Jumat, Agustus 05, 2016

00:08 // Pretest


Si Juke telah memasuki lapangan parkir sekolah yang berada tepat di sebelah gedung sekolah.  Emir sibuk mencari slot parkir kosong, sementara aku sibuk mengunyah nasi goreng sambil memasang sepatu lalu menyisir rambut dengan jemari sebagai sisir . Saat mesin Juke telah padam, tas ransel sudah berada dipangkuanku dan bersiap untuk keluar.

“Gue keluar duluan,” Kataku masih sibuk bercermin memastikan wajahku cukup layak untuk di lihat warga sekolah. “Gue gak mau jadi omongan sekolah kalo gue berangkat bareng sama lo.”

Gerakan tangan Emir yang sedang membuat dasi  berhenti mendengar perkataanku. “tapi orang-orang bakal tau kalo gue sama lo tinggal satu rumah”

Kini aku yang berhenti mengaca dan memusatkan pandanganku pada abang nyolot satu ini. “Noway! Gak ada yang boleh tau!”

“Dylan? Falen?”

“Ya kecuali mereka,”

“Gue gak janji,”

Aku sudah sangat geram berdebat dengan Emir dan segala sanggahannya yang gak masuk akal.  “Apa sih mau lo”

Dia hanya mengangkat bahu sebagai jawaban atas pertanyaanku.”Pokoknya, di area sekolah, gue gak kenal lo, lo jangan pernah ganggu hidup gue.”  Aku membuka  pintu dan membanting dengan cukup keras pintu. Maafkeun aku telah merusak mobil mu, Tante Pal.

Memasuki gedung sekolah dan langung berjalan menuju kelas ku yang berada dilantai teratas, terpojok, dan terpencil itu. Hampir semua anak sudah berada duduk ditempat duduk seperti biasa, ya kecuali tempat ku yang berada dideretan dekat tembok. Summer sudah duduk dibangkunya, depan ku. Sementara aku tak tahu dimana keberadaan Naomi, yang jelas tas cantik nya sudah berada di meja sebelahku.

“Lo kemana aja njir? Gak pernah muncul di group,” Kata Summer setlah ia berhasil membalikan badannya ke belakang.

“Hm,” “Sibux gue,”

“Aek serah lo.”

Aku kembali meneguk susu kedelai yang tersisa setengah botol saat Summer berbalik badan menghadapku.

“Harus ya minum susu tiap pagi?” Katanya dengan pandangan serius tapi juga mengejek.

“Yaela, kaya ga kenal gue aja,”




Dia memutarkan bola matanya. “Ntar latian basket kek biasa.”

Haduh, senin memang hari yang sangat melelahkan ya. “Gue izin lah, kaki gue kemaren baru kena beling,”

“Ih, gue malu punya temen kaya lo, gue kapten sohibnya malah males-malesan,”

“Yaampun Samm, gue serius,”

Tiba-tiba seseorang duduk disampingku dan menubruk bahuku sengaja. “Lo ngga malu apa diomongin sama anak-anak,”

“Ish apaan si, anak cheers diem lah,” Kataku kepada Naomi. “Eh. Tapi anak-anak pada ngomong apaan?”

“Velvet adalah pemain basket gadungan sekolah yang mempunyai niat bejat menarik perhatian para lelaki di setiap pertandingan yang hanya bisa duduk di bangku pemain,” Katanya dengan nada dilebih-lebihkan.

Summer hanya tersenyum mengejek  dan mengangguk. “Gue setuju sama mereka,”

“Hah sumvah lo? Mereka ngomong kaya gitu? Anjir gue pemaen basket beneran anjir, gue pengen main basket beneran! Gak banget deh caper sama cowok iuh. Sok tau banget sih anak-anak! ANAK SIAPA ITU NYOLOT BANG--”  

Dan tepat saat aku berteriak, seorang guru berkepala botak plontos memasuki ruang kelas dan suasana menjadi hening, sangat hening.  “EeeEt. . .” Semua mata kini tertuju padamu. Map salah, pada ku. Mereka tertawa bersama-sama , lagi. Menertawai kebodohanku, lagi.

Ya, kejadian ini sudah sering terjadi. Aku melakukan sedikit saja prilaku yang upnormal dan hoala aku menjadi pusat perhatian dan di tertawai. Semoga saja mereka sudah memaklumi segala perbuatanku di tahun terakhir ini.

Aku membalas dengan senyuman kikuk dan mengambil task e pangkuanku. Niat awal sih mau nyiapin buku. Tapi apa yang bisa kamu lakukan jika kamu membawa baju, celana, handuk, dan benda-benda dalam  di dalam tas sekolah dan pada saat itu gurumu sudah memberikan tugas pada salah satu buku yang kamu butuhkan.

“Huahahahahahhaha,” “Lo, hahaha,” “Lo mau kemping apa gimana?”

Sial. “Salah bawa tas gue,”

“Hahahahhahaha”

“Hust diem kamvret!” “Gue gak mau diketawain anak-anak lagi,”

“Hahhaahha” “Lo lawak deh,”

Emang gue lagi stand up comedy.

Eh,de javu!

Eh, engga deng. Kayaknya gue pernah ngebatin kaya gini deh, tapi ke siapa yak. Emang gue lagi stand up comedy. . . OH! Si abang Dylan. Hahaha. Kelas berapa ya dia. Kangen sama abangnya deh. Ett. Baru juga kenalan udah naksir ae. Peletnya kuat ya si abank.

“Anjir gue dikacangin,”

“Ha?” Aku kegalapan saat Naomi berkata seperti itu. Padahal beberapa detik yang lalu ia masih terbahak-bahak tak henti. “Bareng dong bukunya,”

“Iye,”

Pada akhirnya aku mengerjakan soal Matematika bersama Naomi. Selain cantik, body goals, make up ga menor, feeds instagram yang cakep, dan antrian endorse yang mengular dia adalah sosok sahabat yang dapat diandalkan dalam pelajaran matematika. U know lah, dibandungkan ku. Apa daya Velvet jika dibandingkan dengan kecanggihan otak Naomi dan juga Summer yang ahli dalam bidang fisika.  Jangan pernah bandingkan Velvet yang seperti upik abu yang malas olahraga tetapi mengambil ektra basket ini.  YA, gue juga gatau kenapa dulu milih basket. Salah nyentang kali ya, perasaan gue maunya lukis biar ga capek, ga keringat iuh.

“Lo dengerin gue gak sih?” Suara tinggi Naomi benar-benar menghancurkan tingkat kefokusanku mengerjakan soal ke dua dari tiga puluh soal essay ini.

“Gue lagi focus Namm!” “apaan?”

“Pelajaran terakhir fisika, Bu Tina,”

Aku mencoba berpikir ada apa hubungan antara fisika, Bu Tina dan aku. Oh jelas, Bu Tina akan mengajar fisika di kelas ku. “Trus?”

“Ya Bu Tina kan sering ngadain pretest mendadak dari modul, kalo gak ada modul gak dapet nilai lo,”

Mampus.

Otak liarku kini berpikir keras. Bukan tentang soal matematika yang iuh ini. Namun, siapa anak kelas lain yang pinter dan rajin ngerjain modul macam fisika kaya gitu? Sayangnya aku hanya mengenal beberapa murid pada angkatanku. Um. Setidaknya aku mengenak anak-anak basket dan anak kelas ini. Meskipun aku tak tahu semuanya. Ehe. He he he. “Johan?” “Iya! Dia pinter kan? Siapa tau dia mau minjemin gue” Aku menyebut random salah satu orang yang aku kenal dan aku temui digerbang sekolah tadi.

“Pinter sih.” “Tapi tulisannya kaya ceker ayam gimana bisa lo baca,”

Ohya bener juga. Dia jenius bukan pinter lagi itu mah,

Trus siapa . . .

“Dylan?”

Aku menyebut random lagi. Naomi menjatuhkan pensil mekaniknya ke lantai saat aku bertanya nama itu. Dia berusaha mengambil namun pensil mekanik itu berada dibawahku dan jauh dari jangkauannya.

“Dia ipa kan ya?” Kataku saatmemberikan pensil mekaniknya.

“Hm. . Gak tau,”

“HUAA.” “Lo tau gak dia kelas berapa?”

“Mungkin A3, apa S3 gue lupa”

“Okaay” “Semoga dia anak ipa yang gak bego, percuma gue pinjem tapi ga ada jawabannya,”

Summer kini berbalik badan dan memukul kepalaku dengan pulpen yang ia pegang. “Aww,” “Apaan si Sam?” Sam untuk Samer, karena Summer jika dibaca dengan sumer dan disingkat menjadi sum akan terkesan menjadi sumsum dan mer iuh, ga banget.

“Lo pikirannya nyontek terus, kapan pinter!”

Aku hanya tertawa dan kembali mengerjakan soal nomer dua. Pelajaran matematika berlangsung lancar, meskipun pada detik-detik terakhir sebelum pengumpulan lembar jawaban ku tetap melihat kertas milik Naomi. Kepepet.

Masih terdapat pelajaran Bahasa Indonesia, istirahat pertama, Biologi, istirahat dan akhirnya sebagai penututp hari ini adalah Ibu Tina. Mungkin istirahat pertama gue ke A3.

Pelajaran Indonesia tak terlalu penting, ibu guru Bahasa ini sangat mudah untuk mengalihkan perhatiannya. Beberapa soal bahasan, lalu ada embel-embel pertanyaan kurang bermutu, lalu guru itu akan menjawab  pertanyaan dengan kata-kata yang rumit dan selalu berputar-putar dan aku tidak bisa menarik kesimpulan jawabannya. Selalu seperti itu, hampir disetiap pertemuan dalam kelas.

Saat bell berbunyi, aku langsung berdiri diikuti Summer dan Naomi yang bersiap menuju ke toilet. Aku berkata kepada mereka bahwa aku akan menyusul ke toilet, secepatnya. Menyusuri lorong yang mulai dipadati  anak-anak yang berlalu-lalang. Hingga akhirnya aku sampai pada kelas XII IPA 3. Sejujurnya, aku sangat jarang memasuki kelas lain yang diisi oleh beberapa orang asing yang aku tak kenal, seperti saat ini, aku hanya bisa berdiri didepan pintu kelas dan menetuknya.

Toktok. Tok

Tak ada yang membalas.

Ya ga ada bego, ini jam istirahat.

Aku menyelipkan kepalaku disela pintu yang terbuka sedikit dan . . .

Kosong.

Kelas kosong, tak ada orang maupun tas  yang berserakan di lantai. Hanya ruang kelas normal dan masih bersih.

“Bolos sekelas? How cool! “

Kelas gue juga harus coba kaya gini!

“Permisi mbak,” Kata seseorang dari belakang ku yang berada di ambang pintu masuk.

Aku melangkah maju masuk ke dalam kelas sehingga orang itu dapat masuk dan diikuti berapa orang di belakangnya sehingga kelas ini menjadi ramai seperti layaknya kelas. Sudah tak ada terlalu ramai orang yang berlalu lalang di pintu, namun aku belum menemukan Dylan memasuki ruangan ini. Aku menarik sebuah tas yang disampirkan pada salah satu bahu anak laki-laki ini saat ia lewat didepanku, “Eh, Lo kenal Dylan gak?” Kataku yang membuat ia menoleh kearahku.

Yaela, salah nanya orang.

“Lo siapa?” Katanya dengan datar, benar-benar datar tanpa ada nada.

Aku berdecak, “Dimana Dylan?”

Dia menarik tasnya dari tanganku secara kasar dan berjalan melewatiku menuju sebuah tempat duduk di pojok ruangan dan melempar tasnya disana. Aku berjalan menuju mejanya dan berdiri tepat disamping mejanya disaat ia duduk dan mengobrak-abrik tasnya mencari sesuatu.  Aku menarik tasnya dan kini sepasang bola mata dengan iris berwarna coklat itu memandang ke arahku.

“Apaansi.”

“Gue gak mau buang waktu istirahat  yang paling berharga ini buat adu bacot sama lo,” “Cepet kasih tau gue dimana Dylan,”

Dia mengendus dan berdiri dari tempat duduknya dan kini ia berada didepanku dengan tatapan mengintimidasi ditambah aku yang beberapa centi lebih pendek darinya membuat ia harus mencondongkan badannya kearahku. “Gue gak kenal lo, lo jangan pernah ganggu hidup gue.” Lalu ia pergi. Keluar kelas. Meninggalkanku sendiri disini dengan beberapa pandangan aneh dari anak-anak kelas ini.

Hm. Okey kalo lo maunya gitu bang.

Aku berjalan  menuju toilet dan menemukan Summer dan Naomi bercermin disalah satu sisi tembok toilet. “Dapet contekan gak?” Kata Summer sebagai orang pertama yang menyadari keberadaanku.

Aku menggeleng, sebenarnya aku ingin bercerita apa yang terjadi pada hidupku kemarin saat bertemu anggota gang paling bastard seantereo dunia, kata Naomi. Namun apa daya, aku akan menjaga rahasia itu sampai waktu yang tepat, aku akan menceritakan kepada mereka bahwa aku tinggal bersama salah satu anggota gang paling bastard seantereo dunia itu. Gang? Gang berisi tiga orang? Dimana salah satu dari mereka adalah laki-laki yang lucu dan humoris meskipun sedikit receh , salah satu yang lain adalah laki-laki paling manis yang tahu bagaimana memperlakukan perempuan secara benar dan yang terakhir. Nah! Ini baru yang bastard. Mungkin seharusnya sebutan itu khusus untuk dirinya, karena ku rasa teman-teman yang lain tak seperti yang orang-orang lihat.

“Masih ada istirahat ke dua,”

Kami berjalan menuju kelas kami dan kembali duduk didalam kelas menghabiskan istirahat pertama. Bell berbunyi. Anak-anak masuk dalam kelas. Guru masuk. Mengoceh. Murid mencatat. Bosan. Meskipun ini pelajaran favorite ku. Tapi entahlah. Aku mulai malas berada di tempat ini.

Bell istirahat kedua berbunyi. Satu tempat yang paling memungkinkanku bertemu dengan Dylan adalah kantin. Masih ingat saat scene Nasi Goreng ku Sayang? Ya itu terjadi di kantin saat istirahat kedua, dimana aku bertemu dengan Dylan sebagai malaikat pelindung dari tendangan si orang jahat satu itu.

Naomi, Summer dan aku berjalan menuju kantin yang berada lantai bawah. Setibanya di kantin mereka bergegas mengantri memesam makanan sementara aku melemparkan pandangan jauh untuk menemukan target yang kucari.

GOTCHA!

Aku berjalan menuju mejanya dan tersenyum ke arahnya yang sedang bercanda gurau dangan orang lain yang berada di mejanya. Dia melihatku lalu membalas senyumanku.

“Ah, sugarplum.” “Duduk sini,” Katanya sambil menepuk bangku disebelahnya yang masih kosong,

Aku pun duduk disampingnya danlengan kanannya melingkari belakang pinggangku dan tangan yang cukup besar itu meraih pingangku dan menggeserku supaya bisa duduk lebih dekat dengannya. Jangan lagi, Dylan. . . Mataku menyusuri wajah setiap orang yang duduk dimeja ini. Tiga orang laki-laki yang tak kukenal memandang kearahku. Salah satu dari mereka terus memerhatikan gerak gerik ku dari tadi. Aku juga membalas tatapannya yang ewh. Sebelum seorang lagi datang membawa makanan dan segels minuman ditanganya dan duduk tepat didepanku. Dia memasang raut wajah datar dan acuh terhadap keberadaanku, tidak seperti laki-laki lain dimeja ini. Oh. Great. Seorang Velvet berada di meja anak-anak badass seantereo dunia.

“Alah mak jalll!” Sebuah seruan mengagetkanku, “Mau duduk dimanakah dirikuu?”

Dan siapa lagi kalau bukan Falen yang bisa berkata seperti itu? Dan aku bingung mengapa dia bisa masuk dalam gang ini, maksudku diantara teman-temannya yang cool dan asdfghjkl ini. Dia adalah anak yang paling friendly, dan ya. Tak seperti anak yang lain.

“Ngapain si lo disini?” Kini Emir angkat bicara.

“Wetss, santai sob.” Dylan kembali menjadi malaikat pelindungku, dengan lengannya yang belum juga terlepas dari tubuhku. “lo bisa geser kan?”

Dia menatap Dylan dengan tatapan membunuh. Namun setelahnya ia berseger dan membiarkan Falen duduk disampingnya. Situasi kembali tenang, mereka memakan makananya dan tiga laki-laki yang tak ku kenal itu kembali membicarakan hal yang lain.

“Ada apa sugarplum?” Kata Dylan yang menatap wajahku dengan senyuman yang sangat manis.

“Um.. Gue boleh pinjem modul fisika gak?”

Bukannya menjawab ia tertawa, menertawaiku seperti hari kemarin. Apa yang salah dari pertanyaanku tah? Kenapa semua orang gemar sekali menertawaiku.

“Maaf sugarplum, aku bukan anak ipa,”

Aku berhenti mengambil napas, seakan dunia ini berhenti dan menertawaiku. Aku mencoba tersenyum kecil namun tak bisa. Sepertinya otot ku mati saat ini. “Oh. . . maaf—“

“gak usah minta maaf, sugar” “Kamu gak salah,” Katanya sambil memainkan jemarinya dipipiku. Dan ini menjadi awkward saat wajahnya berada sangat dekat denganku dan mata biru nya yang menatap lekat ke arahku. “Kamu lupa bawa?”

Aku hanya bisa mengangguk karena ku yakin jika aku berbicara maka suara ku akan seperti tikut kejepit.

Dia berhenti memandang kearahku, namun jemarinya tak lepas dari kulitku.

“Len, lo bawa modul fisika?”

Falen yang melepas daging ayam dari tulangnya hanya menggeleng, “Hari ini fisika Cuma kelas A1 sama A3.”

Oh shyit, berarti cuma kelas gue sama si ketek satu ini.

“Mir,--“

“Dylan,” Aku berbisik tepat di telinganya membuat ia berhenti melanjutkan kalimatnya. “Kenapa gak minjem mereka aja?” Kataku sambil mengarahkan daguku pada tiga orang yang masih asik dengan dunia mereka.

“Mereka temen sekelasku, sugarplum ,”

Haduh. Mengapa dari beratus laki-laki, aku harus berurusan dengan mu, abang?

“Mir, lo bawa modul fisika kan?”

Emir memusatkan perhatiannya kepada ku, lalu beralih kepada Dylan. Dia mengangguk. “Pinjem lah,”

“Ditas.”

HANJIR! “Kenapa gak minjemin gue sih tadi?!”

Hening. Tak ada balasan. Emir kembali memakan bakso potongan terakhir. Lalu ia menyeruput minumannya hingga habis dan beranjak dari meja ini.

“Perlu aku anterin ke kelas Emir gak, sugarplum?”

Aku berdiri dan melepas seluruh tangan Dylan yang bergelayutan di pinggangku. “Gausah, aku sama Emir aja,” Dylan mengangguk dan aku segera berlari mengekor Emir dari belakang.

Ia berjalan menuju meja terpojok kelas  dan melemparkan modul fisika tepat di depanku dan jatuh ke lantai. Argh.

“Lo pergi sana, dan lo jangan pernah ganggu hidup gue.” “Lagi,”

Taek.

Tanpa berterima kasih aku mengambil modul itu dari lantai dan berjalan menuju kelas ku.

Keknya kecil kemungkinan aku akan mendapatkan jawaban dari modul lusuh dah faktanya, modul ini milik Emir si pemalas dan pemarah.

Saat aku memasuki kelas, beberapa anak memandang gerak gerik ku dari awal aku memasuki kelas hingga aku berada ditemoat duduk ku bersama Naomi dan Summer.

“WHAT IS THAT?” Sembur Summer saat pantatku baru saja mendarat diatas tempat dudukku.

Aku memandangnya dengan tatapan bingung. “Wat?”

Naomi mengangkat alisnya. “Sejak kapan lo deket sama gank ter—“

“Ter bastard seantereo dunia,” Aku mengikuti ucapannya. “Ya, time flies guys. People change,” Liar.

“Ya, sejak kapan?!” “Minggu lalu lo dimaki-maki sama mereka—“

“Engga, gak semua dari mereka se bastard yang kalian piker,” Oke, kenapa gue jadi ada di pihak mereka.

“Tapi—“ Kata-kata Naomi terputus oleh ucapan Summer, “Whatever,” Lalu ia kembali menghadapkan badan ke depan. Ya si cuek Summer pun kembali.

Bell berbunyi. Beberapa menit kemudian Ibu Tina masuk ke ruangan sambil membawa satu bendel kertas polos. “Selamat siang anak-anak”

“Siang buuuk,” Beberapa anak kelsa ku menjawab, namun sebagian besar hanya bergumam tak jelas.

“Buka kerjakan halaman tiga belas, empat belas, lima belas. Tulis jawaban kalian di lembar yang ibu berikan. Kerjakan sendiri. Jangan mencontek.”

Pretest.

Pretest adalah tes yang sering dilakukan saat memasuki peralihan bab, bahan dari pretest adalah bab selanjutnya dimana kita belum pernah diajarkan sama sekali. Meskipun ada kaitannya dengan bab sebelumnya, namun untuk orang seperti ku yang memiliki keterbatasan dalam dunia perhitungan dan logika ini akan manjadi rumit dan tidak terselesaikan.

Bab yang kemarin aja gue gak tau bahas apa, ini lagi bab berikutnya. Elah.
Aku membuka halaman tiga belsa, empat belas dan lima belas. 

Lembar jawabku pun datang, aku menulis nama, kelas, nomer absen dan berdoa semoga setidaknya aku bisa menuliskan diketahui, ditanya dan tulisan jawaban. Untun-untung akua bisa mengingat satu rumus.

Selesai berdoa, aku membuka mata. Dan Tuhan sangat cepat mengabulkan doa ku. Lebih dari itu. U know what? Halaman tiga belas, empat belas dan lima belas dari buku ini sudah terisi penuh dengan rumus di setiap soalnya. Aku hanya perlu menyalin dan memasukan angka ke dalam rumus. Dan hoalaa selesai lah sudah semua masalahku.

Aku tersenyum.


Sepertinya gue harus berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada abang jutek satu itu. 

2 komentar:

  1. wweeyy makin asik aja ni els, lanjutkann

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trimakasih Tamara :) Udah ada yang baru tuh, cek yaa.

      Happy Reading!

      Hapus