Kamis, Juni 27, 2013

Emir Love Story: "Memories" - PART 7


Aku meletakkan handphone diranjang dan melangkah kaki ke balkon. Ditemani sebotol softdrink, aku ingin menghabiskan malam ditempat ini. Bersadar pada dinding dan menikmati lampu-lampu jalan cantik yang bertebaran bawah. Huft. Aku rasa aku ingin melompat. Tetapi, tiba-tiba suara itu memanggilku. Vanvan... Aku melihat ke arah kamar Emir. Sepertinya aku membutuhkan oksigen yang lebih banyak. Emir berdiri tak jauh dariku, dia.. Shirtless. Hanya dengan menggunakan celana volcom selutut berwarna gelap. Otomatis pack-pack di perutnya terlihat jelas, sekali. Berbeda jauh dari tiga tahun lalu..
***
Hari ini bangku sebelah kananku kosong, entah kemana dia. Padahal, hari ini kan hari Kamis. Jadwal mingguan ekstrakulikuler bola, mana mungkin kaptennya tak masuk gara-gara hal sepele. Dan sekarang, aku telah berada didepan pintu berukuran besar yang mengubungkan teras dengan ruang tamu dengan seragam yang masih lengkap. Toktoktok.. Ketukanku disusul dengan langkah kaki dari dalam. Seorang wanita paruh baya cantik berambut sebahu, menyapaku. Kami pun, ehem. Saling cipika cipiki. Setelah sedikit basa-basi, aku diajak duduk diruang keluarga. Ruang keluarga.. Mungkin aku telah dianggap keluarga disini, bukan tamu. Ehem.

"Jadi, kenapa kamu kemari?" Tanya wanita yang ada disebelahku. 

"Tadi Emir gak masuk Tante hari ini kan ada ekskul bola. Aku mau mastiin aja, Emir gapapa.."
Mendengar penjelasanku, Bunda Emir Tersenyum.

"Kalian ada ikatan batin ya? Emir diatas, tadi pagi dia demam.." 

"Udah diperiksa ke dokter tante?"
Tanyaku memotong pembicaraan, meski sedikit tak sopan. Tapi aku panik. Bunda Emir malah memegang pundakku dan tersenyum lagi. 

"Sudah.. Sekarang dia dikamar. Tolong cek ke adaannya ya. Bunda mau ngambil makan buat Emir."
Mama Emir berdiri dari tempat duduknya. 

Aku sebenarnya tak tahu persis kamar Emir dimana, yang pasti dia pernah bilang kalau kamarnya berada di lantai dua. Maka, aku tiba diujung tangga marmer hitam, tangga yang dibiarkan menggantung di dinding, unik. Aku suka rumah ini. 

Mataku menyapu suasana ditempat ini dan aku yakin kamar Emir berada di pojok. Kenapa? Di pintu putih terpasanglambang Stop yang sering aku lihat dijalan, dan tulisan "NO ENTRY, WITHOUT ME - Emir". Fix. Aku mengetuk pintu itu tiga kali. Lama-lama tak ada jawaban, aku mengulang untuk yang kesekian kalinya. 

"Pacarnya abang ya?" Terdengar suara dibelakangku. Saat aku berbalik badan, seorang anak kira-kira dua tahun lebih muda dari aku tengah berdiri menunggu jawabanku. Dengan ragu, akhirnya aku mengangguk heran. 

"Karil, panggil ada Kai. Adeknya Emir. Si abang paling lagi mandi, udah masuk aja."
Aku menyalami dia, saat dia pergi, aku menuruti kata-katanya. 

Gagang pintu berputar, pintupun mulai membuka. Percaya pada ku, saat aku memasuki kamar ini, dinding kamar dipenuhi wallpaper club inggris dari London, Arsenal. Keren! Lambang Meriam London itu menjadi megah disini. Sebuah gitar klasik putih terpasang pada tempatnya, sebuah masterbed dengan selimut abu-abu selaras dengan coverbed berlambangkan LYF. Perfect!

Aku bisa mendengar suara air dari kamar mandi. Aku putuskan untuk menyilangkan kakiku dimastedbed Emir, selagi menunggu aku menyalakan TV yang berada disebelah pintu kamar mandi. Semenit, dua menit, tiga menit.. Pintu kamar mandi terbuka sedikit demi sedikit, aku tak menyadarinya. Hingga pintu terbuka seutuhnya dan terlihat Emir berdiri ditengah pintu dengan sehelai handuk putih melingkar dipinggangnya hingga lutut.

Pipiku memanas, mulutku penuh dengan udara menahan tawa, atau mungkin menahan malu. Perut Emir terlihat beberapa kotak-kotak dan otot bisepnya yang hampir terbentuk sempurna, begitu juga yang ada di kaki. Emir terlihat.. Sekseh. :))
 
"Mir.. A-aku" Kalimatku berhenti, saat Emir sudah panik terlebih dahulu. 

Dia seperti salah tingkah atau gimana, yang pasti sikapnya aneh saat ingin mengambil pakaian dari lemarinya. Setelah keluar dari kamar mandi untuk yang kedua kalinya, Emir mengenakan kaos polos tanpa lengan dan celana army dan dia duduk sama sepertiku. Dasar, laki-laki.

"Maaf ya vanvan.." Aku membungkam mulutku. Seandainya aku membuka pasti yang ada tawa yang terbahak-bahak. 

"Vanvan, serius tadi aku gak tau kalau kamu ada dikamarku. Aku juga lupa bawa ganti pas mandi. Serius vanvan.. Kamu gak marah sama aku kan van? Maaf tadi aku gak masuk, aku demam" Ocehan Emir terpotong saat jari telunjukku berada didepan bibirnya. Ini satu-satunya cara supaya dia diam. 

"Aku udah tau semua dari mama kamu. Sekarang kamu tidur. Biar besok bisa sekolah.." Kataku lembut, lembut sekali. 

GREG.. Gagang pintu kamar Emir berputar. Aku segera menarik jemariku dan berbalik arah, melihat siapa yang masuk. Deg. Bunda Emir sedang membawa masuk nampan yang berisi makanan dan segelas air putih. Dia menggeleng-geleng sambil tersenyum. Kode apa lagi ini.. 

"Gimana kabar Emir?"
Akhirnya Bunda Emir membuka mulut selagi menaruh nampan diatas meja belajar. 

"Masih sedikit panas.."
Bohong. Padahal aku belum menyentuhnya sama sekali. 
"Yaudah, tolong nanti kalau sudah selesai makan, Emir diingetin minum obat." Dia berjalan menuju pintu. 

"Iya tante.." kataku sebelum wanita itu keluar dari kamar dan menutup pintu. 

Tiba-tiba saja Emir mengacak-ngacak rambutku, disusul dengan ketawa geli. Dia sepertinya mengejekku dengan sikap yang salah tingkah didepan Bunda-nya. Huft. Dia tak tahu tingkahnya, saat dia kupergoki hanya mengenakan handuk! Ha-ha. 

***

"Van? Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" Tanya Emir dari balkon sebelah.

"Tak apa.." Jawabku singkat
.
"Perlu teman..?" 

"Gak usah mir. Kamu tidur aja.. Aku cuma butuh sendiri." Mendengar perkataanku Emir mengangguk.

"Yaudah, Good night Vanvan.. Have a nice sleep." Emir kembali ke kamarnya. 

Tingkah konyol kami itu, tak akan bisa aku lupakan. Bahkan disaat aku bimbang seperti ini, kenangan-kenangan Emir bisa membuatku tertawa kembali. 

Meski waktu sudah berputar, tapi aku tak akan bisa melupakan hal-hal menarik tentang kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar