Meluruskan
kaki dilantai adalah satu-satunya jalan untuk meringankan rasa sakit pada
pergelangan kaki kanan ku sampai pangkal paha. Tadi memang sempat terjadi
insiden denganku, bahkan bukan hanya denganku. Empat orang yang lain juga
senasib, lawan kita satu ini main body, bukan skill! Air dingin dan es di ruang
ganti kami habis untuk menurangi cedera pada tubuh mereka, aku rela tak
memakainya. Meskipun kalau dilihat, kecelakaanku lebih parah dari mereka.
Ruang
ganti–Tempatku sekarang berlindung–Sepi, hanya aku didalamnya.
Biasanya diwaktu seperti ini, aku dan Daniel membereskan tempat ini dan
mengecek loker anak-anak seandainya ada yang tertinggal. Huft. Aku butuh
menyendiri, tempat ini sepertinya cocok. Karena lapangan dan ruang ganti hanya
bisa dimasuki pemain, pelatih dan orang-orang yang sudah terdaftar. Jadi untuk
sementara Emir, Niken, Rara, Bima ataupun Aldi tak akan bisa mengangguku.
Kecuali..
Suara
pintu terbuka dan langkah kaki menggema diruangan. Suara loker satu-persatu
terbuka dan menutup. Aku yakin itu.. Aku segera mencoba bangkit dari dudukku
dengan satu kaki. Tapi tak bisa, yang ada aku jatuh beberapa kali hingga
mengeluarkan suara lirih yang sangat pelan. Mungkin suara ini yang membuat
orang itu semakin mendekat ke lorong tempatku berada.
"Hallo..
Ada orang disana?" Suara berat,
tetapi terdengar lembut dan enak didengar. Suara yang memperlihatkan
kekhawatirannya. Jelas suara ini aku kenal. Suara Daniel. Langkah kaki semakin
mendekat. Dan. Boom.
"Vanny?"
Suara prihatin yang aku dengar.
Jujur, seandainya aku bisa berlari sekarang. Aku akan melakukan hal itu. Rasa
malu, bersalah, takut dan semuanya bercampur menjadi satu. Daniel menyentuh
kakiku, dengan lembut. Hanya itu.
"Pulang
sama Emir?" Tanya dia.
Aduh.
Berarti Daniel udah tau semua tentang aku dan Emir. Kacau. Aku mengangguk lemah.
"Ayo,
aku bantu. Pasti dia nyari kamu diluar." Kata Daniel. Dilihat dari matanya, tak ada sama sekali rasa
marah atau benci. Sepertinya dia memang tulus. Atau aku yang salah mengartikan
itu semua. Daniel membantuku berjalan dan membawakan tasku. Fix. Aku tak
bisa berkutit. Tak jauh setelah kita keluar dari ruang ganti, Daniel memanggil
nama Emir. Sip. Aku tak berani memandang mereka berdua sekarang. Takut.
Kini
mereka berdua membantuku berjalan, tangan kananku kini berada diatas punggung
Emir. Sementara Daniel, dia membawakan tas ku. Dan Emir memasukanku pada bagian
belakang mobil hitamnya. Setelah pintu ditutup, aku lihat dari balik jendela
yang gelap ini, mereka sempat berbicara suatu hal yang tak bisa aku dengar. Aku
takut terjadi perang dunia ke 3. Takut otot-otot tangan Daniel akan menghantam
rahang Emir. Aku takut kaki-kaki Emir yang biasa menendang bola hingga puluhan
meter, kini akan melakukan yang sama pada tubuh Daniel.
Tetapi..
Saat Emir membuka pintu supir, aku mendengar tawa dari mereka berdua.
Ketakutanku hilang. Kini berganti banyak tanda tanya.
"Kamu
dapet salam dari Daniel Van. Katanya: get well soon, sama jangan lupa lusa
kalian grand final." Kedua mata Emir
terbesit menatapku dari spion tengah.
Masih
peduli dia dengan ku ya..
***
Pagi
ini aku memilih untuk berdiam diri dikamar, sejak tadi malam aku tak beranjak
dari ranjang. Kaki kananku masih tak kuat berjalan, jangankan berjalan. Berdiri
saja aku tak bisa. Sejak aku bangun, aku hanya menonton ChannelV, tadi juga
sempat diputar lagu Taylor Swift kesukaanku, 22. Baru pertama kalinya, aku tak
melonjak diranjang dan bertingkah 'Gila' saat mendengar lagu ini. Semua
gara-gara kaki kananku. Huft. Untung sahabat-sahabat terbaik yang pernah
ada buatku kini memenuhi kamarku, untuk sementara mereka bisa membuang rasa
bosan yang menyerang.
"Jadi
gitu ceritanya.." Niken
mengangguk setelah mendengarkan ceritaku tentang kejadian yang terjadi kemarin
sore.
"Serius
lo gak diapa-apain sama Daniel? Bukannya tinggal lo berdua di–" Kalimat Bima terputus oleh celetukan Rara.
"Ya
gaklah Bim! Pikiranlo bejat banget tau gak."
"Bukan
gitu, Ra. Lo taukan Daniel? Kapten basket terplayboy yang pernah gue
liat." Sindir Bima. Meskipun sekarang aku
bukan siapa-siapanya lagi, kalimat yang dikeluargan Bima barusan itu nusuk.
Banget.
"Engga
Bim, dia gak playboy.." Kataku
lirih mencoba menenangkan suasana. Bukan menenangkan, yang ada emosi Bima
melunjak.
"Lo
yakin? Lo gak liat setiap dia tanding, cewe-cewe dia pada teriak gak jelas!
Untung lo udah putus."
Tunggu.
"Lo–
Lo tau dari mana kita putus?" Mereka
semua menatap aku, komlak. Dengan tatapan prihatin. Kali ini Aldi yang selalu
pendiam dan acuh terhadap omongan orang, kini ikut berbicara.
"Semua
anak di sekolah pada ngomongin kalian Van.."
Mulutku
menggantung diudara, aku ingin mengucapkan 'Hah' tapi tak ada suara yang
keluar. Daniel pasti udah tau Emir siapa. Pasti dia tau banget soal aku dan
Emir dimasa lalu. Pasti! Tapi, kenapa dia begitu dekat dengan Emir kemarin?
"Udahlah.
Lagian lo udah ada Emir.. Gak usah mikirin Daniel lagi, Van.." Kata Rara sambil mengelus punggungku. Emir? Aku
menyapukan pandanganku ke seluruh sisi kamar. Hasilnya nihil. Emir tak
ditemukan.
"Emir
dimana Ra?" Pertanyaanku ini spontan keluar dari
mulutku. Mereka saling berpandangan. Damn. Pasti ada yang salah!
"Emir
dimana, Ken? Bim? Aldi..?" Mereka
tetap tak membalas.
"Kalian
pasti tau--"
"Mungkin dia lagi on the way Van.. Tunggu aja.." Niken berkicau, dia memotong perkataanku.
***
Semenjak
kejadian itu, aku masih memikirkan Emir. Sudah lebih dari 24 Jam dia tak
menemuiku untuk sekedar melihat keadaan. Bahkan, handphoneku tak menerima pesan
dari Emir satupun. Kemarin malam, beberapa saat setelah sahabatku pulang, aku
sempat mencoba meleponnya. Tapi tak ada jawaban. Perasaanku kacau, antara
khawatir, cemas dan takut kehilangan. Untuk kedua kalinya. Dia menghilang
ditelan bumi.
Suara
kendaraan berhenti didepan rumah. Suaranya berat, aku berharap besar dia adalah
Emir. Bell berbunyi satu kali, mama membuka pintu. Sepertinya aku mendengar
nereka berbicara kecil, tapi dari suaranya aku tak yakin itu Emir.
"Vanny
lagi dikamar, mungkin masih tidur."
Ini suara Mama dari kejauhan.
"Iya
tante.." Daniel. Ini suara dia.
Sementara
aku yang ada didalam kamar sama sekali tak ingin bertemu dengan dia untuk saat
ini! Aku masih belum bisa mengatur pikiranku sekarang. Toktoktok.. Aku
segera manarik selimut tebal dan menutupi seluruh bagian tubuhku. Aku tak ingin
terjadi percakapan panjangan dengannya. Greg.. Suara gagang pintu
terputar. Aku memejamkan mataku. Langkahnya menggema di telingaku. Dia berhenti
dan duduk pada bibir ranjang, tepatnya disebelah kepalaku. Menyentuh rambutku
dengan lembut. Ah. Aku takut, takut dia akan marah. Aku takut dia
meminta penjelasan yang pasti penyebab kita, ehem. Putus. Tapi.. Mungkin
Daniel sudah mengetahuinya sendiri.
"Gak
terasa besok udah grand final. Sesuai targetmu kan? Besok lawannya dari smu
negeri van. Kemaren aku liat mereka tanding, home mereka tangguh. Tembakkan
mereka juga akurat. Tapi aku yakin, tim kalian bisa menang." Daniel menghembuskan napas panjang. Aku membalikkan badan,
memberikan kesan tak nyaman berada di dekat dirinya.
"Kayanya
kamu masih lelah. Istirahat yang cukup ya." Daniel beranjak dari ranjang, melangkah menjauhiku. Aku
perkirakan dia sedang berdiri ditengah pintu.
"Ohya,
dapet salam dari.. Emir. Get well soon. Dia usahain bisa dateng ke gor
besok." Dan sekarang
dia benar-benar tak ada dikamarku.
Aku
membuka mataku, tepatnya setengah melotot. Apa? Dia jauh-jauh kesini cuma
buat bilang itu? Hah? Apa maksudnya, aku tak mengerti. Atau aku kurang peka.
Sampai
matahari kembali ke ufuk barat, aku masih mendekam diri dikamar. Kalau kemarin
aku menelpon Emir dan balasannya tak ada. Hari ini nomer Emir sudah tidak
aktif. Dimana Emir sebenarnya? Yang pasti, Niken, Rara, Bima, Aldi
menyembunyikan sesuatu dariku. Dan mereka tidak ingin membeberkannya. Dan..
Daniel aku yakin dia tahu Emir dimana, tapi.. Aku ragu untuk menelepon atau
memberikan pesan kepadanya. Jelas, sekarang aku tak ada hubungannya dengan
dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar