Malam ini, aku menginap disebuah tempat khusus pilihan Emir, letaknya tak terlalu jauh dari tempat kita bermain tadi. Tempatnya bagus, bisa dibilang megah dan berkelas. Padahal, sudah ku bilang, ini terlalu mewah untuk kita. Tetapi Emir tetap pada pendiriannya. Memang anak itu sama saja, keras kepala.
ChannelV
yang selalu memutar clip-clip kesukaanku, aku stel dengan suara maksimal.
Biarlah tetangga dengar. Saat ini aku butuh refreshing. Aku memejamkan mata,
mendengarkan alunan musik dari Bruno Mars, Avril Lavigne, Maroon5, sampai FUN.
Tiba-tiba saja badanku kembali tegak, dan sekarang aku berdiri diatas
masterbed, lompat kesana kemari seperti anak kecil, saat aku mendengarkan lagu
22 dari Taylor Swift. Yap, aku suka lagu ini. Sudah ratusan kali aku
menonton video clip ini. So, aku hafal betul gerak gerik Taylor di situ.
Aku pun juga menggerakan badanku seperti dia. Gila.
Uh
oh!
I don't know about you!
But I'm feeling twenty two!
Everything will be alright!
If you keep Me next to You!
You don't know about Me!
But I'll bet you want to!
Everything will be alright
I don't know about you!
But I'm feeling twenty two!
Everything will be alright!
If you keep Me next to You!
You don't know about Me!
But I'll bet you want to!
Everything will be alright
If
we just keep dancing like we're–
Kegilaanku
berhenti saat aku mendengar suatu benda membentur kaca sebagai sekat kamar
dengan balkon. Karna penasaran, aku membuka sedikit dan mengeluarkan kepalaku.
Ternyata Emir, dia menginap persis disebelah kamarku. Ini serius, suara Emir
terdengar samar. Tertutup suara Taylor yang masih melantunkan lagunya. Buka
Pintu. Hanya itu yang aku dengar, mungkin juga salah. Tapi yasudahlah, aku
turuti. Setibanya didepan pintu, Emir sudah menjulurkan iphonenya. Dia
menatapku tajam, sekaligus kaget melihat kamar yang hancur lebur. Aku langsung
menyambar iphone Emir dan membiarkan dia mengecilkan volume tv.
"Hallo?"
Sapa ku, aku juga belum tahu ini
siapa.
"Van? Ini Rara sama Niken!" Terdengar suara panik dari ujung telepon.
"Ya? Kenapa?" Tanyaku, Emir memerhatikan seluruh gerak-gerikku dari tempatnya berdiri dekat tv.
"Ini soal Daniel!" Daniel? Kenapa? Dia bikin masalah baru? Aku menatap mata Emir.
"Emir, maaf. Kamu bisa keluar? Aku mau ngomong sama Rara.."
Emir membalas "Sure.." Setelah itu Emir keluar.
"Jadi
kenapa?"
"Daniel! Ta-tadi siang kita-Gue, Niken, Aldi sama Bima kan nongkrong ditempat biasa, nah tiba-tiba si dia dateng!" Suara Rara.
"Dia? Daniel maksud lo?" Tanya gue spontan.
"IYA! Jebe-jebe gitu! Kayanya bareng-bareng sama anak basket yang lain. Tapi mereka nunggu didepan cafe kita!" Berganti suara Niken.
"Bodo ah. Yang penting Danielnya ngapain!? Udah satu aja yang cerita!"
"Niken! Sini biar gue yang cerita! Ehem.. Jadi gini. Dia duduk diantara kitakan, sambil bawa minum gitu. Lo taukan Bima gak suka sama dia? Terus dia langsung nanya, Lo kenal Emir? Gituu!! Kita diem. Bla..bla..bla.."
Aku
tidak bisa mendengar semua itu. Daniel pasti sudah curiga dari awal. Aku memang
tak pandai bersandiwara.
"Lo jawab apa ke Daniel?" Tanyaku memotong penjelasan yang panjang dari Rara.
"Bukan gue. Tapi Bima! Muka dia marah gitu, dia bilang: Emir gak ada hubungannya sama lo. Sekarang lo pergi, atau mau gue tendang muka lo! Bla..bla..bla.."
Kacau. Bima membuat masalah baru. Daniel gak sebodoh yang aku
pikir. Dia langsung bertindak saat sikapku mencurigakan. Tiba-tiba suara
ketukan pintu terdengar, aku segera memotong kalimat panjang yang keluar dari
iphone milik Emir.
"Udah ya. Nanti gue telpon pake hp gue."
Aku
membuka pintu, Emir benar-benar menunggu. Dia menatapku binggung. Mungkin
wajahku sudah tak karuan. Aku letakkan iphone ditangannya dan menutup pintu
dngan pelan. Lampu kamar dan tv aku matikan, tirai kamar yang besar aku buka,
membiarkan sinar bulan dan indahnya lampu jalan yang terlihat dari atas
menemaniku. Aku mengotakatik handphone, telepon dari nomer Niken aku biarkan,
begitu pula dengan Rara. Sekarang, hampir tengah malam aku belum ingin tidur.
Aku juga tak ingin bicara dengan siapapun.
To: Niken
Tolong kalian jangan kasih tau Emir&Daniel dulu. Biar
gue yang jelasin.
Night guys. Love you all.
Send. Masalah tak kunjung pudar. Ini tak semudah yang aku
bayangkan. Kedatangan Emir memang menyenangkan dan aku nanti-nantikan, tapi dia
datang pada waktu yang kurang tepat menurutku. Tiba-tiba saja handphone ku
berbunyi.
Daniel
is calling you.
Disaat seperti ini aku harus beradu mulut dengan Daniel? Bisa salah paham semuanya! Dia pasti akan mengusut semua tentang Emir, pasti. Sampai memojokkan ku, dia sangat amat perhatian. Aku biarkan telepon itu, beberapa menit setelah telepon itu Daniel mengirimkan pesan singkat.
From: Daniel
Kamu dimana? Kata Mama kamu, kamu pergi ya?
Aku
biarkan pesan itu tak terbalas selama belasan menit, untuk meyakinkan bahwa aku
memang benar-benar sibuk.
To: Daniel
Aku lagi di hotel niel, sama papa.
Sip. Yang terakhir itu kebohongan besar, papa sedang berada diluar kota bersama teman-teman bisnisnya hingga dua pekan kedepan. Apa mungkin Daniel tahu soal ini? Huh.
From: Daniel
Bukannya papa kamu pergi? Jadi dia gak bisa nonton
pertandingan kamu, bukan?
Van, kamu bisa angkat telepon aku? Aku khawatir keadaan kamu.
Van, kamu bisa angkat telepon aku? Aku khawatir keadaan kamu.
Dua
hal yang aku takutkan akhirnya datang. Pertama, Daniel tahu bahwa papaku pergi.
Dan yang kedua, dia akan meleponku sebentar lagi. Boom! Handphone ku
berbunyi.
"Vanny?
Kamu baik-baik aja kan?"
"Ya? Iya.. Aku gakpapa kok.."
"Aku rada kawatir gini ya. Kamu lagi sama siapa?"
"Sendiri.. Kamu?" Aku menyanyakan seperti ini supaya Daniel tak curiga denganku.
"Sama. Ehem. Van? Tadi aku ngumpul bareng temen-temen kamu, kayanya mereka.. Mereka kenapa?"
"emm.. Gak tau, aku juga binggung.."
"Van. Emir itu siapa kamu?" BOOOMMM! Daniel orangnya memang tak terlalu banyak basa-basi. Dia orangnya tegas dan to the point.
"Ja.. Jadi.. Emir itu, tem-- sahabat lamaku, dia.." Kata-kataku berantakan. Parah.
Mungkin
ini saatnya. Daniel ada disaat Emir tak ada. Sekarang dia telah kembali, Emir
telah kembali. Dan Daniel, dia juga harus kembali. Banyak wanita yang
menunggunya dibelakang, aku tak boleh membuang waktu. Dia menungguku disana,
dibalik telepon ini.
"Daniel.. Sebaiknya-kita-berteman-saja ya. Aku gak mau ada rahasia diantara kita. Aku juga gak mau diantara kita ada yang sakit hati. Aku yakin kamu mengerti..." Tak ada suara dari lawan bicaraku. Tak ada sama sekali.
"Good night, Daniel. Love ya.."
Tak kunjung ada balasan dari Daniel, aku menutup pembicaraan malam ini. Mungkin pembicaraam terakhir kami. Mungkin mulai besok, dia tak mau berbicara denganku, tak mau menanyaiku kabar, tak mau menyapaku dengan hanya "Selamat pagi, siang, sore, malam". Mungkin kita akan menjadi musuh. Mungkin dia akan mengundurkan diri menjadi assisten coach, karena dia tak mau berurusan denganku lagi.
Ya, ini sudah menjadi resiko yang aku ambil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar