Berdiri tepat didepan plang Trans Studio Bandung. Tempat tujuan Emir. Jujur, aku baru pertama kali ke tempat ini. Orang tuaku mana mau aku ajak ke tempat ramai seperti ini, mereka lebih senang berlibur disuatu pulau atau tempat yang sunyi. Ya, beginilah menjadi anak tunggal, kalau ada perdebatan pasti satu lawan dua.
Hari
ini pasti akan jadi hari yang menyenangkan! Aku menggenggam tangan Emir dan
lari menuju salah satu wahana permainan, tak ingin membuang-buang q-time
bersama dia, bersama Emir! Aku ingin melupakan semua beban yang aku tanggung
dipikiranku. Kita mulai dari wahana Racing Coaster, Negeri Raksasa, Vertigo,
Giant Swing, Sky Pirates, Captain Blackheart Pirates Ship, Dragon Rides, Trans
Car Racing, Trans Cituly Theatre dan semuanya! Kecuali.. Satu. Dunia lain. Mana
mungkin aku masuk ke tempat itu. Aku rela lari di Gelora Bungkarno sepuluh
kali, demi tidak menginjakkan kaki ditempat itu. Aku rasa hanya membuang-buang
waktu melihat manusia biasa yang berpura-pura sebagai hantu. Dan itu gak
penting!
"Kamu
gak mau icecreamnya? Yaudah aku minta.."
Keisengan Emir mulai, dia mengambil Brownie Sundae kesukaanku dengan
sendoknya.
"Aku juga bagi dong.." Sebagai pembalasan, aku menyendok penuh ice cream Snickers Sundae milik Emir. Ha-ha. Impas.
"Eh! Banyak banget." Emir kembali mengambil ice creamku. Dan begitu seterusnya sampai habis, ini sama saja aku memakan icecream snickers, bukan brownie. Tangan kita penuh iceream yang berceceran. Begini nasib sebagai dua manusia yang menginjak remaja, wajah boleh dewasa tapi sikap masih anak-anak. Mungkin ini cara kita melepas hem.. apa namanya. Kangen? Selama tiga tahun lamanya..
"Emir-Mahira-Salim..
Kita mau kemana lagi? Bukannya kita udah nyobain semua?" Tanyaku yang sudah mulai bosan berkeliling tempat ini lebih
dari tiga kali.
"Hmm.. Belom semua! Kita belum masuk situ!" Emir menunjuk salah satu pojok ruangan yang sebesar ini. Saat aku melihat tulisan dipintu masuk, ternyata.. Kau pasti tau. Dunia lain.
"Ah!" Aku memutar otakku mencari alasan, aku tak ingin takut apapun didepan dia sekarang. Kalau aku bilang blakblakan pasti aku akan tetap ditarik masuk ke ruangan aneh itu. Hmm.
"Udah tau mir, kamu aja yang lupa. Jangan-jangan kamu amnesia ya?" Trik, menyalahkan orang untuk berganti topik. Emir menatapku dengan alis yang diangkat sebelah dengan senyum tipis di ujung bibirnya.
"Iya bener, kayanya aku amnesia kalau kamu takut sama hantu." Ejekan. Ini namanya memutarbalikkan kalimat. Satu-kosong.
"Engga! Siapa bilang!" Sebelum aku meneruskan kalimatku, Emir telah menggenggam erat pergelangan tanganku, menarikku hingga berada beberapa meter dari pintu masuk. Lagu-lagu mistis yang pernah aku dengar saat menyetel channel trans tengah malam kini kembali melantun ditelingaku, beberapa penjaga berjubah hitam dari ujung rambut hingga ujung kaki, kadang mereka mengeluarkan suara yang membuat aku tambah takut. Saat ini Emir benar-benar mencengkram lenganku, seandainya tidak, aku telah lari menjauh dari tempat misterius ini!
"Nanti
jalan sendiri-sendiri ya.."
Gila. Ini pernyataan teraneh yang pernahku dengar.
"Katanya gak takut hantu? Kok keringet dingin gini?"
"Iya, iya. Aku masih takut sama hantu! Kamu gak inget terakhir kali kita ke rumah hantu?!" Nadaku sedikit tinggi.
***
Seminggu
sebelum kepergian Emir ke Barcelona, saat itu aku juga belum tahu rencana
kepergiannya. Tepatnya Malam senin, disaat esok pagi kami harus berangkat
sekolah. Emir mengajak aku pergi, entah kemana. Sebenarnya aku dilarang oleh
papa, tapi kalau cinta memang buta ya.. Aku nekat lompat dari lantai dua dan
pergi dengan Emir, berjalan kaki. Kata dia sekalian olah raga. Awalnya aku
kaget, tempat tujuan kita adalah pasar malam. Ramai, tapi tak terlalu. Selama
aku dan Emir bermain, aku masih saja menekuk wajahku. Tetapi setelah aku
melihat senyuman Emir yang tulus dan itu mencairkan ego yang ada dihatiku.
Akupun ikut tersenyum dan tertawa. Sampai Emir menarikku seperti sekarang,
didepan pintu masuk rumah hantu. Ini bukan kali pertama aku dipaksa masuk
tempat semi-angker, tapi kalau seandainya aku benar masuk ke rumah tersebut,
itu baru pertama kali dalam hidupku. Emir memegang erat jemariku selagi
menunggu antrian menaiki kereta kecil–Satu-satunya akses masuk kedalam ruangan
gelap itu. Tersisa satu rombongan didepan kami. Saking takutnya. Aku menganggap,
itu detik-detik terakhir aku hidup.
"Mire.. Kamu boleh deh nyuruh aku push up, skot jam, sit up, lari lapangan semau kamu. Asal aku gak masuk ke tempat aneh itu!" Aku mengoceh seperti burung yang tak didengar oleh siapapun.
"Mirrr! Dengerin aku! Aku gak mau masuk situ! Sumpaah! Mending aku suruh nyuci baju kamu deh, bersihin kamar kamu, semuanya! Bla..bla..bla.." ocehanku tak berhenti. Emir tetap menarikku dan sekarang aku berada dalam satu kereta kecil bersama Emir. Ditengah ocehanku, Emir tiba-tiba saja meletakan telunjuknya didepan bibirku. Sontak aku terdiam.
"Tenang, aku akan selalu ada disebelah kamu, Vanvan.." Kalimat Emir yang satu ini sangat menenangkan. Dia meyakinkanku bahwa, aku tak akan baik-baik saja setelah ini.
Tak
ada jalan lain, lari dari kenyataan itu susah. Aku terjebak disini. Sekarang,
aku yang menggenggam lengan Emir dengan keadaan tangan yang dingin parah. Emir
adalah the one and only, laki-laki yang pernah melihat aku takut seperti
ini, kecuali papa. Mataku aku tutup erat, telinga yang sejak tadi mendengar
suara mistis sudah aku sumbat dengan jemariku dan telinga yang satu lagi aku
dekatkan pada lengan Emir. Dan, aku tak bisa mendengar teriakan aneh itu.
Seseorang menepuk bahuku, aku langsung berpikir bahwa itu hantu yang aku
takutkan. Aku semakin mendekap Emir. Tetapi, ia menepukku lagi dan ini lebih
lembut. Aku beranikan diri membuka mata. Pasangan mata menatapku aneh, tempat
ini lebih terang dari jalur kami tadi. Perjalanan kita sudah selesai..
***
Giliran kita. Okey. Penyesalan memang datang belakangan. Jalur pertama yang kita lewatin harus dengan berjalan, sementara aku mengenakan short pants dan vans. Kalau aku boleh memilih, aku akan menggunakan cenala jeans double dan sepatu boot. Seandainya kakiku nanti dipegang, aku akan injak-injak hingga tak berbentuk!
Sip.
Napas ku mulai tak beraturan. Emir
disebelahku, tanganku masih mencengkram erat dia. Langkahku lambat dan
tersegal, Emir bahkan mau meninggalkan aku sendiri. Sampai tak sengaja aku
melihat foto keluarga yang bersimbah darah. Darah. Lututku lemas. Aku
menghentikan langkah.
"Van?
Kamu gak mau lama-lama disini kan?" Emir
bertanya persis disebelah telingaku.
"A-aku gak mau." Suaraku purau.
Hap.
Tangan Emir lepas dari genggamanku.
Dia malah merangkulku dan membiarkan aku berlindung disisi kiri dari tubuhnya. Fix.
Wangi khas Emir berkutit dihidungku. Wangi yang bisa membuat kita tenang untuk
sementara ini. Dan akhirnya kami sampai. Ruangan ini sedikit terang. Tapi
setelah aku membuka mata, kenapa ada kereta? Kit-kita naik ini? Aaah.
Ini namanya membunuhku secara perlahan!
Emir
naik kereta kecil itu terlebih dahulu, awalnya aku ragu tapi Emir menyediakan
bahunya untukku itu sudah lebih dari cukup untuk menenangkan ku. Tuhkan.
Baru saja kereta kami berjalan beberapa centi teriakan aneh dan suara tawa yang
tak jelas asalnya, terdengar lagi. Tiba-tiba Emir bertanya, dengan pertanyaan
yang lebih-gila-dari-apapun.
"Taruhan?"
Dia menanyakan ini disaat aku berada ditengah mayat hidup seperti mereka!
"Nanti malem kita bakal dinner direstaurant bintang enam, tapi.." Kalimat Emir tergantung. Aku mengangkat sebelah alisku, tapi yang dua-duanya terangkat. Bukan anak theater. Catat itu.
"Kamu
gak boleh nutup mata dan telinga. Deal?"
Ini apa?! Aku harus melihat mayat-mayat yang menakuti anak kecil berubur lima tahun? Kenapa tempat ini harus ada?! Kenapa kita harus mengganggu makhluk di dunia lain? Ngurus makhluk didunia sendiri aja belom becus, gimana dunia lain? Hah?
"Nanti aku traktir beli coklat dan snack-snack malem mu itu. Terserah yang kamu mau. Deal?"
Coklat..
Kenapa Emir berhasil memojokkan aku dengan coklat, snack malam, terserah aku.
Kenapaaa?!
Genggamanku mulai melemah, aku
duduk disisi kereta yang lain, aku menjauh dari Emir. Membuka mata.. Dan
dihadapanku latar sma angker mungkin, entah lah. Aku menganggap muka
hantu-hantu itu adalah softdrink besar yang akan ku minum, darah yang
berceceran itu coklat yang meleleh, hiasan-hiasan mistis aku yakin itu
keripik
kentang yang penuh dengam rasa yang top markotop. Melewati gua belanda,
aku
cukup takut. Aku melirik Emir, ternyata dia memerhatikan aku, bukan
suasana
disini! Itu dia yang bikin Emir tak takut! Huh! Dia tersenyum, tapi aku
membuang muka. Licik.
Ini
perasaanku saja atau benar kereta kita melambat, suasana gelap. Suara teriakan
dari kereta depan terdengar kencang, mungkinkah ini puncaknya? Lambat tapi
pasti kereta kami memasuki ruangan merah. Terlihat ambulance ancur tak jelas
persis berada disebelahku sekarang. Aku menggeser tubuhku sedikit ke arah Emir.
Jujur, ini seram. Didalam ketakutan ini aku masih mempunyai rasa ingin tahu
yang besar, aku ingin tahu isi ambulance itu. Kosong? Mayat? Pocong? Kunti?
Atau apa? Deg. Pintu tiba-tiba terbuka persis didepanku. Sontak aku
menendang pojok kereta untuk menjauh dari ambulance tersebut, tapi adanya aku
malah berada didekapan Emir. Aku tak kuat, aku memejamkan mata. Biarlah aku tak
mendapatkan dinner di resto bintang enam, dan menyia-nyiakan snack pemberian
Emir!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar