Senin, Juni 24, 2013

Emir Love Story: "Memories" - PART 4



Seminggu berada di villa terpencil dipuncak bukit memang agak menyiksa diriku
Diluar kebersamaan bersama mereka, dan fasilitas yang lebih dari cukupSelain jauh dari orang banyak, sinyal ditempat itu sangat amat jarang. Saatku sampai rumah saja sudah ada puluhan sms dan misscall, ternyata.. Aku melewatkan dua pertandingan basket antar smu itu. Daniel, kapten basket putra sekaligus asisten coach. Banyak yang menganggap He is so damn hot, cool, and.. So care. But, I think. Dia gak lebih jauh dari teman-teman basketnya yang lain. Dia sangat dekat denganku, kurang lebih hambir dua tahun aku berada disampingnya. Selama itu juga mata-mata sinis memandangku saat kami berjalan bersama. Dia memberitahu ku bahwa coach sempat marah kepadaku, untungnya sekolah kami menang, tanpa aku saat itu. 



Pagi ini, tepat dua hari setelah kami meninggalkan Villa. Niken, Rara, Bima, Aldi dan Emir tak menghubungiku, aku juga tak ingin menghubungi mereka. Aku tahu pasti mereka masih lelah, sama sepertiku. Hari ini aku ingin menghabiskan waktu dikebun belakang rumah, ditemani segelas susu coklat, cookies, handphone, spidol dan kalender. Hari ini aku akan serius mengurus tim basketku, memberi tanda pada tanggal-tanggal tertentu untuk memastikan aku tak akan lupa pertandingan kami. Tak berapa lama, notification dihandphoneku berbunyi. 



From: Daniel



Beberapa hari lalu aku ke rumah kamu mau ngasih jadwal pertandingan selama sebulan kedepan. Tapi rumah kamu sepi, jadi aku taruh di kotakpos.


Jaga kesehatan, jam terbang kalian makin tinggi. Besok kalian tanding jam 4. Kamu harus ikut! Jangan ngaret. Aku bisa kena marah coach lagi! Kamu tau kan kalo coach marah gimana? 



Aku tak bisa membayangkan wajah Daniel saat dia dimarahi coach, karena aku. Wajahnya pasti pucat, seperti mayat hidup. Beberapa bulan lalu saat kami dipanggil keruangannya berdua. Saat itu juga, aku melihat wajah Daniel pucat setelah dimarahi habis-habisan oleh coach. Aku lupa tentang masalah apa, yang jelas, setiap kali aku menginggat hal itu aku tidak bisa menahan tawaku yang lepas, mungkin ini lebay, tapi memori itu selalu punya tempat khusus diotakku, hingga detik ini.



To: Daniel


Iya Daniel ganteng.
Sorry kemaren Emir dateng, jadi aku sama anak2 nginep di villa nya Rara. Sorry ya aku lupa ngasih tau kamu.. Hehehe:))


Oia, jangan lupa kerangkeng dulu macan2 kamu (read:cewe). Jangan sampe aku kena cakar mereka, lagi. Hahaha..



Aku memencet tombol Send. Pesan isengku terkirim. Tak berapa lama notif kembali berdengung ditelingaku serta kebun belakang.



From: Daniel


Siapa Emir? 



Deg. Efek tertawa terlalu keras dan terlalu lama, membuat otakku tidak bisa berpikir panjang. Aku lupa Daniel, bukan dari SMP kami. Jelas dia tak tahu Emir siapa. Urusan akan menjadi panjang.. Aku mencoba berpikir, mencari jawaban yang tepat. 


To: Daniel


Sodara aku, nieeel. 
Udah yaa. Aku mau ngambil jadwal yang kamu kasih sekalian latian. Byee! See you{}


Send. Huft. Semoga dia tak curiga.. Aku berdiri dari tempat dudukku, melangkahkan kaki menuju taman didepan dan membuka kotak pos. Tetapi saat aku berada di dapur, aku mendengar mamaku sedang berbicara dengan... Aku membesarkan langkah kakiku. Benar! Mamaku sedang berbicara dengan E-emir. Badanku membeku. 



"Vanvan.." Sapa Emir, Mamaku langsung berbalik badan menatap kearahku. Aku menatap beliau, meminta penjelasan. 

"Tadi kamu asik main handphone vanny. Senyum-senyum dilayar handphone itu,"
Mamaku menjelaskan. 

"Aku juga gak mau ganggu kamu vanvan, jadi aku ngobrol sama mama kamu.."
Timpal Emir. 


Mamaku berdiri, dia menarik lembut tangan kiriku, menyuruhku untuk mengikuti dia. Mama mengajaku ke ruang makan yang hanya dipisahkan oleh rakbuku sebagai sekat. Wajah mama berubah serius, dia menatapku.


"Vanny, dia bukan laki-lakimu kan, yang sering nganterin kamu pulang? Siapa namanya, Daniel?"
Tanya mama dengan pelan, tapi tegas. Aku kegalapan. Kenapa mama bertanya seperti ini! Apa yang mereka obrolkan!

"Bu-bukan, dia Emir.."
Jawabku.

"Kamu udah.. Ehem. Putus?"
Mama menebak asal. 

"Engga Ma! Kenapa sih Ma? Dia temen Vanny doang. Gak lebih. Udah ah. Vanny males ngomong sama mama."
 


Aku beranjak pergi dari hadapan Mama, menuju Emir. Tak enak meninggalkan dia sendiri dan mendengar perkataanku yang kasar. Emir menyerup segelas teh hangat yang dibuat mama. Aku duduk disebelahnya.



"Mir, kenapa kamu kesini?" Aku langsung to the point. 

"Ngecek keadaanmu aja.."
Jawabnya santai. 

"Hah? Emang aku kenapa?" 

"Gakpapa, aku gak enak aja gak ketemu kamu dua hari. Rasanya ada yang kurang.." 


Aku speechless. Sejak kapan Emir perhatian gitu ke aku? Apa, aku harus jujur kalau aku.. Hmm. Udah punya Daniel. Ta-tapi.. Waktu Emir meninggalkan kamiAkuTiga tahun lalu. Aku bahkan tak bisa berbicara dengannya langsung, aku hanya bisa melihatnya dari balik kaca tembus pandang yang tebalnya sekitar 3cm. Dia tidak melihatku, dia juga tak bisa mendengarkan perkataanku dan aku tak bisa meminta penjelasan dari semua ini. Hm.. Pengalaman buruk. Aku tak sanggup mengingat itu semua. Tiba-tiba terlintas dipikiranku, kapan dia balik? Atau studynya sudah selesai?



"hmm.. Mir" Aku bertanya dengan sedikit keraguan. Emir menatapku, konsentrasinya penuh. Semakin grogilah aku. Huft. 

"Kamu, kapan, balik ke
" Pertanyaanku menggantung. 

"Aku gak akan pergi lagi vanvan. Aku gak akan jauh darimu.."
Emir memotong pertanyaanku. 


Aku mengalihkan pandanganku dari dia sebelum aku semakin grogi. Hah. Apa ini pertanda dia sudah selesai belajar di kota yang berjah-jauh mil dari Jakarta. Apa dia cuma sekedar ingin menghiburku? Hah? Aku pusing. Aku menggeleng-gelengkan kepala. 


"Van? Kita langsung berangkat ya?"
Emir membangunkanku, sekaligus mengaggetkanku. 

"Berangkat? Kema
"

"Ayolah.. Nanti kamu tau sendiri."

 
Aku beranjak dari kursi ku dan berjalan ke arah kamar. Langkahku berhenti ditengah pintu. Yang benar saja, mama-ku sedang mengepakkan baju-bajuku pada sebuah tas kesayanganku. 



"Ma! Mama ngapain sih?" Mama mau ngusir aku, gara-gara hal sepele ini? Kalimat terakhir aku omongkan dalam hati. 

"Nanti kamu bawa saja. Sekarang pakai baju yang di meja belajarmu. Jangan lupa handphone-mu dibelakang."
Mama menyuruhku dengan banyak pekerjaan. 

"Buat apa? Aku sama Emir hanya keluar sebentar, ma
" Aku mencoba halus. 

"Sudahlah, kamu bawa tas ini, nanti biar Emir yang membantumu!"
Kali ini mama tegas, sekali. 


Aku menuruti segala permintaannya, memakai baju kaos, dengan bawahan shortpantsPadahal mama tak pernah membolehkanku memakai celana ini saat aku berjalan ke luar tanpa sahabat atau mereka, keluargaku. Mama juga menyiapkan tiga stel pakaian casual di tas dan sepatu vans didekat meja belajarku. Aku segera mengambil handphone dan kembali ke Emir yang telah menungguku. 



"Ma! Kita berangkat dulu." Kata-kataku pelan, mama sudah ada dibelakang kami. 

"Tante, makasih ya. Emir sama Vanny berangkat dulu."
Emir mengumbar senyumnya yang manis. 

Mobil sport hitam metalic keluaran BMW sudah terparkir dipekarangan rumah, yang biasanya ditempati oleh mobil berwarna putih milik papa. Emir membukakan pintu untuk-ku dan mengambil alih tas yang aku rangkul. Mobil pun berjalan entah kemana. Aku merasa canggung duduk disebelah Emir, di dalam mobil yang ia kendarai.  Aku memang selalu disupiri oleh suruhan orang tuaku, atau pun papa sendiri yang menyetir, atau... Daniel. Dia selalu memboncengku dengan motor besar keluaran Yamaha kesayangannya. Tapi ini berbeda..

 Huft. Semua semakin rumit. 



^^^
Part lain? Klik disini. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar