Menurutku
ini sudah direncanakan! kursi supir diisi Bima, disamping dia Aldi. Mereka
sibuk memerhatikan jalan. Sementara dibagian belakangku Niken dan Rara
berbicara soal majalah tebal bertulisan Vogue dibagian cover. Ngerti apa aku?! Dan
disinilah aku duduk, dibar bagian tengah, bersebelahan dengan Emir. Aku hanya
bisa diam menatap kaca disamping kiriku, sejak tadi, aku bingung harus membuka
pembicaraan dari mana. Meski aku–Jujur–Aku kangen banget sama orang
disebelahku ini.
"Ehem.
Van.. Tadi menang?" Emir berdehem. Menutup keheningan diantara kita. Aku
mengiyakan.
"Dan
kamu jadi kapten sekarang?" Aku kembali mengangguk.
"Peningkatan pesat dari jaman SMP..."
Otakku
berpikir keras mengingat zaman SMP empat tahun lalu. Oh ya. Awal aku masuk
ekstrakulikuler Basket, selama setahun lebih aku duduk manis dibangku cadangan.
Emir masih ingat hal itu? Dia bangga, atau mau menyindir sih.
"Jadi sekarang kamu mainnya nyindir? Oke." Jawabku dengan nada dingin, tapi yang keluar hanya suara bergetar. Payah.
"Engga vanvan.. Aku bercanda." Aku sebisa mungkin memasang muka marah. Sayangnya aku bukan pemain theater. Aku pemain basket. Mukaku datar-datar saja.
"Jangan marah gitu vanvan. Hmm.. Kamu mau liat pemandangan di barcelona gak? Aku punya banyak loh. Ada lapangan basketnya bagus banget.."
Emir
merogohrogoh kantongnya mengambil iphone. Apa basket? Lapangan? Bagus? Aku
melirik Emir. Ternyata benar, lapangan indoor dengan lampu sorot yang terang,
lantai yang berkilau dan tempat duduk yang banyak. Surga.. Aku
mendekat ke arah Emir, mencoba melihat gambar itu dengan jelas. Dan benar saja,
surga kecil untuk-ku telah aku lihat. Indah.. Sampai ku sadar, tangan kukuh Emir merangkul pundakku.
***
Aku
membanting halus tubuhku ke sofa. Niken sibuk menyekat air matanya–Efek
menonton film korea–Sementara Rara mencari snack untuk malam nanti, bersam
Aldi. Semenjak kedatangan Emir, Bima selalu mengajaknya main bola sepak. Aku
tahu. Pasti Bima ingin memiliki skill bermain bola seperti Emir, jadi dia
selalu belajar darinya. Hmm... Tambakan ku menurun drastis, setelah kurang
lebih seminggu meninggalkan benda bulat itu demi berkumpul bersama sahabat
terbaikku. Dan disilah aku berdiri, disalah satu villa didaerah bogor. Villa
milik keluarga Rara, rumah terletak di punjak bukit, jauh dari orang banyak.
Rumah yang berdiri kokoh diantara tingginya pohon cemara. Untung saja Villa ini
dilengkapi fasilitas lengkap, seperti lapangan Basket.
"Ken,
didalem ada Vanny?" terdengar suara samar di telinga saat aku mencoba
untuk tidur. Niken sama sekali tidak menyadarinya, sibuk dengan dunianya
sendiri.
"Niken?" Suara Emir jelas terdengar, aku yakin Emir bisa melihatku sedang tidur, dan dia tak akan mengganggu tidur soreku.
"Vanvan.. Main yuk? Langitnya bagus, gak ada awan.. Jadi bisa liat sunset diatas bukit.. Van?" Suara Emir mendengung ditelingaku.
"Dia udah tidur Emir.. Ajak Bima bisa kan?" Niken turun tangan. Mungkin karena Emir mengganggu konsentrasinya menontonnya.
"Vanny belum tidur, Niken. Dia gak bisa tidur nyenyak tanpa selimut, yakan?" seolah-olah Emir berbicara kepadaku.
"Apasih mir. Lo mending pergi! Jangan ganggu film gue! Udah klimaks nih!"
"Van, kita main basket yuk? Aku punya coklat dari Dubai loh"
Coklat?
Dubai? Hah? Pasti Enak! Aku bisa merasakan lembutnya coklat itu sekarang! Dan.
Hap! Bangku kayu dipinggir lapangan Basket, kini menopang tubuhku. Sekotak
besar coklat kini berada dipangkuan, siap untuk aku telan.
"Hem..
Jadi gimana caranya bisa dapetin coklat ini?" Kataku untuk memecah
keheningan.
"Enak kan?" Emir menghentikan pantulan bola basket dan duduk disebelahku. Aku mengiyakan pertanyaan Emir yang satu ini.
"Aku transit di Dubai, vanvan." Dia mengambil beberapa buah coklat.
Vanvan...
***
"EMIR!
Mikir apa kamu?" Teriakan Pak Atang–Biasa
dipanggil Pak Kentang, Guru IPS SMP kelas 3–Terdengar sampai telinga murid lain, bahkan
sampai luar kelas. Emir menggeleng.
"Coba jelaskan akibat perang dunia ke dua!" lanjut Pak Atang, dengan suara tak kalah keras. Saat itu juga Emir mengalihkan perhatiannya kepada diriku yang tepat duduk disebelahnya. Mampus.
"EMIR! Kamu ditanya malah jelilitan!" Bentak Guru IPS yang sering memberikan nilai nol dikelas saat murid ribut, atau seperti saat ini. Mungkin aku bisa kena...
"Mu-mungkin Vanvan tau pak jawabannya.." Suara Emir terdengar lembut. Anak-anak kelas memerhatikan kami. Kacau.
"Siapa itu Vanvan?" Dengan suara lantang dan tegas, guru itu menodong Emir. Tiba-tiba suasana kelas hening total.
"Vanvan
itu panggilan sayangnya Emir buat Vanny, Pak!" Cletukan kecil tapi
terdengar sangat kencang ditelingaku.
Murid
lain tertawa terbahak-bahak sangat kencang, sangat. Itu suara Bima! Aku mencoba
menatap mata Emir, ingin meminta penjelasan. Emir membalas degan senyum simpul,
manis tapi disaat seperti ini terlihat mengejek.
**
"Kamu
mikirin apa? Kok benggong? Vanvan?" Jemari emir terayun didepan mataku,
membangunkanku dari lamunan masa lalu.
"Hah? Engga.. Ayo main basket lagi.." kataku dengan senyum manis.
"Vanvan, ini gerimis. Ayo masuk, nanti malah sakit.."
Seberapa
lama aku melamun? Perasaanku, tadi langit tak ada awan.. Kenapa sekarang bisa
hujan gini? Huh. Aku menunjukkan gigi putihku ke Emir, dia menggelengkan
kepalanya. Hm.. Biarkan masa lalu itu menjadi kenangan manis diantara kita.
Kapan lanjut min? Banyakan dikit kek.---.
BalasHapus