Aku
meletakkan handphone diranjang dan melangkah kaki ke balkon. Ditemani sebotol
softdrink, aku ingin menghabiskan malam ditempat ini. Bersadar pada dinding dan
menikmati lampu-lampu jalan cantik yang bertebaran bawah. Huft. Aku rasa
aku ingin melompat. Tetapi, tiba-tiba suara itu memanggilku. Vanvan... Aku melihat ke arah kamar Emir. Sepertinya aku membutuhkan
oksigen yang lebih banyak. Emir berdiri tak jauh dariku, dia.. Shirtless. Hanya
dengan menggunakan celana volcom selutut berwarna gelap. Otomatis pack-pack di
perutnya terlihat jelas, sekali. Berbeda jauh dari tiga tahun lalu..
***
Hari ini bangku sebelah kananku kosong, entah kemana dia. Padahal, hari ini kan
hari Kamis. Jadwal mingguan ekstrakulikuler bola, mana mungkin kaptennya tak
masuk gara-gara hal sepele. Dan sekarang, aku telah berada didepan pintu
berukuran besar yang mengubungkan teras dengan ruang tamu dengan seragam yang
masih lengkap. Toktoktok.. Ketukanku disusul dengan langkah kaki dari
dalam. Seorang wanita paruh baya cantik berambut sebahu, menyapaku. Kami pun, ehem.
Saling cipika cipiki. Setelah sedikit basa-basi, aku diajak duduk diruang
keluarga. Ruang keluarga.. Mungkin aku telah dianggap keluarga disini, bukan
tamu. Ehem.
"Jadi,
kenapa kamu kemari?" Tanya wanita
yang ada disebelahku.
"Tadi Emir gak masuk Tante hari ini kan ada ekskul bola. Aku mau mastiin aja, Emir gapapa.." Mendengar penjelasanku, Bunda Emir Tersenyum.
"Kalian ada ikatan batin ya? Emir diatas, tadi pagi dia demam.."
"Udah diperiksa ke dokter tante?" Tanyaku memotong pembicaraan, meski sedikit tak sopan. Tapi aku panik. Bunda Emir malah memegang pundakku dan tersenyum lagi.
"Sudah.. Sekarang dia dikamar. Tolong cek ke adaannya ya. Bunda mau ngambil makan buat Emir." Mama Emir berdiri dari tempat duduknya.
Aku
sebenarnya tak tahu persis kamar Emir dimana, yang pasti dia pernah bilang
kalau kamarnya berada di lantai dua. Maka, aku tiba diujung tangga marmer
hitam, tangga yang dibiarkan menggantung di dinding, unik. Aku suka rumah
ini.
Mataku
menyapu suasana ditempat ini dan aku yakin kamar Emir berada di pojok. Kenapa?
Di pintu putih terpasanglambang Stop yang sering aku lihat dijalan, dan tulisan
"NO ENTRY, WITHOUT ME -
Emir". Fix. Aku mengetuk pintu itu
tiga kali. Lama-lama tak ada jawaban, aku mengulang untuk yang kesekian
kalinya.
"Pacarnya
abang ya?" Terdengar suara dibelakangku. Saat
aku berbalik badan, seorang anak kira-kira dua tahun lebih muda dari aku tengah
berdiri menunggu jawabanku. Dengan ragu, akhirnya aku mengangguk heran.
"Karil, panggil ada Kai. Adeknya Emir. Si abang paling lagi mandi, udah masuk aja." Aku menyalami dia, saat dia pergi, aku menuruti kata-katanya.
Gagang
pintu berputar, pintupun mulai membuka. Percaya pada ku, saat aku memasuki
kamar ini, dinding kamar dipenuhi wallpaper club inggris dari London, Arsenal. Keren!
Lambang Meriam London itu menjadi megah disini. Sebuah gitar klasik putih
terpasang pada tempatnya, sebuah masterbed dengan selimut abu-abu selaras
dengan coverbed berlambangkan LYF. Perfect!
Aku
bisa mendengar suara air dari kamar mandi. Aku putuskan untuk menyilangkan
kakiku dimastedbed Emir, selagi menunggu aku menyalakan TV yang berada
disebelah pintu kamar mandi. Semenit, dua menit, tiga menit.. Pintu kamar mandi
terbuka sedikit demi sedikit, aku tak menyadarinya. Hingga pintu terbuka
seutuhnya dan terlihat Emir berdiri ditengah pintu dengan sehelai handuk putih
melingkar dipinggangnya hingga lutut.
Pipiku memanas, mulutku penuh dengan udara menahan tawa, atau mungkin menahan malu. Perut Emir terlihat beberapa kotak-kotak dan otot bisepnya yang hampir terbentuk sempurna, begitu juga yang ada di kaki. Emir terlihat.. Sekseh. :))
"Mir..
A-aku–" Kalimatku
berhenti, saat Emir sudah panik terlebih dahulu.
Dia
seperti salah tingkah atau gimana, yang pasti sikapnya aneh saat ingin
mengambil pakaian dari lemarinya. Setelah keluar dari kamar mandi untuk yang
kedua kalinya, Emir mengenakan kaos polos tanpa lengan dan celana army dan dia
duduk sama sepertiku. Dasar, laki-laki.
"Maaf
ya vanvan.." Aku membungkam mulutku. Seandainya
aku membuka pasti yang ada tawa yang terbahak-bahak.
"Vanvan,
serius tadi aku gak tau kalau kamu ada dikamarku. Aku juga lupa bawa ganti pas
mandi. Serius vanvan.. Kamu gak marah sama aku kan van? Maaf tadi aku gak
masuk, aku demam–" Ocehan Emir
terpotong saat jari telunjukku berada didepan bibirnya. Ini satu-satunya cara
supaya dia diam.
"Aku
udah tau semua dari mama kamu. Sekarang kamu tidur. Biar besok bisa
sekolah.." Kataku lembut, lembut sekali.
GREG.. Gagang
pintu kamar Emir berputar. Aku segera menarik jemariku dan berbalik arah, melihat
siapa yang masuk. Deg. Bunda Emir sedang membawa masuk nampan yang berisi makanan
dan segelas air putih. Dia menggeleng-geleng sambil tersenyum. Kode apa lagi
ini..
"Gimana kabar Emir?" Akhirnya Bunda Emir membuka mulut selagi menaruh nampan diatas meja belajar.
"Masih sedikit panas.." Bohong. Padahal aku belum menyentuhnya sama sekali.
"Yaudah,
tolong nanti kalau sudah selesai makan, Emir diingetin minum obat." Dia berjalan menuju pintu.
"Iya
tante.." kataku sebelum wanita itu keluar
dari kamar dan menutup pintu.
Tiba-tiba
saja Emir mengacak-ngacak rambutku, disusul dengan ketawa geli. Dia sepertinya
mengejekku dengan sikap yang salah tingkah didepan Bunda-nya. Huft. Dia
tak tahu tingkahnya, saat dia kupergoki hanya mengenakan handuk! Ha-ha.
***
"Van?
Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?"
Tanya Emir dari balkon sebelah.
"Tak
apa.." Jawabku singkat
.
"Perlu
teman..?"
"Gak
usah mir. Kamu tidur aja.. Aku cuma butuh sendiri." Mendengar perkataanku Emir mengangguk.
"Yaudah,
Good night Vanvan.. Have a nice sleep." Emir
kembali ke kamarnya.
Tingkah
konyol kami itu, tak akan bisa aku lupakan. Bahkan disaat aku bimbang seperti
ini, kenangan-kenangan Emir bisa membuatku tertawa kembali.
Meski waktu sudah berputar, tapi aku tak akan bisa
melupakan hal-hal menarik tentang kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar