Minggu, Juli 05, 2015

EmirLoveStory: "Stay, He Said" - PART 8




Berbulan-bulan telah ku lewati semenjak kejadian itu. Sejak saat itu, hidupku, hidupnya dan hidup kami berubah. Aku merasa telah menjadi seseorang yang sangat beruntung didunia ini. Bisa berada disampingnya hampir setiap saat. Pagi, siang, sore, malam dan setiap detik dalam hidupku. 

Langkahku berhenti pada pinggir lapangan basket, suara pantulan bola terdengar hingga telingaku. Langanan yang tersembunyi dibalik sekolah dan mungkin kami berdua saja yang tahu. Hanya seorang disana berdiri tegap menghadap ring basket lengkap dengan kostum berangka 14. Entah mengapa ia menuliskan angka 14 dipunggungnya. Sengaja atau tidak, 14 adalah tanggal kelahiranku.


Dalam sekali tembakan mulus, three point dicetaknya. Refleks aku bertepuk tangan, membuat ia menoleh kearahku dan senyumnya mengembang. Manis. Dari dulu.

"Cat! One on one?"

"Tapi aku masih pake seragam.."

Tanpa basa basi Emir langsung mengoper bola basket dengan kecepatan sedang ke arahku. Perlahan tapi pasti aku memasuki area lapangan.

"One strawberry cheese cake frappe okey," Kataku menantang.

Itu bukan memesan semuah minuman, tapi bertaruh. Kalau aku menang berarti Emir harus mentraktirku. Sudah biasa kami bertaruh hal kecil seperti ini. Dan akhirnya dia lah yang lebih sering menang. Biasanya, taruhan Emir itu tidak jauh-jauh dari menemaninya menonton bioskop atau menonton konser musik atau menemaninya duduk di  cafe favoritnya atau yang lain.

"oke, tapi kalo aku menang... Nanti malem kamu temenin aku nonton dirumah, gimana?"

Tanpa babibu aku langsung mengacungkan jempol.

Pertarungan pun dimulai, pergerakanku agak tergenggu karena baju seragam ini. keringat pun mulai membasahi tengkuk punggung dan pelipisku namun satu angkapun belum aku cetak. Sementara Emir sudah beberapa kali tak aku hitung.

Mataharipun menghilang diufuk barat. Dia menghentikan permainannya,

"Kenapa loyo baget?" Tanyanya..

Aku terengah-engah "Soalnya.. Masih.. Pakek.. Rok.. Gak enak mainnya.."

"Berarti aku menang ya?"

Aku mengangguk pasrah. Aku duduk dipinggir lapangan dengan badan penuh keringat dan begitu pula dengan semua pakaian yang aku kenakan. Emir menyusuk beberapa menit setelah ia menembakan beberapa bola yang mulus masuk ke ring basket.

"Bau lo Cat!"

"Ngaca!" 

Napasku masih ngos-ngosan, seketika Emir menemparkan atasan seragam ke arahku. yang pas mengenai kepalaku.

"Gih sana pake.."

Aku mengambilnya dan merentangkannya. Baju yang berukuran sangat kebesaran dengan tubuhku.

"Gede banget.."

"Daripada kamu masuk angin, bajumu basah semua itu,"

Aku pun berdiri sambil membawa seragam itu menuju gerbang kecil menuju sekolahan.

"Mau kemana?"




"Katamu suruh ganti baju?" Kataku dengan betenya.

"Disekolah yang gelap kaya gitu?"

Aku melihat kearah tunjukan Emir yang tepat menunjuk sekolah kita yang gelap gulita. Saat itu juga aku berbalik arah dan dengan langkah cepat aku mendekati Emir. Ya, setangguh apapun aku bermain basket, aku tetapsaja takut akan hal-hal yang tidak tampak seperti itu.

"Terus ganti baju dimana dong?" Tanyaku.

"Menurutmu?"

Aku sudah mulai geram. "Udah sana balik badan!"

Emir menyeringai mengoodaku. "Nanti kalau aku balik badan ada apa-apa gimana?"

"Ya nanti aku teriak"

"Hm.. yaudah deh." Emir membalikan badannya yang tetap terduduk dilapangan basket ini.

Aku juga memunggungi Emir. Dengan gerakan cepat aku melepas kancing-kancing baju dan melepas tanktop yang udah basah kuyup juga. Aku meletakkannya sembarangan dan..

"Warna item bagus juga Cat,"

"Hah?" Aku benar tak mengerti apa yang ia bicarakan.

"itu.."

Aku melihat tubuhku bagian atasku yang terbalut berwarna..

"KAMU NGINTIP YAA!"

Aku langsung mengambil seragam Emir dan mengancingnya asal.

"Nebak doang.."

"AKU SUMPAHIN BINTITANNN!"

Saking paniknya aku sampai salah memasukan kancing pada lubangnya. Lalu aku harus membenarkannya. Seragam ini sunggu sangat besar untuk tubuhku. panjangnya saja hampir mengenai lutut dan menutup rokku.

"Lama banget sih,"

Aku mengemasi seragamku dan tanktop ke dalam tas. Beberapa waktu aku menyadari segaram ini lumayan tipis. Hmph.

"Ayo balik," kataku.

Emir membalikan badan dan mengambil tasnya. Ia mengambil sesuatu dari dalam dan ternyata sebuah kaos, tanpa permisi ia membuka seragam basketnya dan menontonkan ke enam otot yang kayak bakpao itu.

Panik kembali menyerangku, dengan cepat aku menutup kedua mataku dengan tas yang aku pegang tadi.

"Halah pake nutup mata segala, padahal sih pengen liat kan.. Eh pengen megang kali ya" Ucapnya menyindirku.

"CEPET PAKE BAJU!" Teriakku.

"Iya bos bawel.."

Setelah Emir memakai bajunya ia mendekat kearahku dan melihatku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Lucu juga kamu pake seragamku," Ucaonya dan langsung membuat pipiku merona.

Tidak.

Ia maju selangkah. Sepatu kami saling menyentuh. Aku bisa melihat bulir-bulir keringat dari rambut Emir menetes dikaosnya. 

"Ke-kenapa aku gak pakek kaosmu aja sih?"

"Soalnya, kalau pakek kaos kamu gantinya susah terus lebih lama, nanti aku gak kuat deh.."

Tidak.

"Ya ma-mana ada pakek kaos lebih lama dibanding seragam! Ngaco kamu!" Ujarku gugup setengah mati.

"Mau dicoba?" Ucapnya dengan seringai yang sangat menjijikan.

"Gak lucu." Ucapku dengan sinis untuk menutupi kepanikanku.

"Lets try," Dalam sekejap ia bersiap membuka kaosnya dan setelah itu aku menutup mataku erat.

Beberapa detik berselang terdengar suara kekehan dari orang yang berdiri didepanku. Aku perlahan membuka mataku dan berapa terkejutnya saat ia telah menatap mataku lekat dengan pakaian yang masih utuh.

"Aku gak akan sejahat itu sama kamu.."

Cup.

Dengan cepat bibirnya menempel dibibirku sepersekian detik.

Ia menarik pinganggku dengan protektif, menuju parkiran.

***

Seperti biasa rumah terlihat sepi dan gelap. Pasti kak Natan ngelembur di kampus deh, batinku. Aku kembali memalingkan pandanganku ke Emir yang masih berdiri disamping sepedanya.

"And its time to say goodby," Kata Emir.

"Loh, gak jadi nonton?"

"Istirahat dulu aja, besok besok juga bisa."

Aku ber-oh sebentar lalu memalingkan wajahku ke seragam milik Emir yang masih terpasang dibajuku. Besok pake seragam apa ya? Bukannya ini lagi?

"Udah bawa aja aku masih punya yang lain.."

"Ya-yaudah.."

Aku mundur beberapa langkah, entah apa yang membuatku susah sekali untuk oergi dari hadapannya. Padahal besok kita bisa bertemu dan bercengkrama seperti tadi. Ia mulai menaiki sepedanya.

"Bye,"

Saat Emir memalingkan wajahnya untuk menghadap jalan, aku memberanikan diri maju dan mendekap Emir dari samping. Tangannya masih memegang kedua stang dan dia sedikit terkejut atas tingkahku. Perlahan aku mulai merasakan kedua tangan itu juga merengkuhku.

"Stay.. with.. me," Ucapnya secara perlahan.

Aku mengangguk dengan lemah dan melepas pelukkanku, mataku sudah sembab. Aku kembali mundur beberapa langkah.

Emir pun menginjak pedal sepedanya dan bergerak menjauh bersama sepedanya hingga menghilang di belokan. Aku berbalik badan dan masuk kedalam rumah.

Saat aku hendak melangkah menuju ruang keluarga, aku melihat segerumul orang duduk diruang tamu. Aku melihat mereka sekilas, dan aku terpekik kaget saat menemukan kedua orang tua ku duduk sambil menatapku cemas.

Clara yang notabene mamaku memelukku dengan erat, sementara Tamtomo papaku metapku lemah, terlihat dari wahjahnya iya begitu lelah. Kak Natan langsung berdiri ditempat tapi tak melakukan apa-apa.

Apa yang sebenarnya terjadi? Hah?

"Pulang sama siapa Cat?"Tanya Clara dibalik rengkuhannya.

"E-Emir mah, ada apa?"

"Mulai besok kita semua pindah ke London." Ucap papaku tegas.

Semua orang yang berada diruangan ini terkejut, tak terkecuali Kak Natan.

"Kenapa pa?" Tanya kak Natan dengan sedikit ragu.

"Malem ini juga kita berangkat, siapkan barang-barang karena mungkin kita tidak akan kembali lagi ketempat ini." Kata papa tanpa menghiraukan pertanyaan kak natan.

Papa pergi keluar rumah meninggalkan kami yang masih mematung membuat pikiranku kacau.

 Apa yang terjadi?

Tanpa sadar aku telah meneteskan air mata. Mama semakin memelukku erat. Kak Natan tetap tak bergerak sama sekali. 

"Ma.. aku mau pergi.. lepasin.." Aku berusaha melepas pelukan mama.

"Mau kemana catharine?"

Tanpa memandang kebelakang melangkah kasar menuju kamar, dan membantingnya keras. Aku duduk dimulut ranjang dan menangis sejadi-jadinya sambil memeluk seragam yang kebesaran ini.

Sesaat kemudian aku memutuskan untuk pergi ke loteng sambil membawa leser pemberian Emir.

Setibanya ku di lantai paling atas rumah ini aku menembakkan leser berwarna merah ke arah jendela kamar Emir.


satu detik

dua detik

tiga detik

empat detik

hingga detik berikutnya tak ada tanda-tanda.

Aku harus menceritakan semuanya, setidaknya aku harus mengatakan bahwa aku akan pergi. dan paling buruk tidak akan kembali. atau mungkin aku akan bersembunyi bersamanya dan tak bertemu dengan kedua orang tuaku!

Mataku sembab, air mataku tak kunjung berhenti mengalir.

Semuanya begitu berat. Semua begitu rumit.

***

EMIR POV

Setibanya dirumah yang sepi senyap ini aku masuk ke kamar mandi, membiarkan badan ini dihujani oleh air dari shower yang menyala deras. Biar semua keringat dan pikiranku yang kacau ini hilang seketika.

Sejak tadi aku selalu dihantui kata-kataku sendiri saat terakhir aku menjumpai Cat, ya sekitar sepuluh menit lalu. Saat aku berkata, its time to say good bye.

Entah mengapa aku mengucapkan kata-kata itu yang meluncur bebas dari mulutku.

Selesainya berdiam diri dibawah guyuran air aku keluar dari kamar dan mengenakan pakaian, tapi sudut mataku menangkap ada sinar berwarna merah dari balik jendela.

Perasaanku berbicara ada sesuatu yang salah.

Segera aku membuka jendela dan melihat sebuah leser tergeletak disana tanpa terlihat seorangpun disekitarnya.

Cat?

***

Kelas terlihat ramai, sudah beberapa hari setelah kejadian tersebut tidak terlihat tanda-tanda keberadaan Cat dimanapun. Semua teman dekatnya juga tidak tahu kemana menghilangnya Cat dan juga kakaknya. Rumahnya terlihat sepi dan gelap gulita saat malam.

Setiap malam aku selalu duduk menunggu kehadiran Cat di loteng, tetap saja tak membuahkan hasil.

Sialnya, tadi malam aku tertidur di loteng hingga pagi tadi dan aku terlambat sampai sekolah. Badanku mulai terasa tidak enak.

"Cat kemana bro? Kok gue gak liat ya akhir-akhir ini?" Suara ini keluar dengan sangat angkuh dari cowok brengsek yang gak akan pernah aku mau menemuinya, saat aku hendak meraih sepedaku untuk pulang.

Aku menatapnya dingin Tubuhnya yang lebih tinggi mengintimidasiku. Tapi aku berusaha supaya tidak terlihat rapuh didepannya.

"Lo salah nanya orang."

"Salah nanya orang? Jelas-jelas gue ngomong sama orang yang membuat Cat hilang dari muka bumi ini!" Tangannya direntangkan seluas mungkin pada akhir kalimat.

"Minggir. gue mau pulang."

Emir menaiki sepeda, sebelum tubuhnya terhempas dibelakang sepeda dan sepedanya jatuh ke samping.

Dielusnya tulang belakangnya yang langsung mengenai beton kasar tersebut. Tak sampai disitu ulah kakak kelas breksek ini. Saat tubuhku masih terkapar, dengan seenak jidat kakikya mengijak dadaku keras. Membuat aku merintih kesakitan.

"Baru segitu udah terkapar, dasar anak ingusan."

Aku mengendus kasar berusaha supaya tidak terpancing emosi Raskal brengsek ini.

"Dimana-Cat-SEKARANG?!"

"Gue bilang sekali lagi Raskalis-Arkanata-brengsek, lo-salah-nanya-orang. Mending lo nyari cat sekarang dari pada buang-buang waktu ngomong sama gue yang jelas-jelas gak tau dimana Catharine."

Bukannya pergi Raskal malah menambah tenaga dikakinya yang menginjak dadaku.

"Kita liat siapa yang bakal nemuin Cat duluan," Kata si breksek ini sambil mengangkat kakinya.

"Kita liat siapa yang bakal dipilih Cat duluan," Ucapku mengikuti aya bicaya Raskal yang angkuh itu.

Dia menggeram marah sambil mengepalkan tangan dan satu bogeman mentah kembali mendarat kencang dipipiku dan detik berikutnya saat dia pergi dari hadapanku, detik selanjutnya sebuah cairan merah mengalir hingga menetes dicelana seragamku.

Cat, please. Stay with me.

***

CAT POV

Suasana musim dingin ditempat ini membuat seluruh tumbuhan diselimuti oleh putihnya salju. Tak ada burung berkicau, semua bersembubyi didalam sarang mencari kehangatan. Tak ada sinar matahari pagi yang menghangatkan setiap harinya. Dan tak ada air yang mengalir. Semua membeku. Seperti hatiku.

Hari ini memasuki hari ke lima aku mengginjakan kaki disini. Semua tampak begitu asing dan.. entahlah. Harus beradaptasi dengan keadaan baru, sekolah baru, teman baru.

Tapi nyatanya, beradaptasi dengan suasana hati saja aku belum bisa sepenuhnya.

Aku duduk disalah satu kursi taman yang berselimutkan salju. Memandang hamparan taman berwarna putih keabu-abuan Sama seperti langit yang berwarna senada, memperingatkan siapa saja yang melihatnya untuk masuk ke dalam rumah mencari kehangatan karena akan datang badai saju segera.

Tapi aku tidak mempedulikannya. Hatiku beku, Pikiranku pun demikian. Aku tidak menikmati kehidupan disini. Tanpa seseorang yang sudah mulai membuatku jatuh padanya.

"Hey Cat! Kamu gila?! Kenapa kamu disini! Ini sangat dingin! Mau mati kamu, hah?"

Ya, aku mau mati. Mematikan perasaanku saat ini.

Orang tersebut mengguncangkan tubuhku dengan kuat, namun aku menatapnya dengan sayu.

"Cat? Can we talk?"

Aku mengangguk lemah.

Dia membawaku ke sebuah cafe dan memesankan dua cangkir coklat hangat. Matanya tetap memandangku, ada rasa iba dibalik pancaran matanya itu.

"Kakak mau bicara apa?" Ucapku dengan lirih. Suaraku hampir tercekat karena tenggorokanku yang kering.

"Ehm... Kakak tau ini berat buat kamu," Katanya tak kalah pelan. "Kakak tau, papi mami mau yang terbaik buat kita.. Bisakah kamu menerima keputusan itu Cat?"

"Tapi.. Baru beberapa hari kami akrab dan kalian sudah memisahkan kami karena perbedaan kasta? ras? agama? Apa..." Ucapku terpotong air mata yang kembali jatuh dipipiku, saat itu juga minuma datang dan memotong pembicaraan kami.

"Apa karena perusahaan papi itu bersaing dengan perusahaan ayah Emir? hah? Kenapa kalian tidak memberikan alasan!" Kataku geram. 

"Kau pasti tahu alasannya, Cat. Aku harap kamu bisa menyikapinya."

"Kak, boleh aku meminta satu permohonan?"

"Apa itu?"

"Bolehkah aku pindah? A-aku.."

"Maksudmu?"

"Aku butuh waktu untuk sendiri, entah sampai kapan. Aku tak mau bertemu kalian untuk sementara waktu ini,"

Kak Natan hanya menatapku seolah-olah berbicara, apa kau serius cat?

"Aku mohon kak, ini permohonanku yang terakhir. Aku janji tak akan bertemu dengan Emir. Percayalah denganku.."

"Maaf, kakak tidak bisa mengambil keputusan sekarang. Kakak akan usahakan Cat.."

Cat membuang muka ke arah jendela, menghela napas yang berat. 

Mungkin saat ini adalah masa-masa terberat dalam hidupnya.

***

Jangan Lupa comment ya guys! :) Isinya bisa tentang:
-Isi hati kamu
-Kritik/saran
-Pesan/kesan
-Atau yang lain juga boleh

Maaf jika terjadi salah kata ya:)
Maaf juga lama banget gak di update
Tapi juli ini diusahain selesai:D
Thanks For Reading!

1 komentar: