Suasana restaurant tempat kami mengadakan acara jamuan makan tampak sederhana, tidak seperti makan malam sebelumnya yang dilakukan di hotel mewah atau restaurant yang elegant. Makan malam kali ini diadakan dipinggir pantai dengan berhiaskan cagak-cagak lampu, lampion yang berada diatas kami dan lilin disetiap mejanya yang menambah kesan romantis ditempat ini. Aku datang dengan teman-temanku.
Tadinya Raven mengusulkan untuk
mengendarai mobil mewah itu sendiri-sendiri namun aku menolaknya. Akhirnya kami
ber empat berangkat dengan mobil Audi yang dikemudikan oleh Andrew, karena
mulai siang tadi Audi tersebut menjadi miliknya selama kami berada di Lombok,
ya… meskipun itu adalah barang pinjaman—
Ohya kemana dia? Aku belum
melihatnya malam ini.
iPhone ku menunjukan pukul 06.58
Ingat. iPhone ku. Bukan pemberian
iPhone Emir.
iPhone pemberiannya dan seluruh
barang mewah itu masih tersimpan rapih pada tas hitam dan mungkin aku akan
mengembalikannya secepatnya.
Tepat pukul 07.00 suara gemuruh
terdengar dari pintu masuk menuju restaurant tepi pantai, aku yakin itu adalah
Emir dengan petinggi yang lain.
Selalu tepat waktu, batinku.
Aku saat ini tengah duduk bersama
Dinda, Andrew dan Raven disalah satu kursi yang sedikit dipinggir dan memojok
karena aku tak ingin bertemu dengannya. Dan benar saja seorang pria berpostur
tubuh tegap dan memiliki rahang yang tegas dengan kemeja hitam dan celana bahan
dengan warna senada memasuki restaurant ini dengan sedikit kalem namun tetap
bisa mengeluarkan aura dinginnya. Oh! Bahkan dia tak sendiri! Disampingnya
seorang wanita berparas manis dan cantik dengan gaun hitam diatas lutut
mendampingi langkahnya. Membawa sebuah Tas yang berwarna hitam pekat dan heels
yang sangat tinggi. Rambutnya yang hitam dan panjang diterpa angin menimbulkan
kesan tak kalahdingin seperti pria yang berada disebelahnya. Dari jalannya aku
bisa mengatakan bahwa ia adalah seorang yang high class. Dan aku…?
Kini aku memandangi gaun yang aku
pakai, gaun merah tua tepat setinggi lututku dan flatshoes.
“Kenapa? Minder?” Tanya Andrew
duduk tepat disampingku.
“Engga lah, dia bukan
siapa-siapaku,” Ucapku yang mendusta pada hatiku sendiri yang merasakan
gelenyar aneh.
Apa? Gelenyar Aneh?
HEY! Apa yang barusan kau katakana Cat! Kau Cemburu?!
Tidak,
Emir langsung berdiri menuju
panggung kecil yang disediakan dan mulai mengucapkan kata sambutan dan
berterimakasih kepada seluruh orang yang telah hadir dalam acara makan malam
kali ini. Ya meskipun aura angkuh dan dinginnya itu masih melekat padanya.
Namun ia sungguh.. Tampan.
Baiklah, mungkin aku butuh
segelas air untuk menjernihkan pikiranku.
Aku berdiri dari kursiku dan
mengambil segelas air putih yang berada tidak jauh dari meja kami. Meneguknya
satu kali, dua kali dan kandas sudah air dalam genggamanku ini.
“Dan, trimakasih ku ucapkan
secara khusus untuk gadis yang berada di pojok sana..” Kata Emir sambil
menunjuk ke arahku?
Hah?
“Ya anda, gadis yang mengenakan
gaun merah maroon.” Lanjutnya.
Hampir seluruh tamu undangan
menatapku saat ini yang masih memegang gelas yang sudah kosong dengan tatapan unconnect.
“Dia adalah Catharine, Nona
Catharine pemimpin dari biro arsitek ART+ yang sangat berjasa akan pembangunan
hotel mewah di Lombok ini,” Kata Emir yang kembali mengambil perhatian para
undangan dan sedetik kemudian terdengar suara tepuk tangan dari orang-orang
itu.
Dengan langkah terburu-buru aku
kembali kemeja ku dan disambut dengan tatapan yang meledek dari teman-temanku.
“Huh, masa pemimpinnya doang yang
disebut namanya.. Kan aku juga mau,” Kata Dinda menggodak
u. “Apa lagi disebut sama yang ganteng ituu..”
u. “Apa lagi disebut sama yang ganteng ituu..”
“ART+ kan juga disebut tadi,”
Sanggahku, kalau aku tak salah dengar tadi dia juga menyebutkan ART+ bukan..?
Bukannya mengiyakan ketiga
temanku itu tersenyum kembali mengejek ku. Suara Emir sudah tidak terdengar
oleh gendang telinga ku yang kini sudah tergantikan dengan alunan music jazz
yang sangat enak didengar. Para tamu undangan sudah boleh menyantap makanan
yang tersedia yang lebih banyak menu jenis seafood disini.
“Din, Cat kalian pergi cari makan
dulu gih nanti aku sama Revan yang ngejagain kursinya biar gak diambil orang,”
Kata Andrew. Aku mengangguk dan langsung pergi berburu makanan bersama Dinda.
Dinda adalah salah satu wanita
yang menjaga pola makannya, dan pada malam-malam seperti ini ia selalu memilih
sayuran dan buah-buahan ketimbang makanan yang mengandung karbohidrat dan
protein. Berbanding terbalik denganku yang tak memandang waktu saat makan,
apalagi makanan seafood seperti ini adalah makanan kesukaan ku.
Sepiring kepiting saus padang,
udang asam manis, kerang lada hitam, cumi bakar dan sepiring nasi telah
memenuhi tangan saat ini dan aku kehilangan Dinda. Dengan bawaan yang sangat banyak ini aku memilih tak mencari
Dinda, toh nanti dia akan kembali kemeja kami.
Sesampainya di meja tempat kami
duduk, aku tak melihat Raven dan Andrew yang tadi berjanji menjaga meja kami. Makanan
didepanku ini sangat terlihat enak dan menggiurkan, sebelum memakan semuanya
seperti biasa aku berdoa. Membuat tanda salib, menutup mata dan mentautkan jari-jariku.
Setelah berdoa selesai, aku
kembali menatap lima piring dihadapanku itu dengan tatapan nanar.
Bisa-bisanya disaat seperti ini aku mengingat masalalu..
-Flashback-
“Kamu mau kemana pagi-pagi gini
mondar-mandir didepan rumah? udah rapih lag? Ini kan hari minggu!” Teriak
seorang laki-laki yang sedang berhenti dengan sepedanya di balik gerbang
rumahku.
“Mau Gereja! Tapi gak tau siapa
yang nganter! Kak Natan udah tiga hari nginep dirumah temennya,” Ucapku.
“Supir mu?” Tanya laki-laki itu
lagi.
“Kemarin sore pamit balik ke
kampungnya saudaranya ada yang meninggal..” Balasku dengan tatapan pasrah.
Mungkin minggu ini aku tidak bisa datang ke Gereja. Maafkan aku Tuhan..
Pandanganku beralih kembali pada
laki-laki yang masih memandangku seperti menimbang-nimbang sesuatu yang aku tak
tahu apa. Ya, laki-laki itu Emir. Sahabatku sejak aku kembali ke Indonesia dan
bersekolah disekolah yang sama dengannya. Laki-laki yang selalu menemaniku
disekolah maupun dirumah. Pagi atau malam aku dapat menjumpainya, bercerita
dengannya, mengungkapkan keluh kesahku selama hari itu atau bahkan hanya duduk
disampingnya saat malam datang sambil melihat bintang dan bulan yang penuh jika
pada saatnya.
“Yaudah tunggu 10 menit ya aku
beres-beres, trus ambil mobil..” Katanya lalu melajukan sepedanya dan hilang
dari pagar pintu rumahkun.
Apa yang ia lakukan 10 menit
lagi? Mengantar ku? Eh dia bukan orang nasrani?
Setelah sepuluh menit aku
menunggu didepan pagar rumah sebuah mobil BMW berwarna putih berhenti tepat
didepan rumahku dan menampilkan wajah Emir dari kaca jendela yang terbuka. Aku
masih bergeming dan masih menerka nerka apa yang akan Emir lakukan.
“Ngapain kamu benggong Cat! Ayo
masuk!” Kata Emir dari dalam kemudi.
Seperti robot, aku masuk ke dalam
mobil itu dan duduk dikursi samping pengemudi.
“Gerejanya arah mana?” Tanyanya
sambil membelokkan mobil ini yang akan keluar dari gerbang perumahan.
“Hah? Ngapain kita ke Gereja?”
Balasku yang terkejut akan pertanyaan Emir.
“Kamu mau Gereja kan?” Emir kembali
bertanya namun kali ini matanya tertuju padaku. Aku mengangguk. “Aduh, kamu tuh
lelet atau gimana sih! Aku anterin kamu ke Gereja!”
“Oh..” Tunggu, “Apa?”
“Nanti aku nunggu di mobil pas
kamu Gereja, sekarang kemana arah ke Gereja?” Kata Emir dengan sedikit geram
dengan tingkahku yang aku akui menjadi lemot..
Aku hanya bisa terkekeh melihat
wajah Emir yang menahan emosinya itu, “Belok kanan, nanti ada perempatan lurus
aja lewatin jalan laying langsung ambil kiri, terus agak kecil sih jalannya
tapi bisa dilewatin mobil. Nanti kamu nunggu di café aja, ada café enak dideket
situ nanti aku tinggal jalan kaki—“
“Stop cat. Biar mobil ini jalan
dulu, baru kamu ngomong lagi. Agak
pusing aku dengernya.”
“IHH! Tadi aku lemot dimarahin,
pas aku cerewet dimarahin juga, gimana sih..” Kataku dengan jutek.
Emir tertawa melihat aku mengeluh
atas sikapnya, lalu perjalanan pun hanya diisi dengan alunan lagu dari radio
mobil ini. Setibanya di depan Gereja yang sudah hampir penuh ini, aku melihat
kearah nakas mobil ini menunjukan pukul delapan lebih lima belas. Masih lima
belas menit lagi, batinku. Kini mataku beralih pada pengemudi mobil ini yang menatap
lurus kearah jalanan padahal mobil ini sudah berhenti seutuhnya.
“Mir?”
“Mmm..” Mtanya tak berpindah dari
jalan raya itu.
Sejak tadi memang aku ingin
menanyakan sesuatu, aku beranikan diri untuk bertanya kepada Emir sekarang.
Kalau bukan sekarang, kapan lagi!
“K-kenapa kamu mau nganter a-ku?
Kan kamu bisa dimain sepeda lagi tadi..”
“Kamu mau berdoa kan?” Ucapnya
dengan matanya yang kini tertuju pada kedua mataku. “Gak ada satu orang pun
yang ngelarang kita buat berdoa, termasuk aku.”
Aku mengangguk dan tersenyum
mendengar perkataan Emir yang memang ada benarnya. Namun aku belum menemukan
alasan yang berkaitan dengan pertanyaanku itu. “Lalu?”
“Aku tau kamu mau berdoa dan ada
masalahnya, kalau aku bisa bantu. Kenapa engga?” Kini senyum yang manis merekah
dari bibir Emir yang menampilkan dereta giginya yang rapih.
“Tuhan itu satu, Cat. Cuma.. kita
yang beda.” Ucapan yang sederhana melunjur dengan twebata-bata dari bibir Emir yang
sudah tidak menampilkan senyuman manisnya itu. Senyumku pun hilang seketika.
Hanya keheningan diantara tautan
mata kami yang tidak ingin melepaskan satu sama lain, namun hati ini tak
sanggup lagi melihatnya, melihat matanya yang menyiratka terdapat luka disana.
“ehm,” Aku mencoba mencairkan
suasana hatiku yang sedang kalut ini. “Aku masuk dulu, sepertinya sebentar lagi
dimulai.”
Aku menyiapkan tasku dan membuka
pintu mobil mewah ini, sebelum sempat aku menutupnya Emir berkata sesuatu.
“Aku tunggu di café yang katamu
Enak itu ya, bawel!” Pesan Emir yang sudah kembali ceria dan dengan senyum
sumringah. Seperti tidak terjadi apa-apa beberapa menit yang lalu.
Aku mengangguk pelan, hanya
senyum kecut yang aku berikan kepadanya sebelum aku berbalik badan dan memasuki
Area Gereja ini.
***
Setelah aku menggigit cumi bakarku yang tersisa dipinggir, tidak ada yang menyuruh, tiba-tiva Emir beranjak dari kursinya. Aku hanya bisa melihatnya dengan tatapan tak mengerti dengan pria yang satu itu.
Ada rasa senang ketika akhirnya Emir pergi setelah puas melihat aku makan berbagai macam hidangan seafood tadi. Meskipun aku tak tahu motif apa yang melatar belakangi keluakuan Emir itu. Namun ada sesuatu yang janggal saat dia pergi..
Cumi itu sudahaku telan, dan aku mencari-cari minum diatas meja ini namun nihil. Mengingat-ingat saat aku membawa makanan sebanyak itu dengan kedua tanganku yang sudah penuh, ternyata aku melupakan minum.
Aku pun berdiri dari kursi dan pada saat yang sama ternyata Emir sudah berada disampingku dengan kedua tangannya membawa gelas. Hampir saja aku menabraknya dan gelas itu akan menumpahi pakain kami berdua. Dengan postur tubuhnya seperti kebanyakan pengusaha sukses diusia muda, tinggi, dada yang bidang, bahu yang terlihat kokoh dari balik pakaiannya, dia menutupi jalan untuk niatanku mengambil minum tadi. Kini dia menyodorkan segelas air putih. Padahal tadi aku ingin mengambil cocktail.
"Setelah makan seafood lebih baik minum yang netral," Katanya sambil tersenyum simpul ke arahku seperti dia tau apa yang aku inginkan.
Sementara wajahku yang dengan susah payah ku kontrol supaya menampilkan wajah datar, hanya mengangguk pasrah dan duduk ditempatku tadi setelah menerima gelas tersebut.
Mataku menangkap gelas yang ia bawa berwarna merah dengan beberapa buah-buahan didalamnya. Dan aku sangat yakin itu adalah cocktail meskipun aku tak tahu kadar alkoholnya seberapa banyak. Namun, kenapa dia meminumnya?! Tidak adil!
"ehm." aku berusaha menyiapkan suaraku supaya tidak terdengar seperti anak ayam terjepit. "Kenapa anda meminum minuman berakohol tuan? Bukannya tadi anda berkata setelah makan seafood lebih baik minum yang netral,"
Dia meliriku sekilas namun kembali terfokus mengaduh-aduk minumannya itu. Sementara aku menatapnya tajam untuk menintimidasi, namun gagal. Pandangan mataku tidak seperti elang, tidak seperti pria didepanku ini. Yang hanya dengan melirik saja sudah membuat wanita bertekuk lutut. Kecuali. Aku.
"Saya tidak makan seafood," Ucapnya dengan lancar. Rasa malu itu pun segera menyergap hati danpikiranku. "Saya tidak suka," Lanjutnya.
Oh. Dan bagaimana bisa ia melupakan hal itu! Saat SMA dulu aku memaksanya untuk menemaniku makan dirumah makan seafood dan saat ia baru mengunyuah beberapa cumi, wajahnya menjadi merah, setelah aku baru menyadari bahwa ia alergi.
"Ma--"af
Dia meliriku sekilas dan aku kembali menutup mulutku yang akan mengatakan maaf untuknya. Bagaimana pun juga ia adalah boss ku, boss besarku yang bisa kapan sajamemecatku jika aku melakukan tindakan yang kelewat tidak sopan. Tapi toh aku harus pura-pura tidak tahu kalau dia tidak menyukai seafood.
"Lalu anda makan malam dengan apa?" Tanyaku karena sudah kehabisan kata-kata.
Loh. Kok aku jadi sok perhatian gini sih?!
"Pudding, buah, selad, dan ini" Balasnya sambil mengangkat sedikit gelas coktail yang dibawanya.
Bibirku membentuk huruf O kecil dan mengucapkannya pelan. Aku tidak boleh terlihat memberi perhatian padanya!
"Bukankah anda dapat menyajikan makanan eropa dengan chef asli yag diimpor dari asalnya? Makan malam ini acara anda, Kenapa anda menyajikan makanan seafood yang anda tidak suka? " Kataku dengan nada menyindir. Namun wajahnya masih tetap tenang seperti sudah terbiasa menerima perkataan sinis dari lawan bicaranya.
"ya benar kata anda, pertama saya bisa saja meminta masakan eropa tersaji dimeja itu sekarang juga. Kedua, acara makan malam ini milik saya, namun bukan untuk saya. Ketiga, karena saya tahu wanita yang menjadi alasan mengapa makan malam ini terselenggarakan, sangat menyukai seafood. Terakhir, saya rasa wanita itu belum menyadarinya."
Aku menelan ludah setelah Emir berhasil menyelesaikan kalimatnya yang penuh dengan penekanan disetiap katanya. Lebih dari cukup aku sudah kalah telak darinya. Dan bukan aku tidak sadar, bahwa wanita itu adalah aku.
Kini aku hanya bisa diam seribu bahasa menatap gelas pemberiannya yang sudah tandas. Aku tak tahu apa yang ia lakukan karena aku terlalu menundukan kepalaku sehingga tidak bisa melihat secara luas.
"Temani saya menghadapi para tamu undangan itu," Katanya dengan nada diktatornya.
"Bagaimana kalau saya tidak mau?" Aku berusaha setenang mungkin meredamkan emosi yang sudah mulai naik sejak ia memandangiku terus menerus saat aku makan tadi.
"Aku kira masalah kontraktor dan pembangunan adalah tugas anda, anda dibayar untuk itu bukan,"
Sabar Cat.. Semua pasti indah pada waktunya..
Aku berdiri dan merapihkan sedikit dress dan rambutku yang sengara ku urai. Emosiku harus ku redam segera sebelum bertemu dengan para tamu undangan yang pasti akan menanyakan tentang pembangunan hotel tersebut beserta detailnya.
Sekitar dua jam sudah aku menanggapi pertanyaan dari tamu undangan itu. Pertanyaan yang bertubi-tubi meskipun tidak terlalu susah untuk menjawabnya namun aku sedikit kewalahan. Satu persatu dari mereka pun meninggalkan acara makan malam ini, hanya meninggalkan segelintir orang saja. Aku berjalan kembali ke meja kami dan akhirnya aku menemukan mereka bertiga tengah duduk ditempat itu. Aku pun duduk diantara mereka.
"Aku lelah," Tanpa sadar aku mengucapkan itu ketika berada diantara mereka.
"Dari mana saja kau?" Tanya Dinda.
"Berbicara dengan para tamu undangan,"
Dinda hanya mengangguk membalas jawabanku.
Entah mengapa suasana menjadi canggung seperti ini, biasana Andrew dan Dinda membicarakan sesuatu yang tak penting namun dapat menjadi bahan ketawa kami. Namun aku tak mengerti ada apa dengan mereka.
"Kapan kita kembali ke penginapan?" Tanyaku mencoba mencairkan suasana.
Bukan sebuah jawaban yang aku terima namun mereka hanya saling memandang seperti mencari jawaban.
"Sebentar lagi," Kata salah satu dari mereka.
"Yuk," Aku pun beranjak dari kursiku.
"Maaf nona, biarkan mereka kembali. Nanti biar saya yang akan mengantar anda,"
Aku memutar bola mataku kesal. Suara itu berasal tepat dibelakang ku, membuat aku harus berbalik dan kini mata abu-abu itu menatapku lekat.
"Beri saya alasan, mengapa saya harus mengikuti perintah anda, tuan diktator?"
Sudut bibirnya terangkat kecil. "Karena urusan kita belum selesai,"
Aku berbalik dan melihat mereka bertiga menatapku seperti sedang menonton sebuah drama.
"Kalian pulang saja duluan,"
Kini Raven menaikkan alisnya seperti menanyakan keseriusanku berkata seperti itu.
"Aku akan baik-baik saja," Kataku langsung beralik dan menyingkir dari hadapan Emir berjalan entah kemana.
Suara sepatu Emir terdengar mengikutiku dari belakang, beberapa saat kemudian ia telah berada disampingku dan aku merasakan sebuah tangan bertengger dipinggangku. Aku yakin itu pasti tangannya.
"Lepaskan." kataku dengan geram.
"Apa?"
"Tanganmu!"
"Bisakah anda bersikap sopan didepan boss?"
Oke. Dia sudah menyangkut jabatan dan aku tidak bisa berkutit.
Ada rasa aneh yang aku rasakan ketika berdekatan dengannya. Pada saat yang bersamaan dia dapat membuatku darah tinggi, namun, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku.. Merindukan Emir yang dulu. Yang kalem, ramah, friendly.. Berbeda dengan yang sekarang.
Kringkring..
Tanganku merogoh clutch untuk menambil handphone yang baru saja berdering.
Raskal is Calling.
Kringkring..
Saat aku membaca nama itu aku merasakan tubuh ini menjadi lemas seketika. Aku tidak menghubunginya sejak beberapa hari yang lalu karena pekerjaan ini dan saat ini dia menelpon pada saat aku berada disebelah Emir, pasti ia akan curiga..
"Sini biar aku yang angkat." Kata Emir yang langsung menyambar iPhone yang tadinya berada ditanganku. Aku ingin mengambilnya lagi namun Emir sudah menyentuh layar berwarna hijau dan dia mengisyaratkan aku untuk diam.
"Selamat malam,"
"Saya Bossnya, tadi handphone calon istri anda tertinggal dimeja. Saat saya ingin mengembalikan anda menelpon." Kata Emir dengan penekanan pada kata calon istri anda.
"Saya tidak melihatnya saat ini,"
"Ya, nanti saya beritahu."
Sambungan telepon pun putus, bukannya mengembalikan iPhoneku dia malah memasukan ke kantong celananya. Aku tak mengerti apa yang ia lakukan.
"Mau kau apakan handphoneku?!"
"Kenapa kau tidak menggunakan barang yang ku beri?" Dia membalasku dengan pertanyaan lagi. Aku sangat tidak suka saat aku bertanya pada lawan bicara dan dia membalasnya dengan pertanyaan lagi.
"Tidak usah mengalihkan pertanyaan!"
"Aku tidak mengalihkan pertanyaan, aku hanya bertanya.." Ucapnya santai.
"Jawab pertanyaanku, Boss besar Emir Mahira sang diktator!"
Dia terkekeh mendengar perkataanku. "Barang ini aku sita, sebagai hukuman karna kau tidak menggunakan barang pemberianku."
"Aku tidak mau menggunakan barang apapun yang kau beri! Barang-barangku masih layak digunakan!"
"Tapi barang mu digunakan untuk membangun Hotelku bukan? Aku ingin apapun yang menyangkut hotel beserta rumahku dibuat dengan peralatan canggih, termasuk barang-barangmu."
"Tapi tidak ada hubungannya!"
"Apa aku harus menyita seluruh -barangmu supaya kau mau menggunakan barang pemberianku?"
"Siapa kau berani mengambil barangku?"
Dia tersenyum mengejek.
Cat, kau salah bicara.
"Boss besar Emir Mahira sang diktator." Katanya seperti apa yang aku bilang beberapa menit yang lalu.
Sial.
Aku hanya bisa memaki dalam hati. Mengapa aku selalu bisa dikalahkan olehnyaa!
Sudah lebih dari satu jam tidak ada satupun dari kita berbicara, sedari tadi Emir berbincang dengan kolega bisnisnya sementara aku hanya berdiri disampingnya dan terkadang ikut tersenyum jika mereka tertawa, padahal aku tak mengerti apa yang mereka tertawakan. Sampai akhirnya restaurant ini benar-benar sudah sepi dari para tamu, Emir berbicara pada seorang berpakaian serba hitam.
"Siapkan veyron." Kata Emir dan lawan bicaranya langsung mengangguk patuh.
Emir berjalan ke arah pintu keluar dan aku mengikutinya, aku tak ingin bertanya apa yang akan kita lakukan setelah ini. Lebih dari cukup aku berbaik hati mengikuti kemana pun dia mau.
Setibanya di lobby restaurant ini sebuah mobil mengkilap berwarn hitam memasuki pelataran, seorang yang bisa kubilang suruhan Emir keluar dari kursi pengemudi.
Dan saat aku melihat plat mobil tersebut, tercetak MHR dibelakangnya.
Semua plat berakhiran MHR pasti mobil mewah, batinku.
"Masuklah," Katanya. Bukan, suruhnya kepada ku.
Tanpa menolak aku duduk dikursi depan samping pengemudi. Ya mau duduk dimana lagi, hanya ada dua kursi disini. Emir mengemudikan mobil ini dengan kecepatan sedang, hanya suara mesin mobil begitu halus yang bisa aku dengar.
Aku tak begitu menghafal jalan dari penginapan menuju restaurant tadi, sehingga aku tak tahu kemana Emir akan membawaku. Yang saat ini ku ketahui baru saja kami melewati sebuah plang bertulisan Pantai Permai, tempat penginapanku. Kami melewati lobby dan mobil ini terparkir didalam garasi sebuah penginapan berbentuk rumah sama seperti penginapan ku namun lebih kecil dan terlihat lebih mewah.
Emir mematikan mesin mobilnya, tatapannya lurus kedepan.
"Bisa kah kita berbicara?"
Akhirnya ia lah yang memulai percakapan diantara kami setelah hampir lima menit kami hanya duduk dengan diam.
"Bicara lah," Balasku.
“Kamu tidak akan kenyang hanya
dengan memandang makanan,”
“Eh, i-ya..” Aku kegalapan
mengembalikan konsentrasiku.
Tangan kananku kini siap menyendokan
udang asam manis, sebelum aku tersadar bahwa pemilik suara itu kini sedang
melihatku dan tersenyum simpul. Dan yang membuatku semakin terkejut, orang itu
adalah boss ku sendiri yang duduk berhadapan denganku. Napsu makanku sedikit
terganggu karena acara mengingat masalalu
nya ditambah dia dari masalalu itu datang menjadi kenyataan.
“Makanmu banyak juga ya,”
Kalimat itu mengandung dua makna,
pertama mengejek. Kedua menyindir.
Aku hanya tersenyum kecut tanpa
menatap wajahnya dan melanjutkan santapanku yang kurang menarik lagi kini.
Tetapi ia tidak bosan-bosannya berhenti memandangku seperti aku ini terroris
yang diburu dan tidak boleh lepas dari pengawasan. Ah lupakan.
Ada rasa senang ketika akhirnya Emir pergi setelah puas melihat aku makan berbagai macam hidangan seafood tadi. Meskipun aku tak tahu motif apa yang melatar belakangi keluakuan Emir itu. Namun ada sesuatu yang janggal saat dia pergi..
Cumi itu sudahaku telan, dan aku mencari-cari minum diatas meja ini namun nihil. Mengingat-ingat saat aku membawa makanan sebanyak itu dengan kedua tanganku yang sudah penuh, ternyata aku melupakan minum.
Aku pun berdiri dari kursi dan pada saat yang sama ternyata Emir sudah berada disampingku dengan kedua tangannya membawa gelas. Hampir saja aku menabraknya dan gelas itu akan menumpahi pakain kami berdua. Dengan postur tubuhnya seperti kebanyakan pengusaha sukses diusia muda, tinggi, dada yang bidang, bahu yang terlihat kokoh dari balik pakaiannya, dia menutupi jalan untuk niatanku mengambil minum tadi. Kini dia menyodorkan segelas air putih. Padahal tadi aku ingin mengambil cocktail.
"Setelah makan seafood lebih baik minum yang netral," Katanya sambil tersenyum simpul ke arahku seperti dia tau apa yang aku inginkan.
Sementara wajahku yang dengan susah payah ku kontrol supaya menampilkan wajah datar, hanya mengangguk pasrah dan duduk ditempatku tadi setelah menerima gelas tersebut.
Mataku menangkap gelas yang ia bawa berwarna merah dengan beberapa buah-buahan didalamnya. Dan aku sangat yakin itu adalah cocktail meskipun aku tak tahu kadar alkoholnya seberapa banyak. Namun, kenapa dia meminumnya?! Tidak adil!
"ehm." aku berusaha menyiapkan suaraku supaya tidak terdengar seperti anak ayam terjepit. "Kenapa anda meminum minuman berakohol tuan? Bukannya tadi anda berkata setelah makan seafood lebih baik minum yang netral,"
Dia meliriku sekilas namun kembali terfokus mengaduh-aduk minumannya itu. Sementara aku menatapnya tajam untuk menintimidasi, namun gagal. Pandangan mataku tidak seperti elang, tidak seperti pria didepanku ini. Yang hanya dengan melirik saja sudah membuat wanita bertekuk lutut. Kecuali. Aku.
"Saya tidak makan seafood," Ucapnya dengan lancar. Rasa malu itu pun segera menyergap hati danpikiranku. "Saya tidak suka," Lanjutnya.
Oh. Dan bagaimana bisa ia melupakan hal itu! Saat SMA dulu aku memaksanya untuk menemaniku makan dirumah makan seafood dan saat ia baru mengunyuah beberapa cumi, wajahnya menjadi merah, setelah aku baru menyadari bahwa ia alergi.
"Ma--"af
Dia meliriku sekilas dan aku kembali menutup mulutku yang akan mengatakan maaf untuknya. Bagaimana pun juga ia adalah boss ku, boss besarku yang bisa kapan sajamemecatku jika aku melakukan tindakan yang kelewat tidak sopan. Tapi toh aku harus pura-pura tidak tahu kalau dia tidak menyukai seafood.
"Lalu anda makan malam dengan apa?" Tanyaku karena sudah kehabisan kata-kata.
Loh. Kok aku jadi sok perhatian gini sih?!
"Pudding, buah, selad, dan ini" Balasnya sambil mengangkat sedikit gelas coktail yang dibawanya.
Bibirku membentuk huruf O kecil dan mengucapkannya pelan. Aku tidak boleh terlihat memberi perhatian padanya!
"Bukankah anda dapat menyajikan makanan eropa dengan chef asli yag diimpor dari asalnya? Makan malam ini acara anda, Kenapa anda menyajikan makanan seafood yang anda tidak suka? " Kataku dengan nada menyindir. Namun wajahnya masih tetap tenang seperti sudah terbiasa menerima perkataan sinis dari lawan bicaranya.
"ya benar kata anda, pertama saya bisa saja meminta masakan eropa tersaji dimeja itu sekarang juga. Kedua, acara makan malam ini milik saya, namun bukan untuk saya. Ketiga, karena saya tahu wanita yang menjadi alasan mengapa makan malam ini terselenggarakan, sangat menyukai seafood. Terakhir, saya rasa wanita itu belum menyadarinya."
Aku menelan ludah setelah Emir berhasil menyelesaikan kalimatnya yang penuh dengan penekanan disetiap katanya. Lebih dari cukup aku sudah kalah telak darinya. Dan bukan aku tidak sadar, bahwa wanita itu adalah aku.
Kini aku hanya bisa diam seribu bahasa menatap gelas pemberiannya yang sudah tandas. Aku tak tahu apa yang ia lakukan karena aku terlalu menundukan kepalaku sehingga tidak bisa melihat secara luas.
"Temani saya menghadapi para tamu undangan itu," Katanya dengan nada diktatornya.
"Bagaimana kalau saya tidak mau?" Aku berusaha setenang mungkin meredamkan emosi yang sudah mulai naik sejak ia memandangiku terus menerus saat aku makan tadi.
"Aku kira masalah kontraktor dan pembangunan adalah tugas anda, anda dibayar untuk itu bukan,"
Sabar Cat.. Semua pasti indah pada waktunya..
Aku berdiri dan merapihkan sedikit dress dan rambutku yang sengara ku urai. Emosiku harus ku redam segera sebelum bertemu dengan para tamu undangan yang pasti akan menanyakan tentang pembangunan hotel tersebut beserta detailnya.
Sekitar dua jam sudah aku menanggapi pertanyaan dari tamu undangan itu. Pertanyaan yang bertubi-tubi meskipun tidak terlalu susah untuk menjawabnya namun aku sedikit kewalahan. Satu persatu dari mereka pun meninggalkan acara makan malam ini, hanya meninggalkan segelintir orang saja. Aku berjalan kembali ke meja kami dan akhirnya aku menemukan mereka bertiga tengah duduk ditempat itu. Aku pun duduk diantara mereka.
"Aku lelah," Tanpa sadar aku mengucapkan itu ketika berada diantara mereka.
"Dari mana saja kau?" Tanya Dinda.
"Berbicara dengan para tamu undangan,"
Dinda hanya mengangguk membalas jawabanku.
Entah mengapa suasana menjadi canggung seperti ini, biasana Andrew dan Dinda membicarakan sesuatu yang tak penting namun dapat menjadi bahan ketawa kami. Namun aku tak mengerti ada apa dengan mereka.
"Kapan kita kembali ke penginapan?" Tanyaku mencoba mencairkan suasana.
Bukan sebuah jawaban yang aku terima namun mereka hanya saling memandang seperti mencari jawaban.
"Sebentar lagi," Kata salah satu dari mereka.
"Yuk," Aku pun beranjak dari kursiku.
"Maaf nona, biarkan mereka kembali. Nanti biar saya yang akan mengantar anda,"
Aku memutar bola mataku kesal. Suara itu berasal tepat dibelakang ku, membuat aku harus berbalik dan kini mata abu-abu itu menatapku lekat.
"Beri saya alasan, mengapa saya harus mengikuti perintah anda, tuan diktator?"
Sudut bibirnya terangkat kecil. "Karena urusan kita belum selesai,"
Aku berbalik dan melihat mereka bertiga menatapku seperti sedang menonton sebuah drama.
"Kalian pulang saja duluan,"
Kini Raven menaikkan alisnya seperti menanyakan keseriusanku berkata seperti itu.
"Aku akan baik-baik saja," Kataku langsung beralik dan menyingkir dari hadapan Emir berjalan entah kemana.
Suara sepatu Emir terdengar mengikutiku dari belakang, beberapa saat kemudian ia telah berada disampingku dan aku merasakan sebuah tangan bertengger dipinggangku. Aku yakin itu pasti tangannya.
"Lepaskan." kataku dengan geram.
"Apa?"
"Tanganmu!"
"Bisakah anda bersikap sopan didepan boss?"
Oke. Dia sudah menyangkut jabatan dan aku tidak bisa berkutit.
Ada rasa aneh yang aku rasakan ketika berdekatan dengannya. Pada saat yang bersamaan dia dapat membuatku darah tinggi, namun, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku.. Merindukan Emir yang dulu. Yang kalem, ramah, friendly.. Berbeda dengan yang sekarang.
Kringkring..
Tanganku merogoh clutch untuk menambil handphone yang baru saja berdering.
Raskal is Calling.
Kringkring..
Saat aku membaca nama itu aku merasakan tubuh ini menjadi lemas seketika. Aku tidak menghubunginya sejak beberapa hari yang lalu karena pekerjaan ini dan saat ini dia menelpon pada saat aku berada disebelah Emir, pasti ia akan curiga..
"Selamat malam,"
"Saya Bossnya, tadi handphone calon istri anda tertinggal dimeja. Saat saya ingin mengembalikan anda menelpon." Kata Emir dengan penekanan pada kata calon istri anda.
"Saya tidak melihatnya saat ini,"
"Ya, nanti saya beritahu."
Sambungan telepon pun putus, bukannya mengembalikan iPhoneku dia malah memasukan ke kantong celananya. Aku tak mengerti apa yang ia lakukan.
"Mau kau apakan handphoneku?!"
"Kenapa kau tidak menggunakan barang yang ku beri?" Dia membalasku dengan pertanyaan lagi. Aku sangat tidak suka saat aku bertanya pada lawan bicara dan dia membalasnya dengan pertanyaan lagi.
"Tidak usah mengalihkan pertanyaan!"
"Aku tidak mengalihkan pertanyaan, aku hanya bertanya.." Ucapnya santai.
"Jawab pertanyaanku, Boss besar Emir Mahira sang diktator!"
Dia terkekeh mendengar perkataanku. "Barang ini aku sita, sebagai hukuman karna kau tidak menggunakan barang pemberianku."
"Aku tidak mau menggunakan barang apapun yang kau beri! Barang-barangku masih layak digunakan!"
"Tapi barang mu digunakan untuk membangun Hotelku bukan? Aku ingin apapun yang menyangkut hotel beserta rumahku dibuat dengan peralatan canggih, termasuk barang-barangmu."
"Tapi tidak ada hubungannya!"
"Apa aku harus menyita seluruh -barangmu supaya kau mau menggunakan barang pemberianku?"
"Siapa kau berani mengambil barangku?"
Dia tersenyum mengejek.
Cat, kau salah bicara.
"Boss besar Emir Mahira sang diktator." Katanya seperti apa yang aku bilang beberapa menit yang lalu.
Sial.
Aku hanya bisa memaki dalam hati. Mengapa aku selalu bisa dikalahkan olehnyaa!
Sudah lebih dari satu jam tidak ada satupun dari kita berbicara, sedari tadi Emir berbincang dengan kolega bisnisnya sementara aku hanya berdiri disampingnya dan terkadang ikut tersenyum jika mereka tertawa, padahal aku tak mengerti apa yang mereka tertawakan. Sampai akhirnya restaurant ini benar-benar sudah sepi dari para tamu, Emir berbicara pada seorang berpakaian serba hitam.
"Siapkan veyron." Kata Emir dan lawan bicaranya langsung mengangguk patuh.
Emir berjalan ke arah pintu keluar dan aku mengikutinya, aku tak ingin bertanya apa yang akan kita lakukan setelah ini. Lebih dari cukup aku berbaik hati mengikuti kemana pun dia mau.
Setibanya di lobby restaurant ini sebuah mobil mengkilap berwarn hitam memasuki pelataran, seorang yang bisa kubilang suruhan Emir keluar dari kursi pengemudi.
Dan saat aku melihat plat mobil tersebut, tercetak MHR dibelakangnya.
Semua plat berakhiran MHR pasti mobil mewah, batinku.
"Masuklah," Katanya. Bukan, suruhnya kepada ku.
Tanpa menolak aku duduk dikursi depan samping pengemudi. Ya mau duduk dimana lagi, hanya ada dua kursi disini. Emir mengemudikan mobil ini dengan kecepatan sedang, hanya suara mesin mobil begitu halus yang bisa aku dengar.
Aku tak begitu menghafal jalan dari penginapan menuju restaurant tadi, sehingga aku tak tahu kemana Emir akan membawaku. Yang saat ini ku ketahui baru saja kami melewati sebuah plang bertulisan Pantai Permai, tempat penginapanku. Kami melewati lobby dan mobil ini terparkir didalam garasi sebuah penginapan berbentuk rumah sama seperti penginapan ku namun lebih kecil dan terlihat lebih mewah.
Emir mematikan mesin mobilnya, tatapannya lurus kedepan.
"Bisa kah kita berbicara?"
Akhirnya ia lah yang memulai percakapan diantara kami setelah hampir lima menit kami hanya duduk dengan diam.
"Bicara lah," Balasku.
"Seperti dulu,"
Keningku berkerut, tidak mengerti arah bicara kita akan dibawa kemana olehnya.
Emir keluar dari mobil aku hanya melihatnya dari dalam dan ia berjalan keluar garasi ini, karena aku tidak tahu harus berbuat apa aku memutuskan untu keluar dan mencari Emir. Ternyata ia sudah jauh didepan. Kami melewati jalan kecil disamping penginapan ini yang langsung menuju pantai yang terlihat gelap dan sepi. Aku yakin pantai milik penginapan ini tidak untuk umum, karena aku tak melihat banyak pengunjung sedari tadi siang.
Aku terus mengikuti Emir yang sudah hampir sampai pada bibr pantai. Ia berhenti disitu dengan tatapan yang tak dapat aku artikan, menatap ombak yang tak pernah diam, menimbulkan suara yang beraturan dan terdengar indah ditelinga.
"Mengapa kau bisa berubah suasana hati begitu cepat?" Aku menyerah, aku tak tahan dengan suasana canggung dan hening seperti ini. Emir menatapku seakan-akan ia tak mengerti apa yang aku tanyakan.
"Ya, kadang kau seperti diktator dan rentenir hutang yang bersikap sangat kasar dan bossy. Tapi kau juga dapat bersikap baik dan perhatian, dan sekarang kau bersikap seperti remaja setelah putus cinta. Selalu merenung, menatap kosong kedepan dan aku merasa aku percuma berada di dekatmu kalau kau selalu menganggapku tak ada!"
Aku menyelesaikan kalimat yang sangat panjang, namun ia masih memandangku kosong.
***
Jangan Lupa comment ya guys! :) Isinya bisa tentang:
-Isi hati kamu
-Kritik/saran
-Pesan/kesan
-Atau yang lain juga boleh
Maaf jika terjadi salah kata ya:)
Maaf juga lama banget gak di update
Tapi juli ini diusahain selesai:D
Thanks For Reading!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar