Kulangkahkan kakiku keluar kamar, memasuki ruang makan yang sudah tercium bau makanan lezat. Perutku sudah tak bisa di kompromi. Tetapi.. Siapa yang masak makanan seharum ini? Bukankah Niken dan Rara tadi masih tidur dikamar kami? Langkah kaki aku percepat, aku melihat seseorang berdiri dibalik meja dapur. Wajahnya terlihat buram, konsentrasi melihatku belum terkumpul 100 persen. Aku baru bangun beberapa detik lalu.
"Vanvan udah bangun..?"
"Emir? Kamu ngapain?" Tanyaku.
"Bikin sarapan buat kamu.." Emir mengeluarkan suara lembut dan enak didengar.
Aku menihat ke arah meja makan.
Sekitar enam buah muffin berwarna ke-emas-an terdapat dimeja itu wangi harum
dari kue sendiri semakin menggeliat dihidungku. Emir melepas celemeknya dan
mengambil dua muffin dan dua cangkir teh panas ke teras, hawa dingin mulai
menusuk kulitku. Duduk disebuah tempat duduk kayu, bersama Emir, suasana
berubah hangat. Sarapan pagi ini spesial, sangat spesial. Emir disebelahku,
dengan makanan yang sama. Mengingatkanku pada...
***
Bakso didepanku hanya sebagai mainan
sementara, tak tau harus berbuat apa. Nafsu makanku hilang sejak pelajaran IPS
tadi, cukup muak dengan tawa ejekan teman-temanku. Aku yakin Emir dan Bima
pasti sengaja merencanakan ini! Aku yakin! Tiba-tiba meja kantin, tempat aku
menaruh mangkuk bakso bergoyang. Reflek aku ingin tahu mengapa. Setelah tahu
penyebabnya dia, aku menyesal. Sekarang, Emir telah duduk didepanku. Bersama
mangkuk berisi bakso juga.
"Bang! Teh dua ya!" Teriak
Emir kepada salahsatu penjual dikantin. Aku menumpukan dagu pada telapak
tanganku. Wajah cuek aku pasang.
"Vanvan kenapa? Dimakan
baksonya.. Bukannya ada ekskul basket? Gimana mau jadi kapten kalo tenaga aja
gak ada." Kalimat panjang ini keluar dari mulut Emir dengan pelan. Sejak
kapan dia perhatian denganku?
"Van? Kamu marah?" Tanyanya dengan wajah sedikit cemas. Aku kembali diam. Tak beberapa lama, dua teh yang dipesan Emir datang. Setelah abang penjual itu mulai menjauhi kita, aku mulai membuka mulut.
"Apasih mir maksud kamu?"
"Maksud aku apa?" Jawabnya polos. Tapi tak mungkin dia tak mengerti!
"Kok malah balik nanya gitu sih!" Kata aku dengan ekspresi marah. Dilihat dari matanya, Emie benar-benar terlihat binggung.
"Aku gak ngerti maksud kamu vanvan.."
"Kenapa tadi kamu malah ngeliat aku tadi?"
"Perasaan kamu aja kali van.." Jawab Emir dengan santai.
"Tapi pak atang aja liat!" Aku mencoba lebih marah, tapi sama saja.
"Tadi aku bener-bener gak tau jawabannya, aku kira kamu mau ngasih jawaban buatku. Ternyata–"
"Aku gak mau, dirapot ku ada nilai Nol! Mir!" Potongku.
"Tapi tadi gak disengaja, vanvan–"
"Kenapa kamu manggil aku Vanvan?" Pertanyaanku membuat Emir terpojok, berpikir sejenak untuk mencari jawaban yang benar.
"Karna.. Vanny itu udah biasa, aku manggil Vanvan karena.. Kamu.. Gak biasa.. Kamu itu luar biasa.." Emir menatap mataku. Aku diam seribu bahasa. Apa maksudnya?
"Maaf ya buat dikelas. Aku
emang gak seharusnya nanya kamu gitu. Tapi, kalo tadi kamu gak mau bales
pertanyaanku, sekarang. Kamu mau menjawab pertanyaanku?" Emir bertanya
penuh harapan. Matanya tajam, seperti ingin meminta persetujuan dariku.
"Pertanyaan apa?" Jawabku lirih. Wajahku terlihat datar.
"would you mind to be my girl?"
Serius, wajah Emir terlihat begitu
serius. Beda dari biasanya yang selalu bercanda ketawa ketiwi. Matanya seperti
ingin meminta jawaban yang jelas dariku. Tangannya menyentuh telapak tanganku
dengan lembut. Ini seperti bukan Emir..
***
"Van? Gak mau nyoba muffin
buatanku?"
"I-iya mau kok.."
Aku tersenyum geli mengingat-ingat kajadian itu.
Kurang romantis, tapi firstlove memang gak bisa dilupain gitu aja. Mungkin
jalan Tuhan memang seperti ini.. Aku menggigit muffin yang terlihat manis dan
enak ini. Gigitanku cukup besar, penasaran dengan rasanya dan aku juga lapar.
"Ah.." raut wajahku berubah.
"Kenapa?"
"Ke-kecut..."
Satu kata yang membuat Emir bisa tertawa begitu
kerasnya, hingga membangkitkan Aldi dari tidurnya. Pipiku memerah. Bukan karena
rasa kecut ini, tetapi malu. Aku sendiri tak tahu ini muffin rasa apa, aku kira
manis. Ternyata.. Kecut.
"Kamu pas masak, Udah mandi belum sih? Atau keringet kamu masuk kemakanan
lagi?"
Sebenarnya kalimat ini keluar bermaksud untuk menghentikan gelak
tawa Emir, tapi kenyataannya. Tawa Emir makin menjadi-jadi. Aku binggung. Aku
letakkan muffin itu dengan keras (menurutku) ke arah meja. Emir tetap saja
sibuk. Tertawa, hingga perutnya harus ditahan oleh tangannya. Sebodohkah aku?
Hah?
"Bukan.. Vanvan.." Pipinya menggembung menahan tawa.
"Itu magdalenas, breakfastnya orang spanyol.. Rasanya gitu.." Emir melanjutkan ketawanya.
lanjuuuuuutt min :D
BalasHapus