Senin, Juli 01, 2013

Emir Love Story: "Memories" - PART 8


Meluruskan kaki dilantai adalah satu-satunya jalan untuk meringankan rasa sakit pada pergelangan kaki kanan ku sampai pangkal paha. Tadi memang sempat terjadi insiden denganku, bahkan bukan hanya denganku. Empat orang yang lain juga senasib, lawan kita satu ini main body, bukan skill! Air dingin dan es di ruang ganti kami habis untuk menurangi cedera pada tubuh mereka, aku rela tak memakainya. Meskipun kalau dilihat, kecelakaanku lebih parah dari mereka. 
Ruang gantiTempatku sekarang berlindung–Sepi, hanya aku didalamnya. Biasanya diwaktu seperti ini, aku dan Daniel membereskan tempat ini dan mengecek loker anak-anak seandainya ada yang tertinggal. Huft. Aku butuh menyendiri, tempat ini sepertinya cocok. Karena lapangan dan ruang ganti hanya bisa dimasuki pemain, pelatih dan orang-orang yang sudah terdaftar. Jadi untuk sementara Emir, Niken, Rara, Bima ataupun Aldi tak akan bisa mengangguku. Kecuali..



Suara pintu terbuka dan langkah kaki menggema diruangan. Suara loker satu-persatu terbuka dan menutup. Aku yakin itu.. Aku segera mencoba bangkit dari dudukku dengan satu kaki. Tapi tak bisa, yang ada aku jatuh beberapa kali hingga mengeluarkan suara lirih yang sangat pelan. Mungkin suara ini yang membuat orang itu semakin mendekat ke lorong tempatku berada. 


"Hallo.. Ada orang disana?" Suara berat, tetapi terdengar lembut dan enak didengar. Suara yang memperlihatkan kekhawatirannya. Jelas suara ini aku kenal. Suara Daniel. Langkah kaki semakin mendekat. Dan. Boom. 


"Vanny?" Suara prihatin yang aku dengar. Jujur, seandainya aku bisa berlari sekarang. Aku akan melakukan hal itu. Rasa malu, bersalah, takut dan semuanya bercampur menjadi satu. Daniel menyentuh kakiku, dengan lembut. Hanya itu.


"Pulang sama Emir?" Tanya dia. 


Aduh. Berarti Daniel udah tau semua tentang aku dan Emir. Kacau. Aku mengangguk lemah. 


"Ayo, aku bantu. Pasti dia nyari kamu diluar." Kata Daniel. Dilihat dari matanya, tak ada sama sekali rasa marah atau benci. Sepertinya dia memang tulus. Atau aku yang salah mengartikan itu semua. Daniel membantuku berjalan dan membawakan tasku. Fix. Aku tak bisa berkutit. Tak jauh setelah kita keluar dari ruang ganti, Daniel memanggil nama Emir. Sip. Aku tak berani memandang mereka berdua sekarang. Takut.


Kini mereka berdua membantuku berjalan, tangan kananku kini berada diatas punggung Emir. Sementara Daniel, dia membawakan tas ku. Dan Emir memasukanku pada bagian belakang mobil hitamnya. Setelah pintu ditutup, aku lihat dari balik jendela yang gelap ini, mereka sempat berbicara suatu hal yang tak bisa aku dengar. Aku takut terjadi perang dunia ke 3. Takut otot-otot tangan Daniel akan menghantam rahang Emir. Aku takut kaki-kaki Emir yang biasa menendang bola hingga puluhan meter, kini akan melakukan yang sama pada tubuh Daniel. 



Tetapi.. Saat Emir membuka pintu supir, aku mendengar tawa dari mereka berdua. Ketakutanku hilang. Kini berganti banyak tanda tanya. 


"Kamu dapet salam dari Daniel Van. Katanya: get well soon, sama jangan lupa lusa kalian grand final." Kedua mata Emir terbesit menatapku dari spion tengah. 

Masih peduli dia dengan ku ya..



***

Pagi ini aku memilih untuk berdiam diri dikamar, sejak tadi malam aku tak beranjak dari ranjang. Kaki kananku masih tak kuat berjalan, jangankan berjalan. Berdiri saja aku tak bisa. Sejak aku bangun, aku hanya menonton ChannelV, tadi juga sempat diputar lagu Taylor Swift kesukaanku, 22. Baru pertama kalinya, aku tak melonjak diranjang dan bertingkah 'Gila' saat mendengar lagu ini. Semua gara-gara kaki kananku. Huft. Untung sahabat-sahabat terbaik yang pernah ada buatku kini memenuhi kamarku, untuk sementara mereka bisa membuang rasa bosan yang menyerang. 


"Jadi gitu ceritanya.." Niken mengangguk setelah mendengarkan ceritaku tentang kejadian yang terjadi kemarin sore.



"Serius lo gak diapa-apain sama Daniel? Bukannya tinggal lo berdua di–" Kalimat Bima terputus oleh celetukan Rara.



"Ya gaklah Bim! Pikiranlo bejat banget tau gak."



"Bukan gitu, Ra. Lo taukan Daniel? Kapten basket terplayboy yang pernah gue liat." Sindir Bima. Meskipun sekarang aku bukan siapa-siapanya lagi, kalimat yang dikeluargan Bima barusan itu nusuk. Banget. 



"Engga Bim, dia gak playboy.." Kataku lirih mencoba menenangkan suasana. Bukan menenangkan, yang ada emosi Bima melunjak.



"Lo yakin? Lo gak liat setiap dia tanding, cewe-cewe dia pada teriak gak jelas! Untung lo udah putus." 



Tunggu.



"Lo– Lo tau dari mana kita putus?" Mereka semua menatap aku, komlak. Dengan tatapan prihatin. Kali ini Aldi yang selalu pendiam dan acuh terhadap omongan orang, kini ikut berbicara. 



"Semua anak di sekolah pada ngomongin kalian Van.."



Mulutku menggantung diudara, aku ingin mengucapkan 'Hah' tapi tak ada suara yang keluar. Daniel pasti udah tau Emir siapa. Pasti dia tau banget soal aku dan Emir dimasa lalu. Pasti! Tapi, kenapa dia begitu dekat dengan Emir kemarin?



"Udahlah. Lagian lo udah ada Emir.. Gak usah mikirin Daniel lagi, Van.." Kata Rara sambil mengelus punggungku. Emir? Aku menyapukan pandanganku ke seluruh sisi kamar. Hasilnya nihil. Emir tak ditemukan.



"Emir dimana Ra?" Pertanyaanku ini spontan keluar dari mulutku. Mereka saling berpandangan. Damn. Pasti ada yang salah!



"Emir dimana, Ken? Bim? Aldi..?" Mereka tetap tak membalas. 



"Kalian pasti tau--" 


"Mungkin dia lagi on the way Van.. Tunggu aja.."
Niken berkicau, dia memotong perkataanku. 


***


Semenjak kejadian itu, aku masih memikirkan Emir. Sudah lebih dari 24 Jam dia tak menemuiku untuk sekedar melihat keadaan. Bahkan, handphoneku tak menerima pesan dari Emir satupun. Kemarin malam, beberapa saat setelah sahabatku pulang, aku sempat mencoba meleponnya. Tapi tak ada jawaban. Perasaanku kacau, antara khawatir, cemas dan takut kehilangan. Untuk kedua kalinya. Dia menghilang ditelan bumi. 


Suara kendaraan berhenti didepan rumah. Suaranya berat, aku berharap besar dia adalah Emir. Bell berbunyi satu kali, mama membuka pintu. Sepertinya aku mendengar nereka berbicara kecil, tapi dari suaranya aku tak yakin itu Emir. 


"Vanny lagi dikamar, mungkin masih tidur." Ini suara Mama dari kejauhan. 



"Iya tante.." Daniel. Ini suara dia. 



Sementara aku yang ada didalam kamar sama sekali tak ingin bertemu dengan dia untuk saat ini! Aku masih belum bisa mengatur pikiranku sekarang. Toktoktok.. Aku segera manarik selimut tebal dan menutupi seluruh bagian tubuhku. Aku tak ingin terjadi percakapan panjangan dengannya. Greg.. Suara gagang pintu terputar. Aku memejamkan mataku. Langkahnya menggema di telingaku. Dia berhenti dan duduk pada bibir ranjang, tepatnya disebelah kepalaku. Menyentuh rambutku dengan lembut. Ah. Aku takut, takut dia akan marah. Aku takut dia meminta penjelasan yang pasti penyebab kita, ehem. Putus. Tapi.. Mungkin Daniel sudah mengetahuinya sendiri. 

 

"Gak terasa besok udah grand final. Sesuai targetmu kan? Besok lawannya dari smu negeri van. Kemaren aku liat mereka tanding, home mereka tangguh. Tembakkan mereka juga akurat. Tapi aku yakin, tim kalian bisa menang." Daniel menghembuskan napas panjang. Aku membalikkan badan, memberikan kesan tak nyaman berada di dekat dirinya.


"Kayanya kamu masih lelah. Istirahat yang cukup ya." Daniel beranjak dari ranjang, melangkah menjauhiku. Aku perkirakan dia sedang berdiri ditengah pintu.


"Ohya, dapet salam dari.. Emir. Get well soon. Dia usahain bisa dateng ke gor besok."   Dan sekarang dia benar-benar tak ada dikamarku. 



Aku membuka mataku, tepatnya setengah melotot. Apa? Dia jauh-jauh kesini cuma buat bilang itu? Hah? Apa maksudnya, aku tak mengerti. Atau aku kurang peka.



Sampai matahari kembali ke ufuk barat, aku masih mendekam diri dikamar. Kalau kemarin aku menelpon Emir dan balasannya tak ada. Hari ini nomer Emir sudah tidak aktif. Dimana Emir sebenarnya? Yang pasti, Niken, Rara, Bima, Aldi menyembunyikan sesuatu dariku. Dan mereka tidak ingin membeberkannya. Dan.. Daniel aku yakin dia tahu Emir dimana, tapi.. Aku ragu untuk menelepon atau memberikan pesan kepadanya. Jelas, sekarang aku tak ada hubungannya dengan dia. 


^^^
Part lain? Klik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar