Seminggu berada di villa terpencil dipuncak bukit memang agak menyiksa diriku–Diluar kebersamaan bersama mereka, dan fasilitas yang lebih dari cukup–Selain jauh dari orang banyak, sinyal ditempat itu sangat amat jarang. Saatku sampai rumah saja sudah ada puluhan sms dan misscall, ternyata.. Aku melewatkan dua pertandingan basket antar smu itu. Daniel, kapten basket putra sekaligus asisten coach. Banyak yang menganggap He is so damn hot, cool, and.. So care. But, I think. Dia gak lebih jauh dari teman-teman basketnya yang lain. Dia sangat dekat denganku, kurang lebih hambir dua tahun aku berada disampingnya. Selama itu juga mata-mata sinis memandangku saat kami berjalan bersama. Dia memberitahu ku bahwa coach sempat marah kepadaku, untungnya sekolah kami menang, tanpa aku saat itu.
Pagi ini, tepat dua hari setelah
kami meninggalkan Villa. Niken, Rara, Bima, Aldi dan Emir tak menghubungiku, aku juga tak ingin
menghubungi mereka. Aku tahu pasti mereka masih lelah, sama sepertiku. Hari ini
aku ingin menghabiskan waktu dikebun belakang rumah, ditemani segelas susu
coklat, cookies, handphone, spidol dan kalender. Hari ini aku akan serius
mengurus tim basketku, memberi tanda pada tanggal-tanggal tertentu untuk
memastikan aku tak akan lupa pertandingan kami. Tak berapa lama, notification
dihandphoneku berbunyi.
From: Daniel
Beberapa hari lalu aku ke rumah kamu
mau ngasih jadwal pertandingan selama sebulan kedepan. Tapi rumah kamu sepi,
jadi aku taruh di kotakpos.
Jaga kesehatan, jam terbang kalian
makin tinggi. Besok kalian tanding jam 4. Kamu harus ikut! Jangan ngaret. Aku bisa kena marah coach lagi!
Kamu tau kan kalo coach marah gimana?
Aku tak bisa membayangkan wajah Daniel
saat dia dimarahi coach, karena aku. Wajahnya pasti pucat, seperti mayat hidup. Beberapa bulan lalu saat kami dipanggil keruangannya berdua. Saat itu juga, aku
melihat wajah Daniel pucat setelah dimarahi habis-habisan oleh coach. Aku lupa tentang masalah apa, yang jelas, setiap kali aku menginggat hal itu aku tidak
bisa menahan tawaku yang lepas, mungkin ini lebay, tapi memori itu selalu punya
tempat khusus diotakku, hingga detik ini.
To: Daniel
Iya Daniel ganteng.
Sorry kemaren Emir dateng, jadi aku sama anak2 nginep di villa nya Rara. Sorry ya aku lupa ngasih tau kamu.. Hehehe:))
Sorry kemaren Emir dateng, jadi aku sama anak2 nginep di villa nya Rara. Sorry ya aku lupa ngasih tau kamu.. Hehehe:))
Oia, jangan lupa kerangkeng dulu
macan2 kamu (read:cewe). Jangan sampe aku kena cakar mereka, lagi. Hahaha..
Aku memencet tombol Send. Pesan
isengku terkirim. Tak berapa lama notif kembali berdengung ditelingaku serta
kebun belakang.
From: Daniel
Siapa Emir?
Deg. Efek tertawa terlalu keras dan
terlalu lama, membuat otakku tidak bisa berpikir panjang. Aku lupa Daniel,
bukan dari SMP kami. Jelas dia tak tahu Emir siapa. Urusan akan menjadi
panjang.. Aku mencoba berpikir, mencari jawaban yang tepat.
To: Daniel
Sodara aku, nieeel.
Udah yaa. Aku
mau ngambil jadwal yang kamu kasih sekalian latian. Byee! See you{}
Send. Huft. Semoga dia tak curiga..
Aku berdiri dari tempat dudukku, melangkahkan kaki menuju taman didepan dan
membuka kotak pos. Tetapi saat aku berada di dapur, aku mendengar mamaku sedang
berbicara dengan... Aku membesarkan langkah kakiku. Benar! Mamaku sedang
berbicara dengan E-emir. Badanku membeku.
"Vanvan.." Sapa Emir,
Mamaku langsung berbalik badan menatap kearahku. Aku menatap beliau, meminta
penjelasan.
"Tadi kamu asik main handphone vanny. Senyum-senyum dilayar handphone itu," Mamaku menjelaskan.
"Aku juga gak mau ganggu kamu vanvan, jadi aku ngobrol sama mama kamu.." Timpal Emir.
Mamaku berdiri, dia menarik lembut tangan kiriku,
menyuruhku untuk mengikuti dia. Mama mengajaku ke ruang makan yang hanya
dipisahkan oleh rakbuku sebagai sekat. Wajah mama berubah serius, dia
menatapku.
"Vanny, dia bukan laki-lakimu kan, yang sering nganterin kamu pulang? Siapa namanya, Daniel?" Tanya mama dengan pelan, tapi tegas. Aku kegalapan. Kenapa mama bertanya seperti ini! Apa yang mereka obrolkan!
"Bu-bukan, dia Emir.." Jawabku.
"Kamu udah.. Ehem. Putus?" Mama menebak asal.
"Engga Ma! Kenapa sih Ma? Dia temen Vanny doang. Gak lebih. Udah ah. Vanny males ngomong sama mama."
Aku beranjak pergi dari hadapan Mama, menuju
Emir. Tak enak meninggalkan dia sendiri dan mendengar perkataanku yang kasar.
Emir menyerup segelas teh hangat yang dibuat mama. Aku duduk disebelahnya.
"Mir, kenapa kamu
kesini?" Aku langsung to the point.
"Ngecek keadaanmu aja.." Jawabnya santai. "Hah? Emang aku kenapa?" "Gakpapa, aku gak enak aja gak ketemu kamu dua hari. Rasanya ada yang kurang.."
Aku speechless. Sejak kapan Emir perhatian
gitu ke aku? Apa, aku harus jujur kalau aku.. Hmm. Udah punya Daniel.
Ta-tapi.. Waktu Emir meninggalkan kami–Aku–Tiga tahun lalu. Aku bahkan tak bisa berbicara dengannya langsung, aku hanya bisa melihatnya dari balik kaca tembus pandang
yang tebalnya sekitar 3cm. Dia tidak melihatku, dia juga tak bisa
mendengarkan perkataanku dan aku tak bisa meminta penjelasan dari semua ini. Hm.. Pengalaman buruk. Aku tak sanggup mengingat itu semua. Tiba-tiba
terlintas dipikiranku, kapan dia balik? Atau studynya sudah selesai?
"hmm.. Mir" Aku bertanya
dengan sedikit keraguan. Emir menatapku, konsentrasinya penuh. Semakin grogilah
aku. Huft.
"Kamu, kapan, balik ke–" Pertanyaanku menggantung. "Aku gak akan pergi lagi vanvan. Aku gak akan jauh darimu.." Emir memotong pertanyaanku.
Aku mengalihkan pandanganku dari dia sebelum aku semakin grogi. Hah. Apa ini pertanda dia sudah selesai belajar di kota yang
berjah-jauh mil dari Jakarta. Apa dia cuma sekedar ingin menghiburku? Hah? Aku
pusing. Aku menggeleng-gelengkan kepala.
"Van? Kita langsung berangkat ya?" Emir membangunkanku, sekaligus mengaggetkanku. "Berangkat? Kema–" "Ayolah.. Nanti kamu tau sendiri." |
Aku beranjak dari kursi ku dan berjalan ke arah kamar. Langkahku berhenti
ditengah pintu. Yang benar saja, mama-ku sedang mengepakkan baju-bajuku pada
sebuah tas kesayanganku.
"Ma! Mama ngapain sih?"
Mama mau ngusir aku, gara-gara hal sepele ini? Kalimat terakhir aku omongkan
dalam hati.
"Nanti kamu bawa saja. Sekarang pakai baju yang di meja belajarmu. Jangan lupa handphone-mu dibelakang." Mama menyuruhku dengan banyak pekerjaan.
"Buat apa? Aku sama Emir hanya keluar sebentar, ma–" Aku mencoba halus.
"Sudahlah, kamu bawa tas ini, nanti biar Emir yang membantumu!" Kali ini mama tegas, sekali.
Aku menuruti segala permintaannya,
memakai baju kaos, dengan bawahan shortpants–Padahal mama tak pernah
membolehkanku memakai celana ini saat aku berjalan ke luar tanpa sahabat atau
mereka, keluargaku. Mama juga menyiapkan tiga stel pakaian casual di tas dan
sepatu vans didekat meja belajarku. Aku segera mengambil handphone dan kembali
ke Emir yang telah menungguku.
"Ma! Kita berangkat dulu."
Kata-kataku pelan, mama sudah ada dibelakang kami.
"Tante, makasih ya. Emir sama Vanny berangkat dulu." Emir mengumbar senyumnya yang manis.
Mobil sport hitam metalic keluaran
BMW sudah terparkir dipekarangan rumah, yang biasanya ditempati oleh mobil berwarna
putih milik papa. Emir membukakan pintu untuk-ku dan mengambil alih tas yang
aku rangkul. Mobil pun berjalan entah kemana. Aku merasa canggung duduk disebelah Emir, di dalam mobil yang ia kendarai. Aku memang selalu disupiri oleh
suruhan orang tuaku, atau pun papa sendiri yang menyetir, atau... Daniel. Dia selalu
memboncengku dengan motor besar keluaran Yamaha kesayangannya. Tapi ini berbeda..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar