lo.”
Aku kembali meneguk susu kedelai yang
tersisa setengah botol saat Summer berbalik badan menghadapku.
“Harus ya minum susu tiap pagi?”
Katanya dengan pandangan serius tapi juga mengejek.
“Yaela, kaya ga kenal gue aja,”
Dia memutarkan bola matanya. “Ntar
latian basket kek biasa.”
Haduh, senin memang hari yang sangat
melelahkan ya. “Gue izin lah, kaki gue kemaren baru kena beling,”
“Ih, gue malu punya temen kaya lo, gue
kapten sohibnya malah males-malesan,”
“Yaampun Samm, gue serius,”
Tiba-tiba seseorang duduk disampingku
dan menubruk bahuku sengaja. “Lo ngga malu apa diomongin sama anak-anak,”
“Ish apaan si, anak cheers diem lah,”
Kataku kepada Naomi. “Eh. Tapi anak-anak pada ngomong apaan?”
“Velvet adalah pemain basket gadungan
sekolah yang mempunyai niat bejat menarik perhatian para lelaki di setiap
pertandingan yang hanya bisa duduk di bangku pemain,” Katanya dengan nada
dilebih-lebihkan.
Summer hanya tersenyum mengejek dan mengangguk. “Gue setuju sama mereka,”
“Hah sumvah lo? Mereka ngomong kaya
gitu? Anjir gue pemaen basket beneran anjir, gue pengen main basket beneran!
Gak banget deh caper sama cowok iuh. Sok tau banget sih anak-anak! ANAK SIAPA
ITU NYOLOT BANG--”
Dan tepat saat aku
berteriak, seorang guru berkepala botak plontos memasuki ruang kelas dan
suasana menjadi hening, sangat hening.
“EeeEt. . .” Semua mata kini tertuju padamu. Map salah, pada ku. Mereka
tertawa bersama-sama , lagi. Menertawai kebodohanku, lagi.
Ya, kejadian ini sudah sering terjadi.
Aku melakukan sedikit saja prilaku yang upnormal
dan hoala aku menjadi pusat perhatian
dan di tertawai. Semoga saja mereka sudah memaklumi segala perbuatanku di tahun
terakhir ini.
Aku membalas dengan senyuman kikuk dan
mengambil task e pangkuanku. Niat awal sih mau nyiapin buku. Tapi apa yang bisa
kamu lakukan jika kamu membawa baju, celana, handuk, dan benda-benda dalam di dalam tas sekolah dan pada saat itu gurumu
sudah memberikan tugas pada salah satu buku yang kamu butuhkan.
“Huahahahahahhaha,” “Lo, hahaha,” “Lo
mau kemping apa gimana?”
Sial. “Salah bawa tas gue,”
“Hahahahhahaha”
“Hust diem kamvret!” “Gue gak mau
diketawain anak-anak lagi,”
“Hahhaahha” “Lo lawak deh,”
Emang gue lagi stand up comedy.
Eh,de javu!
Eh, engga deng. Kayaknya gue pernah
ngebatin kaya gini deh, tapi ke siapa yak. Emang gue lagi stand up comedy. . .
OH! Si abang Dylan. Hahaha. Kelas berapa ya dia. Kangen sama abangnya deh. Ett.
Baru juga kenalan udah naksir ae. Peletnya kuat ya si abank.
“Anjir gue dikacangin,”
“Ha?” Aku kegalapan saat Naomi berkata
seperti itu. Padahal beberapa detik yang lalu ia masih terbahak-bahak tak
henti. “Bareng dong bukunya,”
“Iye,”
Pada akhirnya aku mengerjakan soal
Matematika bersama Naomi. Selain cantik, body goals, make up ga menor, feeds
instagram yang cakep, dan antrian endorse yang mengular dia adalah sosok
sahabat yang dapat diandalkan dalam pelajaran matematika. U know lah,
dibandungkan ku. Apa daya Velvet jika dibandingkan dengan kecanggihan otak Naomi
dan juga Summer yang ahli dalam bidang fisika.
Jangan pernah bandingkan Velvet yang seperti upik abu yang malas
olahraga tetapi mengambil ektra basket ini.
YA, gue juga gatau kenapa dulu milih basket. Salah nyentang kali ya,
perasaan gue maunya lukis biar ga capek, ga keringat iuh.
“Lo dengerin gue gak sih?” Suara
tinggi Naomi benar-benar menghancurkan tingkat kefokusanku mengerjakan soal ke
dua dari tiga puluh soal essay ini.
“Gue lagi focus Namm!” “apaan?”
“Pelajaran terakhir fisika, Bu Tina,”
Aku mencoba berpikir ada apa hubungan
antara fisika, Bu Tina dan aku. Oh jelas, Bu Tina akan mengajar fisika di kelas
ku. “Trus?”
“Ya Bu Tina kan sering ngadain pretest
mendadak dari modul, kalo gak ada modul gak dapet nilai lo,”
Mampus.
Otak liarku kini berpikir keras. Bukan
tentang soal matematika yang iuh ini. Namun, siapa anak kelas lain yang pinter
dan rajin ngerjain modul macam fisika kaya gitu? Sayangnya aku hanya mengenal
beberapa murid pada angkatanku. Um. Setidaknya aku mengenak anak-anak basket
dan anak kelas ini. Meskipun aku tak tahu semuanya. Ehe. He he he. “Johan?”
“Iya! Dia pinter kan? Siapa tau dia mau minjemin gue” Aku menyebut random salah
satu orang yang aku kenal dan aku temui digerbang sekolah tadi.
“Pinter sih.” “Tapi tulisannya kaya
ceker ayam gimana bisa lo baca,”
Ohya bener juga. Dia jenius bukan
pinter lagi itu mah,
Trus siapa . . .
“Dylan?”
Aku menyebut random lagi. Naomi
menjatuhkan pensil mekaniknya ke lantai saat aku bertanya nama itu. Dia
berusaha mengambil namun pensil mekanik itu berada dibawahku dan jauh dari
jangkauannya.
“Dia ipa kan ya?” Kataku
saatmemberikan pensil mekaniknya.
“Hm. . Gak tau,”
“HUAA.” “Lo tau gak dia kelas berapa?”
“Mungkin A3, apa S3 gue lupa”
“Okaay” “Semoga dia anak ipa yang gak
bego, percuma gue pinjem tapi ga ada jawabannya,”
Summer kini berbalik badan dan memukul
kepalaku dengan pulpen yang ia pegang. “Aww,” “Apaan si Sam?” Sam untuk Samer,
karena Summer jika dibaca dengan sumer dan disingkat menjadi sum akan terkesan
menjadi sumsum dan mer iuh, ga banget.
“Lo pikirannya nyontek terus, kapan
pinter!”
Aku hanya tertawa dan kembali
mengerjakan soal nomer dua. Pelajaran matematika berlangsung lancar, meskipun
pada detik-detik terakhir sebelum pengumpulan lembar jawaban ku tetap melihat
kertas milik Naomi. Kepepet.
Masih terdapat pelajaran Bahasa
Indonesia, istirahat pertama, Biologi, istirahat dan akhirnya sebagai penututp
hari ini adalah Ibu Tina. Mungkin
istirahat pertama gue ke A3.
Pelajaran Indonesia tak terlalu
penting, ibu guru Bahasa ini sangat mudah untuk mengalihkan perhatiannya.
Beberapa soal bahasan, lalu ada embel-embel pertanyaan kurang bermutu, lalu
guru itu akan menjawab pertanyaan dengan
kata-kata yang rumit dan selalu berputar-putar dan aku tidak bisa menarik
kesimpulan jawabannya. Selalu seperti itu, hampir disetiap pertemuan dalam kelas.
Saat bell berbunyi, aku langsung
berdiri diikuti Summer dan Naomi yang bersiap menuju ke toilet. Aku berkata
kepada mereka bahwa aku akan menyusul ke toilet, secepatnya. Menyusuri lorong
yang mulai dipadati anak-anak yang
berlalu-lalang. Hingga akhirnya aku sampai pada kelas XII IPA 3. Sejujurnya,
aku sangat jarang memasuki kelas lain yang diisi oleh beberapa orang asing yang
aku tak kenal, seperti saat ini, aku hanya bisa berdiri didepan pintu kelas dan
menetuknya.
Toktok.
Tok
Tak ada yang membalas.
Ya
ga ada bego, ini jam istirahat.
Aku menyelipkan kepalaku disela pintu
yang terbuka sedikit dan . . .
Kosong.
Kelas kosong, tak ada orang maupun
tas yang berserakan di lantai. Hanya
ruang kelas normal dan masih bersih.
“Bolos sekelas? How cool! “
Kelas
gue juga harus coba kaya gini!
“Permisi mbak,” Kata seseorang dari
belakang ku yang berada di ambang pintu masuk.
Aku melangkah maju masuk ke dalam
kelas sehingga orang itu dapat masuk dan diikuti berapa orang di belakangnya
sehingga kelas ini menjadi ramai seperti layaknya kelas. Sudah tak ada terlalu
ramai orang yang berlalu lalang di pintu, namun aku belum menemukan Dylan
memasuki ruangan ini. Aku menarik sebuah tas yang disampirkan pada salah satu
bahu anak laki-laki ini saat ia lewat didepanku, “Eh, Lo kenal Dylan gak?”
Kataku yang membuat ia menoleh kearahku.
Yaela,
salah nanya orang.
“Lo siapa?” Katanya dengan datar,
benar-benar datar tanpa ada nada.
Aku berdecak, “Dimana Dylan?”
Dia menarik tasnya dari tanganku
secara kasar dan berjalan melewatiku menuju sebuah tempat duduk di pojok
ruangan dan melempar tasnya disana. Aku berjalan menuju mejanya dan berdiri
tepat disamping mejanya disaat ia duduk dan mengobrak-abrik tasnya mencari
sesuatu. Aku menarik tasnya dan kini
sepasang bola mata dengan iris berwarna coklat itu memandang ke arahku.
“Apaansi.”
“Gue gak mau buang waktu istirahat yang paling berharga ini buat adu bacot sama
lo,” “Cepet kasih tau gue dimana Dylan,”
Dia mengendus dan berdiri dari tempat
duduknya dan kini ia berada didepanku dengan tatapan mengintimidasi ditambah
aku yang beberapa centi lebih pendek darinya membuat ia harus mencondongkan
badannya kearahku. “Gue gak kenal lo, lo jangan pernah ganggu hidup gue.” Lalu
ia pergi. Keluar kelas. Meninggalkanku sendiri disini dengan beberapa pandangan
aneh dari anak-anak kelas ini.
Hm.
Okey kalo lo maunya gitu bang.
Aku berjalan menuju toilet dan menemukan Summer dan Naomi
bercermin disalah satu sisi tembok toilet. “Dapet contekan gak?” Kata Summer
sebagai orang pertama yang menyadari keberadaanku.
Aku menggeleng, sebenarnya aku ingin
bercerita apa yang terjadi pada hidupku kemarin saat bertemu anggota gang
paling bastard seantereo dunia, kata Naomi. Namun apa daya, aku akan menjaga
rahasia itu sampai waktu yang tepat, aku akan menceritakan kepada mereka bahwa
aku tinggal bersama salah satu anggota gang paling bastard seantereo dunia itu.
Gang? Gang berisi tiga orang? Dimana salah satu dari mereka adalah laki-laki
yang lucu dan humoris meskipun sedikit receh , salah satu yang lain adalah
laki-laki paling manis yang tahu bagaimana memperlakukan perempuan secara benar
dan yang terakhir. Nah! Ini baru yang bastard. Mungkin seharusnya sebutan itu
khusus untuk dirinya, karena ku rasa teman-teman yang lain tak seperti yang
orang-orang lihat.
“Masih ada istirahat ke dua,”
Kami berjalan menuju kelas kami dan
kembali duduk didalam kelas menghabiskan istirahat pertama. Bell berbunyi.
Anak-anak masuk dalam kelas. Guru masuk. Mengoceh. Murid mencatat. Bosan.
Meskipun ini pelajaran favorite ku. Tapi entahlah. Aku mulai malas berada di
tempat ini.
Bell istirahat kedua berbunyi. Satu
tempat yang paling memungkinkanku bertemu dengan Dylan adalah kantin. Masih
ingat saat scene Nasi Goreng ku Sayang? Ya itu terjadi di kantin saat istirahat
kedua, dimana aku bertemu dengan Dylan sebagai malaikat pelindung dari
tendangan si orang jahat satu itu.
Naomi, Summer dan aku berjalan menuju
kantin yang berada lantai bawah. Setibanya di kantin mereka bergegas mengantri
memesam makanan sementara aku melemparkan pandangan jauh untuk menemukan target
yang kucari.
GOTCHA!
Aku berjalan menuju mejanya dan
tersenyum ke arahnya yang sedang bercanda gurau dangan orang lain yang berada
di mejanya. Dia melihatku lalu membalas senyumanku.
“Ah, sugarplum.” “Duduk sini,” Katanya
sambil menepuk bangku disebelahnya yang masih kosong,
Aku pun duduk disampingnya danlengan
kanannya melingkari belakang pinggangku dan tangan yang cukup besar itu meraih
pingangku dan menggeserku supaya bisa duduk lebih dekat dengannya. Jangan lagi, Dylan. . . Mataku menyusuri
wajah setiap orang yang duduk dimeja ini. Tiga orang laki-laki yang tak kukenal
memandang kearahku. Salah satu dari mereka terus memerhatikan gerak gerik ku
dari tadi. Aku juga membalas tatapannya yang ewh. Sebelum seorang lagi datang
membawa makanan dan segels minuman ditanganya dan duduk tepat didepanku. Dia
memasang raut wajah datar dan acuh terhadap keberadaanku, tidak seperti
laki-laki lain dimeja ini. Oh. Great. Seorang
Velvet berada di meja anak-anak badass seantereo dunia.
“Alah mak jalll!” Sebuah seruan
mengagetkanku, “Mau duduk dimanakah dirikuu?”
Dan siapa lagi kalau bukan Falen yang
bisa berkata seperti itu? Dan aku bingung mengapa dia bisa masuk dalam gang
ini, maksudku diantara teman-temannya yang cool dan asdfghjkl ini. Dia adalah
anak yang paling friendly, dan ya. Tak seperti anak yang lain.
“Ngapain si lo disini?” Kini Emir
angkat bicara.
“Wetss, santai sob.” Dylan kembali
menjadi malaikat pelindungku, dengan lengannya yang belum juga terlepas dari
tubuhku. “lo bisa geser kan?”
Dia menatap Dylan dengan tatapan
membunuh. Namun setelahnya ia berseger dan membiarkan Falen duduk disampingnya.
Situasi kembali tenang, mereka memakan makananya dan tiga laki-laki yang tak ku
kenal itu kembali membicarakan hal yang lain.
“Ada apa sugarplum?” Kata Dylan yang
menatap wajahku dengan senyuman yang sangat manis.
“Um.. Gue boleh pinjem modul fisika
gak?”
Bukannya menjawab ia tertawa,
menertawaiku seperti hari kemarin. Apa yang salah dari pertanyaanku tah? Kenapa
semua orang gemar sekali menertawaiku.
“Maaf sugarplum, aku bukan anak ipa,”
Aku berhenti mengambil napas, seakan
dunia ini berhenti dan menertawaiku. Aku mencoba tersenyum kecil namun tak
bisa. Sepertinya otot ku mati saat ini. “Oh. . . maaf—“
“gak usah minta maaf, sugar” “Kamu gak
salah,” Katanya sambil memainkan jemarinya dipipiku. Dan ini menjadi awkward
saat wajahnya berada sangat dekat denganku dan mata biru nya yang menatap lekat
ke arahku. “Kamu lupa bawa?”
Aku hanya bisa mengangguk karena ku
yakin jika aku berbicara maka suara ku akan seperti tikut kejepit.
Dia berhenti memandang kearahku, namun
jemarinya tak lepas dari kulitku.
“Len, lo bawa modul fisika?”
Falen yang melepas daging ayam dari
tulangnya hanya menggeleng, “Hari ini fisika Cuma kelas A1 sama A3.”
Oh
shyit, berarti cuma kelas gue sama si ketek satu ini.
“Mir,--“
“Dylan,” Aku berbisik tepat di
telinganya membuat ia berhenti melanjutkan kalimatnya. “Kenapa gak minjem
mereka aja?” Kataku sambil mengarahkan daguku pada tiga orang yang masih asik
dengan dunia mereka.
“Mereka temen sekelasku, sugarplum ,”
Haduh.
Mengapa dari beratus laki-laki, aku harus berurusan dengan mu, abang?
“Mir, lo bawa modul fisika kan?”
Emir memusatkan perhatiannya kepada
ku, lalu beralih kepada Dylan. Dia mengangguk. “Pinjem lah,”
“Ditas.”
HANJIR!
“Kenapa
gak minjemin gue sih tadi?!”
Hening. Tak ada balasan. Emir kembali
memakan bakso potongan terakhir. Lalu ia menyeruput minumannya hingga habis dan
beranjak dari meja ini.
“Perlu aku anterin ke kelas Emir gak, sugarplum?”
Aku berdiri dan melepas seluruh tangan
Dylan yang bergelayutan di pinggangku. “Gausah, aku sama Emir aja,” Dylan
mengangguk dan aku segera berlari mengekor Emir dari belakang.
Ia berjalan menuju meja terpojok
kelas dan melemparkan modul fisika tepat
di depanku dan jatuh ke lantai. Argh.
“Lo pergi sana, dan lo jangan pernah
ganggu hidup gue.” “Lagi,”
Taek.
Tanpa berterima kasih aku mengambil
modul itu dari lantai dan berjalan menuju kelas ku.
Keknya
kecil kemungkinan aku akan mendapatkan jawaban dari modul lusuh dah faktanya,
modul ini milik Emir si pemalas dan pemarah.
Saat aku memasuki kelas, beberapa anak
memandang gerak gerik ku dari awal aku memasuki kelas hingga aku berada
ditemoat duduk ku bersama Naomi dan Summer.
“WHAT IS THAT?” Sembur Summer saat
pantatku baru saja mendarat diatas tempat dudukku.
Aku memandangnya dengan tatapan
bingung. “Wat?”
Naomi mengangkat alisnya. “Sejak kapan
lo deket sama gank ter—“
“Ter bastard seantereo dunia,” Aku
mengikuti ucapannya. “Ya, time flies guys. People change,” Liar.
“Ya, sejak kapan?!” “Minggu lalu lo
dimaki-maki sama mereka—“
“Engga, gak semua dari mereka se
bastard yang kalian piker,” Oke, kenapa
gue jadi ada di pihak mereka.
“Tapi—“ Kata-kata Naomi terputus oleh
ucapan Summer, “Whatever,” Lalu ia kembali menghadapkan badan ke depan. Ya si cuek Summer pun kembali.
Bell berbunyi. Beberapa menit kemudian
Ibu Tina masuk ke ruangan sambil membawa satu bendel kertas polos. “Selamat
siang anak-anak”
“Siang buuuk,” Beberapa anak kelsa ku
menjawab, namun sebagian besar hanya bergumam tak jelas.
“Buka kerjakan halaman tiga belas,
empat belas, lima belas. Tulis jawaban kalian di lembar yang ibu berikan. Kerjakan
sendiri. Jangan mencontek.”
Pretest.
Pretest adalah tes yang sering
dilakukan saat memasuki peralihan bab, bahan dari pretest adalah bab
selanjutnya dimana kita belum pernah diajarkan sama sekali. Meskipun ada
kaitannya dengan bab sebelumnya, namun untuk orang seperti ku yang memiliki
keterbatasan dalam dunia perhitungan dan logika ini akan manjadi rumit dan
tidak terselesaikan.
Bab
yang kemarin aja gue gak tau bahas apa, ini lagi bab berikutnya. Elah.
Aku membuka halaman tiga belsa, empat
belas dan lima belas.
Lembar jawabku pun datang, aku menulis nama, kelas, nomer
absen dan berdoa semoga setidaknya aku bisa menuliskan diketahui, ditanya dan
tulisan jawaban. Untun-untung akua bisa mengingat satu rumus.
Selesai berdoa, aku membuka mata. Dan Tuhan
sangat cepat mengabulkan doa ku. Lebih dari itu. U know what? Halaman tiga
belas, empat belas dan lima belas dari buku ini sudah terisi penuh dengan rumus
di setiap soalnya. Aku hanya perlu menyalin dan memasukan angka ke dalam rumus.
Dan hoalaa selesai lah sudah semua
masalahku.
Aku tersenyum.
Sepertinya
gue harus berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada abang jutek satu itu.
wweeyy makin asik aja ni els, lanjutkann
BalasHapusTrimakasih Tamara :) Udah ada yang baru tuh, cek yaa.
HapusHappy Reading!