Jumat, Juni 27, 2014

Take Me Home - Two - ELS: Little Things



"Your hand fits in mine
Like it's made just for me
But bear this in mind
It was meant to be.."

 

Sore ini mentari tak lagi memancarkan sinarnya. Awan mendung menyelimuti atmosfer di kota Bandung. Aku duduk sendirian disebuah taman didekat parkir mobil, melihat mahasiswa atau pun mahasiswi berlarian menuju kendaraan masing-masing dan ingin cepat pulang kerumah, supaya mereka tak terkena imbas dari awan hitam ini, hujan. 

Oh ya, aku suka hujan, memberi asupan nutrisi untuk pohon-pohon, tetapi bukan untuk kali ini. Aku resah dengan hujan ini. Sudah hampir dua jam aku duduk terdiam disini menunggu sebuah mobil Porsche berwarna putih menghampiriku dan tiba-tiba seseorang keluar dari mobil itu untuk membukakan pintunya untukku. Tetapi kemana dia?

"Nataline?" dia mendekat kearahku. "Ternyata lo kuliah disini juga?"

Seorang laki-laki dengan kaos merah keluaran bloods dan celana jeans panjang serta tas selempang yang ia gantungkan dibahunya yang bidang menghampiriku. 


Sepertinya aku kenal. Tapi siapa ya?

"Lupa sama gue?"

Aku membalasnya dengan anggukan. Sedetik kemudian dia mengangkat tangannya meminta untuk bersalaman. Maka aku balas salamannya itu. 

"Ambrossius Felix Hantara, bocah yang pernah, mau, nganter pulang Briggite Nataline di Soeta setelah pulang dari pulau dewata untuk farewell party. Sebelum Emir Mahira datang menghancurkan semuanya." Jelasnya dengan setiap penekanan di anak kalimat. Membuat bulu harusku dileher seperti ada magnet yang mengikatnya. 

"Oh.. Felix?" Hanya itu yang bisa aku katakan. Dia mengangguk. 

"Mana pangeran lo itu?" Tanyanya sambil mencari sosok laki-laki berambut spike tersebut. 

"Belom dateng..." Balasku polos

"Bener firasat gue. Dari pada gadis semanis lo kena badai disini, mending balik sama gue." Balasnya sambil mengeluarkan sebuah kunci mobil dan menekannya. Sebuah mobil sport Toyota FT1 mewah berwarna merah berbunyi yang terparkir tak jauh dari tempatku berdiri. 

"Makasih, Felix. Tapi aku udah ada janji sama Emir, kita mau ke Jakarta." Kataku mencoba untuk ramah. 

"Tapi gue boleh menemin lo kan nunggu bocah ngaretan itu?" 

Aku tidak bisa menolak. Tidak ada alasan untuk permohonannya itu. Lagi pula, hanya mengobrol sedikit. Tak apa lah

"Starbucks ya? Gue aus nih." Katanya sambil memasang wajah memohon. "Gue traktir..”

Kami berjalan menuju mobil sport mewah tersebut. Meskipun jarak antara parkiran ini dengan tempat tujuan kita tak terlalu jauh. Tetapi, badai mungkin akan menerbangkan kita bila kami tetap nekat berjalan. Dalam perjalanan aku mengirimkan pesan untuk Emir. 







To: Emir Mahira

Emir, aku tunggu di starbucks ciwalk. Asap mir :) 

Mobil toyota ini keluar dari area kampus dan masuk daerah Mall Ciwalk. Tanpa berputar-putar kami langsung duduk di salah satu bangku starbucks coffee. 

Felix memesan Vanilla Macchiato sementara aku Cotton Candy Frape. Benar katanya, aku tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk diduduk ditempat ini. 

"Lo ambil jurusan apa Nat?" Tanyanya memulai pembicaraan. 

"Teknik Arsitektur, maunya desain interior.."

"Pantes. Sesuai dengan minat lo kan?" katanya. Aku hanya mengangguk. 

"Kalo lo apa?" Tanya aku basa basi sambil memainkan sedotan pada minumanku. 

"Sipil." Jawabnya singkat. Sepertinya dia tau kalau aku hanya basa-basi. 

Keheningan menyelimuti pembicaraan kita kali ini ditengah hujan yang mulai menderas diiringi angin dimana-mana. Sepertinya salah aku mengambil tawaran ini. Aku hanya menjadi patung ditempat ini. Felix memainkan iphonenya sesekali melihat lingkungan sekitar. Sementara aku memainkan Galaxy Note 3 Neo ku untuk menghubungi Emir. Tetapi tak ada sautan. Aku coba bbm, whatsapp, message, tapi tetap tak ada balasan. Aku bingung. Kemana dia?

"Argh..!" Geramanku mulai stress. 

Felix memalingkan pandangan heran ke arahku. "Kenapa? Sampe mana dia?" 

Aku menggeleng tak pasti



Zrt.. Zrt.. Zrt..

You got 5 messages. 

Oh shit.
 
Emir membuka pesan paling baru di iphone yang sekarat karena baterai yang tersisasatu bar. Pertemuan mendadak senat tadi membuat Emir harus pulang lebih. 


From: Nataline

Emir, aku tunggu di starbucks ciwalk. Asap mir :)

Nataline ke Starbucks? Tumben. Biasanya gue ajak ke sana alasannya gak suka nongkrong. Hah. 

Mobil Porsche putih yang dikendarai Emir masih berkutat dengan kemacetan di jalan bebas hambatan menuju Bandung. Beberapa menit kemudian, akhirnya mobil ini berhasil menemukaan parkir lahan parkir yang padat. 

Emir langsung menyambar iphonenya dari dashboard mobil dan berlari kecil menuju starbucks coffee yang berada lumayan jauh dari pintu parkir. 

Aduh, pasti Nataline udah nunggu lama banget. Ngapain dia ke sini? Naik  apa? Gimana kalo dia keujanan? Gimana kalo dia sakit besok waktu ujian semester? Hah. Bego lo Mir. 

Kalimat itu yang selalu ada dipikiran Emir selama diperjalanan. Ia membuka pintu starbucks dan matanya  langsung tertuju pada Nataline yang sedang memainkan Note-nya. Dengan seorang... Laki-laki? Siapa?

Nataline mengadahkan kepalanya ke atas, mata mereka saling bertemu. Emir menghampirinya dan Nataline berdiri dari tempat duduk membuat laki-laki itu menoleh kebelakang. 

Shit. Felix? Ngapain brandalan itu disini?

"Felix, Emir udah dateng.. Aku duluan ya.." kata Nataline kepada Felix yang membuat raut wajahnya berubah. 

"Hey! Emir! Lama gak ketemu kita bro!" Dia menyalami tangan gue. Tiba-tiba Felix berubah ramah, sarap ni anak. "Sorry tadi gue ngajak Nataline kesini. Dari pada keujanan.."

"Iya, woles Fel." Kata gue berusaha ramah. Meskipun gue selalu naik darah setiap ngeliat dia. Tapi didepan Nataline gue harus berubaha bersikap cuek. Nothing happen. "Nat, pulang sekarang?" 

"Gak mau ngopi dulu mir?" Tanya Felix. "Gue bayarin deh.”

Lo mau bayarin gue? Gak sudi banget gue minum pake duit lo Fel.

"Sorry, gue udah ngopi." Kata Emir berusaha untuk tidak berulah ditempat umum seperti ini.
"Yuk Mir. Aku belum packing nih.." Kata Nataline. 

"Iya Fel. Kita duluan ya.. Makasih" Lanjut Emir dan langsung menggenggam tangan Natali yang terjulur ke bawah. 

"Duluan bro..!" 

Perang dingin pun selesai.. 

***

"Sorry ya Mir, rumah ku sederhana... Banget." Kata Nataline saat kami tiba diperumahan tak jauh dari kampusnya. 

Mobil Porsche berhenti disebuah rumah minimalis hijau-putih tak bertingkat. Sebuah mobil Scion TC terparkir pekarangan rumah. Rumah yang sederhana tetapi terlihat nyaman jika tinggal didalamnya

Karna kesederhanaan ini yang buat lo beda sama cewek lainnya. Gue bangga punya, sahabat, kaya lo, Nataline. 

Emir duduk diruang tamu yang jauh lebih kecil dibanding rumah keluarga Nataline di Jakarta. Tapi tempat ini rapih. Emir menggonta ganti channel TV meskipun ia tak tau apa yang sedang ia lihat. Pikiran Emir entah melayang kemana. 

"Yuk Mir!" Kata Nataline sambil membawa sebuah tas Janspot Beatnik dipunggungnya.

"Udah?" Tanya Emir.

Nataline terlihat begitu cantik dengan Jersey Arsenal yang kegedean. Lengan yang kepanjangan itu dia lipet sedemikian rupa, ujung bawah baju bagian kanan ia ikat supaya tak terlihat terlalu besar. Celana jeans panjang dan rambut yang dikuncir acak, membuat beberapa anak rambut menjulur dibahunya menyempurnakan dirinya sore hari ini. "Kamu... Ca.." ntik. Eh. 

"Udah.. Eh kenapa liatin gue kaya gitu? Jelek ya? Ini kan kado dari kamu..” Tanyanya dengan wajah polos. 

Iya kamu lucu... "Gak kok bagus! Cocok! Yuk langsung aja keburu macetnya tambah parah.." Emir mencoba bersikap cuek dan mengalihkan pandangan darinya, meski hati ini tak ingin melakukannya. 

Mobil melaju dengan cepat dijalan bebas hambata. Tak sampai dua jam, mobil sudah memasuki daerah ibu kota Jakarta. Emir mengalihkan pandangan ke bangku depan, ternyata Nataline sudah terlelap dalam tidurnya. Akhirnya mobilpun beralih ke daerah BSD. 

***

Suara mesin mobil sudah tak terdengar oleh telingaku, begitu pula dengan dinginnya AC yang menusuk-nusuk kulit. Akhirnya aku pun membuka mata. Sebuah rumah bertingkat megah yang terlihat dari kaca mobil ini. Oh aku inget! Ini rumah Emir! Sepertinya.. Tapi dimana Emir? Mataku beralih ke jok pengemudi tetapi Emir tak ada. 

DUK! 

Satu hentakan keras yang menyadarkanku dimana keberadaan Emir. Bagasi mobil. Aku segera membuka pintu mobil dengan sedikit keras dan disaat bersamaan Emir sedang berjalan disamping pintu mobil bagian luar. Seketika tas yang ia bawa pun terlepas dari genggamannya. 

Ups. 

"Mirr! Maaf!! Mir! Maaf ya! Aku gak tau, aku abis bangun tidur terus aku kira kamu diluar. Terus aku buka. Maaf mir! Ah.. Mirr! Aku gak sengaja.. Maaf banget mir.." Kataku tanpa aku sadari. Kata-kata sepanjang itu yang akan terucap oleh ku. 

"Gapapa.." 

Apa? Emir hanya bilang "Gapapa" ? Disaat tangannya terkena pintu mobil sendiri gara-gara aku? 

"ah.. Maaf banget..." kataku sambil cemberut. 

Aku segera membantunya membawakan tas-tas yang terjatuh dan memasukan ke dalam ruang tamu. 

Kedatanganku langsung disambut oleh Tante Trien--Ibu dari Emir. 

"Nataline? Kok kamu yang bawa barang-barang?”

“Iya tante tadi Emirnya gak sengaja ketabrak..” 

Tante Trien hanya menggeleng. Setelah menaruh barang-barang disofa, aku menjabat tangan tangan Tante Trien dan menempelkan pipinya dipipiku. 

“Gimana kabarnya di Bandung?”

"Baik tante.. Kabar tante gimana?"Tanyaku basa-basi. 

"Baik... Langsung makan yuk! Emir! Keruang makan ya!" Ajaknya. 

Kami masuk dalam suasana ruang makan yang sama seperti dulu, nyaman. Tiga lampu kuning ditembakan langsung diatas meja makan yang terbuat dari kaca, menimbulkan efek yang mewah. Sementara pemandangan keluar jendela adalah sebuah taman dengan air terjun kecil disana. 

Aku duduk didepan Tante Trien. Tak beberapa lama Emir duduk disampingku dan kami pun mulai mencicipi ayam gulai dan beberapa tambahan yang dibuat oleh Tante Trien sediri. 

"Enak banget tante!" Kataku sambil mengacungkan jempol. 

"Yaiyalah. Mama siapa dulu.." Kata Emir dengan pedenya dengan tangan kanan mengacungkan jempol.

Aku langsung menatap tajam orang yang berada disebelahku. Satu detik kemudian, tawa Tante Trien Pecah. Detik berikutnya aku menyadari ada yang berbeda dari tangan Emir. Ada luka memar di pergelangan tangan kanannya. 

Aku langsung menarik tangannya mendekat kearah mataku supaya aku bisa melihat lebih jelas. Benar! Luka memar. Tapi kenapa? Apa jangan-jangan ...

"Ini kena pintu mobil tadi ya?" 

"I-iya.. Tapi gak sakit, cuma biru doang.." Kata Emir, aku meraba-raba pergelangan tangan yang memar itu. "Aduh.. Udah jangan dipegang-pegang.." 

"Ih.... Mir! Pasti sakit ya? Maaf ya.." Pintaku. 

Tante Trien mendekat ke arah kami dan melihat dengan seksama luka memar yang ada ditangan anak nya itu. 

"Gapapa ini. Beberapa hari lagi juga hilang.." Kata tante trien "Tapi jangan banyak gerak, nanti sembuhnya lama.." 

Kata-kata Tante Trien itu membuat rasa bersalahku hilang sedikit, hanya sedikit. Masih ada berlipat-lipat rasa bersalahku yang lain. 

"Maaf ya Mir, kalo tau begini aku gak bakal bangun deh tadi.. Maaf ya.." Pintaku untuk yang kesekian kali. 

Emir mengendus, entah apakah itu artinya dimaafkan atau tak. Aku tak bisa menjelasnnya, laki-laki memang susah untuk dimengerti.

"Udah aku maafin Natalineku yang cantik..." Katanya sambil mencubi pipiku dengan tangan kirinya. Aku merasakan rasa panas dipipiku. "Ini namanya takdir.. Oke? Sekali lagi kamu minta maaf aku gak bakal maafin kamu.." 

Aku hanya mengangguk, mengelus-elus pipiku yang telah dicubit oleh Emir. Meskipun itu tidak sakit, tapi aku merasakan suatu getaran aneh yang menjalar ke seluruh tubuh. 



***



Rumah ini sudah sepi sejak beberapa jam lalu, tapi entah mengapa aku tak bisa tidur. Meskipun kamar luas ini sering membuatku nyaman berada didalamnya, untuk kali ini aku mengatakan tidak. Rasanya aku ingin pergi ke kamar tamu dan menemaninya tidur. 


Pergelangan tangan kananku tak bisa digerakan, sekali saja aku membuat gerakan rasa sakit itu menyerang. Tapi saat aku ingat siapa yang membuat luka ini, rasa sakit itu hilang. Entahlah apa arti dari ini. 


Tangan kiriku bergerak mengambil pigura berwarna white broken dan terdapat tulisan bestfriend4ever dengan spidol permanent dikayu bagian atas pigura. Pigura yang selalu berdiri tegak dimeja sebelah tempat tidur ku. Pigura yang diberikan Nataline saat terakhir kali kita bertemu sebelum ia pindah ke Bandung. Terdapat selembar foto yang didominasi warna oranye--sunset terindahku dipulau dewata. Tergambar disana siluet kita yang membelakangi kamera, disaat tangan kami saling bertautan. 


"Emirrr!" Teriakan itu membangunkan ku dari tidur siang yang nyenak. Aku membuka mata secara perlahan dan melihat seorang siluet gadis didepanku. 


"Nat? Ngapain sih ada dikamar gue?" Balasku dengan nada jengkel. 


"Ayo! Mau liat sunset gak? Hari ini sore terakhir di Bali.. Temenin gue ya.."

Pintanya dengan lembut, aku yakin tak akan ada orang yang bisa menolak ajakan anak kecil ini. Dia terlalu lembut..
 

"Ya.. Tunggu diluar gih. Mau ganti baju." 


"Gak!!" 


"Lo mau liat badan gue yang sixpack ini?" 


"Bukann! Maksud gue gak usah ganti baju!" 


Aku melihat diriku sendiri, kaos abu-abu dan celana boxer. Mataku beralih pada Nataline, dia mengenakan kaos barong putih yang kegedean dan short pants. Sederhana. But, i love it. Apapun baju yang ia pakai, cantiknya tak akan pernah luntur. 


Nataline berdiri disampingku, menatap indahnya sunset. Membiarkan jemari kaki kita berpijak pada pasir yang halus. Kelingking kami saling bertautan, diam seribu bahasa. Menikmati detik-detik terakhir indahnya Pulau Dewata yang penuh kenangan. Aku menarik tubuhnya mendekat kearahku. Hingga tak ada jarak lagi antara kita. Kutatap matanya dengan dalam dan kukecup keningnya yang tertutup poni. Wangi choco shampo tercium dihidungku, membuatku susah melepaskannya. 


"Come just as you are to me. Don't need apologies. Know that you are worthy. I'll take your bad days with your good. Walk through the storm I would. I do it all because.." kalimatku menggantung.. 


"I love you..." Lanjutnya, lanjut Nataline. "Unconditionally.." 


Matahari terbenam seutuhnya, memunculkan bintang-bintang yang melengkapi indahnya malam ini. 

Andai, kamu itu tau kalau.. Itu bukan sekedar lagu. Antau kamu tau kalau.. Aku sayang kamu tanpa syarat, aku sayang lebih dari persahabatan...

***

Pagi pertamaku di Jakarta. Terlihat sangat cerah dan menyenangkan. Semoga. Saat ini aku sudah duduk disalah satu kursi di meja makan. Tetapi aku tak melihat seorang pun disini.

"Non.." Aku terkejut mendengarnya dan menoleh kebelakang. Ternyata Bibi pengurus rumah ini tengah berada dibelakangku. "kata nyonya dimakan aja nasi gorengnya.." 

"Iya bi.. Tante Trien kamana ya Bi?" 

"Nyonya jemput Tuan di bandara.." 
 
"Tuan itu Om Herry?" 

"Iya non. Tuan dari Perancis udah seminggu ini, biasa kerjaan." 

Kepalaku ditopang oleh kedua tanganku. Nafsu makanku tiba-tiba saja menghilang. Nasi goreng yang awalnya terlihat enak, kini menjadi biasa saja.. Huft. 

Kasian ya Emir. Selalu ditinggal papanya pergi-pergi. Berarti rumah segede ini selalu sepi, setauku Tante Trien selalu pergi ke outletnya setiap hari kerja. Emir pasti sibuk di kampusnya apalagi soal BEM dan Ketua Senat. Anak itu memang selalu sibuk bahkan aku sudah melihatnya sejak sma dulu. Dia Selalu ikut OSIS, panitia ini itu dan menghendel semua acara. Bahkan hampir seluruh kepanitian, Emir adalah ketuanya. Sementara aku? Hanya seorang gadis tak terkenal yang sangat beruntung bisa menjadi sahabat dia. 

Tiba-tiba saja  ada sebuah tangan yang menutup mataku secara cepat. Haah. Siapa lagi kalo bukan bocah tengil itu. Aku tak bisa lagi menahan senyum atas kekonyolan ini.

"Tebak gue siapa?"

"Emir." jawabku singkat.

"Nat! Bilangnya gak tau dong.." 

"Hm..." 

"Ulang ya.." Katanya dengan antusias. "Tebak ini siapa.." 

"Aduh.. Siapa ya.. Aku gak tau. Siapa sih? Bikin penasaran aja.." Kataku dengan nada dibuat-buat. 

"Masa gak tau? Cowok yang paling ganteng itu loh.." 

Bibirku kembali mengembang, aku pukul dengan pelan tangan yang menutupi mataku ini. 
 
"Ih, alay banget tau gak sih? Lepasin lah.." Pintaku.

"Tapi janji ya hari ini lo harus nemenin gue jalan, kemana pun.." 

"Iya.."

"Iya apa?" 
 
"Aku bakal nemenin kamu.."

"Kemana?

"Kemana pun.."

Laki-laki yang mengaku paling ganteng ini melepaskan tangannya yang menghalangi pemandanganku dan dengan gerakan cepat mencium keningku. Seketika hatiku merasa hangat. 

Mobil Porche putih akhirnya berhasil memarkirkan dirinya disebuah cafe dibilangan Jakarta Selatan. 

"Kita mau nongkrong di kafe?" 

"Bukan sekedar nongkrong. Gue mau ketemu temen lama." 

"Siapa?" 

"Liat aja nanti.." 

Dengan rasa penasaran aku mulai menapaki batu-batu dilahan parkir yang sangat cocok dipadukan dengan suasana nature di café ini. Aku mengikuti langkah Emir dari belakang, kami naik ke lantai dua dan menemukan konsep café yang sedikit berbeda. Kalau dibawah bernuansa nature dilantai dua ini lebih menjurus ke traditional. Semua perabotan dibuat dari kayu yang menambah suasana cozy.

Langkah kami berhenti disebuah tempat duduk yang berada dipojok ruangan terbuka ini, tempat ini terlihat berbeda karena tempat duduknya terbuat dari kayu yang dilapisi sofa putih. Mataku beralih kepada sekitar ada 6 orang yang tengah menduduki sofa tersebut.

Kayanya pernah ketemu..

“Emir! Lama gak kumpul bro!” Kata salah satu laki-laki dari mereka mulai menyalami Emir satu persatu. Sampai laki-laki itu memandangiku dari ujung kaki hingga atas kepala.

“Nataline? Iya kan..” Dia menjabat tanganku. “Doni. Lo lupa?”

“Oh! Inget kok Don..” Kataku sambil tersenyum memamerkan gigiku. Disebelahnya ada Brian, Adri, Mario, Eka dan entah siapa yang duduk paling pojok itu, aku lupa. Atau bahkan aku tak kenal. 

“Makin cantik aja Nat” 

Emir yang mendengar pernyataan itu langsung menatap tajam Doni dan memaksanya untuk melepaskan jabat tangan kami. 

“Ya maap Mir, gue gak bakal nikung keles. Nat, kok lo di Jakarta?” 

“Iya, liburan..”

“Nginep dirumah siapa?”

“Em—“

“Gilaa! Lo nginep dirumah Emir?” Tanya Doni dengan nada sangat antusias.

“I-iya..” Jawabku binggung. 

“Anjir, rumah Emir bagus gila! Beruntung banget lo! Gue aja gak dibolehin sana tu anak tengil!”

“Ye! Beda Don! Lo Jorok nanti rumah gue kotor!” Cela Emir yang ternyata dari tadi mengikuti percakapan kami.

Aku tertawa mendengar perkataan mereka yang saling membalas.

“Lo gak diapa-apain kan dirumah ni bocah?” Tiba-tiba Doni bertanya seperti itu kepadaku.
“Hah?”

“Gak lah! Gila lo! Emang gue elo apa!” Potong Emir lagi.

“Iya lah ya, kan ada bokap nyokap.. Mana berani.. Hahaha..” Saat ini tawa Doni dan teman-teman lainnya tengah meggelegar diseluruh ruangan ini. Kecuali aku dan seseorang asing yang tak aku kenal namanya tadi. 

Aku dan Emir duduk bersebelahan. Seorang waiterss datang, Emir memesan Ice Cappucino sementara aku Ice Flavour Latte. Setelah Waiterss itu pergi, kami kembali dalam percakapan.
“Emir, Nat, kenalin ini temen gue. Dia yang nganterin gue kesini.. Namanya Julio” Doni memperkenalkan temannya yang duduk persis didepanku. 

Aku memembalas jabat tangannya, mataku yang coklat bertautan dengan mata birunya. Ya! Aku baru tersadar bahwa ia bukanlah makhluk pribumi seperti kita, kulitnya putih dan rambutnya coklat pekat ditambah bola matanya yang biru. Oh God, He is so cute!

“Briggite Nataline, Nataline..” Kataku sambil tersenyum. 

“Julio Skyller, bisa dipanggil Julio.” Balasnya dengan logat bahasa Indonesia yang lancar. 

Lalu sosok laki-laki bernama Jullio itu menyalami Emir. Meskipun matanya sudah tak menatapku tetapi mataku tetap menatapnya dalam. Aku rasa, dia sangat.. good-looking.

Minumanku dan Emir datang. Mereka, maksudku lima sekawan itu, Emir, Brian, Adri, Mario, dan Eka larut dalam obrolan mereka sendiri sementara aku melihat-lihat interior ruangan ini yang begitu apik. Disusun sedemikian rupa hingga terlihat indah. Ah.. suatu saat nanti aku akan membuat café yang lebih indah lagi.. 

“Hei,” bola mataku beralih kembali ke meja. Laki-laki good-looking itu, maaf maksudku Julio memanggilku.

“Ya?”

“Kamu kuliah semester berapa?” Tanyanya dengan mata tak beralih dari mataku. Membuat aku sedikit canggung. 

“Semester dua..”

“Kamu ambil arsitektur ya?” Aku tercekat mendengar perkataanya. “Desain Interior?”

Aku mengangguk. 

“ITB?” Tebaknya lagi membuatku terperanga. Aku menangguk.

“Rumah kamu gak jauh dari kampus?” 

Aku mulai takut laki-laki yang ada didepanku ini pembunuh bayaran untuk membunuhku! Tanpa ku beritahu dia sudah tau!

Aku menangguk.

“Oh..  Dan minggu lalu kamu baru ujian semester?”

Mataku langsung lesu. Okey, aku benar-benar yakin kalau dia pembunuh bayaran! Atau dia bisa membaca pikiran dan memori ku!

“Gak, gue gak bisa baca pikiran kok, gue juga bukan pembunuh bayarna.” Kata nya santai. Membuat mataku ingin keluar dari tempatnya semula.

“Lah? Itu tadi?” Tanyaku.

“Iya, keliatan. Anak arsitektur emang gitu, punya apa ya.. Bisa aku bilang aura yang beda.” Katanya membuatku semakin tak mengerti apa yang ia bicarakan. 

“Iya, gitu. Sodara ku juga ambil arsitektur di ITB jadi aku bisa tau.. hehe”

Aku langsung menghembuskan napas yang sejak tadi ku tahan. Huft. Untung saja…

“Kalo kamu ambil apa?” Tanyaku. 

“Psikologi unpad.” Setelah dia mengatakan psikologi aku baru mengerti semuanya. Psikologi, pantes dia bisa kaya baca pikiran. Emang kerjaanya gitu ..

“Oh.. Salam kenal ya Nataline” Katanya sambil memamerkan senyum terbaiknya. Bibir yang merah alami dipadukan dengan kulitnya yang putih membuatnya semakin.. waw. 

***

Balkon rumah ini telihat begitu mewah saat matahari. Dengan pemandangan yang dihadapkan dengan sebuah kolam renang berwarna biru yang diterkena biasan dari beberapa lampu diatasnya membuat malam ini semakin indah. Aku berdiri sendiri ditempat ini, menikmati malam terakhirku ditempat ini. Karena esok aku akan kembali ke rumah orang tuaku. 

TOK.. TOK.. TOK..

"Ya?" Kataku sambil menoleh ke arah pintu. 

"Aku masuk ya?" Terdengar suara samar dari balik pintu. 
 
"Iya.."

Pintu putih itu terbuka secara perlahan, seorang laki-laki mengenakan kaos putih dan celana selutut memasuki kamarku, kamar yang aku tinggali. Dia berdiri disampingku dan menyandarkan tubuhnya ditralis balkon. Memandangi indahnya pemandangan dari tempat ini. 

"Makasih ya Nat buat tiga hari ini.." Ucap Emir membuka pembicaraan. 

Aku menatapnya dengan senyuman, tapi terlihat raut wajahnya berbeda. Maksudku berbeda.. Dia terlihat tak senang. 

"Besok dirumah bunda, kamu mau ngapain?" 

"Mmm.. Paling dirumah doang.." 

Hening.. 

Entah mengapa kali ini situasi aku dan Emir yang biasanya penuh canda tawa itu kini menjadi suatu yang diam.

"Kenapa kamu gak tinggal disini aja? Gue, maksudku aku bisa anter jemput kamu.." Katanya masih tak menatap mataku. 

" Gak lah mir, kamukan sahabat aku bukan supir aku.."

Emir tersenyum samar. Kini tangannya telah bertengger dipingangku membuat aku merasakan sesuatu yang berbeda. 

Gak! Gak boleh! Aku menggeleng keras sambil memejamkan mataku . 

"Kamu kenapa Nat?" 

"Gapapa Mir.."

Hening.. 

Gak mungkin, gak akan lah aku suka sama sahabat ku sendiri. Mau jadi apa persahabatan kita? Hancur begitu saja? Emir semakin dekat berdiri disampingku. Rasa yang aneh itu muncul lagi bahkan lebih besar.. Aku takut. Tubuh kami berhadapan dibawah lampu balkon berwarna kuning emas ini. Emir mencium keningku secara perlahan membuatku tak nyaman dengan situasi ini. 

"Aku sayang kamu--" Bisiknya saat bibirnya meyentuh keningku. 

Kami masih bertahan dalam posisi kami dan aku masih membeku mendengar perkataan itu.

"Hm.. Mir aku ngantuk.." Kataku berbohong aku hanya ingin keluar dari situasi ini. 

Emir melonggarkan jarak antara kami. Aku langsung mengambil langkah menuju bed yang diselimuti bedcover berwarna broken white. Aku melentangkan badanku dan menarik selimut hingga leher. Mataku sudah terpejam tetapi Emir masih mematung dibalkon. 

"Mir, nanti jangan lupa tutup pintu balkon sama matiin lampu ya. Makasih." Kataku menutup pembicaraan kami malam ini. 

Langkah kaki terdengar dari kejauhan dan suara pintu balkon yang tertutup. Langkah kaki itu berhenti disampingku. Emir sedang menatapku saat ini. Meskipun mataku tertutup tapi aku bisa merasakannya.Pipiku kini merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang hangat menjalar hingga jantungku berdetak lebih cepat. Aku menggeliat memunggunginya hingga ia menjauh dari tempat tidurku dan hilang dibalik pintu.

Satu.. Dua.. Tiga.. 

Aku membuka mata. 

Aku tak berniat untuk tidur tadi. Aku hanya ingin... Menjauh? Hmm. Aku sudah berasa ada yang aneh dari Emir sejak ia menjemputku dari Bandung. Aku hanya.. Aku hanya ingin semua ini tidak berubah. Aku masih butuh kamu Mir sebagai sahabatku..



2 komentar:

  1. Elahh lanjut min! Bersambungnya kaya sinetron ajaaa</3.-.v

    BalasHapus
  2. gila lu min, lanjut ini sama stay, he said itu dongggggg!

    BalasHapus