"Your hand fits
in mine
Like it's made just for me
But bear this in mind
It was meant to be.."
Like it's made just for me
But bear this in mind
It was meant to be.."
Sore ini mentari tak lagi
memancarkan sinarnya. Awan mendung menyelimuti atmosfer di kota Bandung. Aku
duduk sendirian disebuah taman didekat parkir mobil, melihat mahasiswa atau pun
mahasiswi berlarian menuju kendaraan masing-masing dan ingin cepat pulang
kerumah, supaya mereka tak terkena imbas dari awan hitam ini, hujan.
Oh ya, aku suka hujan, memberi
asupan nutrisi untuk pohon-pohon, tetapi bukan untuk kali ini. Aku resah dengan
hujan ini. Sudah hampir dua jam aku duduk terdiam disini menunggu sebuah mobil
Porsche berwarna putih menghampiriku dan tiba-tiba seseorang keluar dari mobil
itu untuk membukakan pintunya untukku. Tetapi kemana dia?
"Nataline?" dia mendekat
kearahku. "Ternyata lo kuliah disini juga?"
Seorang laki-laki dengan kaos
merah keluaran bloods dan celana jeans panjang serta tas selempang yang ia
gantungkan dibahunya yang bidang menghampiriku.
Sepertinya aku kenal. Tapi siapa
ya?
"Lupa sama gue?"
Aku membalasnya dengan anggukan.
Sedetik kemudian dia mengangkat tangannya meminta untuk bersalaman. Maka aku
balas salamannya itu.
"Ambrossius Felix Hantara,
bocah yang pernah, mau, nganter pulang Briggite Nataline di Soeta setelah
pulang dari pulau dewata untuk farewell party. Sebelum Emir Mahira datang
menghancurkan semuanya." Jelasnya dengan setiap penekanan di anak kalimat.
Membuat bulu harusku dileher seperti ada magnet yang mengikatnya.
"Oh.. Felix?" Hanya itu
yang bisa aku katakan. Dia mengangguk.
"Mana pangeran lo itu?"
Tanyanya sambil mencari sosok laki-laki berambut spike tersebut.
"Belom dateng..."
Balasku polos
"Bener firasat gue. Dari pada
gadis semanis lo kena badai disini, mending balik sama gue." Balasnya
sambil mengeluarkan sebuah kunci mobil dan menekannya. Sebuah mobil sport
Toyota FT1 mewah berwarna merah berbunyi yang terparkir tak jauh dari tempatku
berdiri.
"Makasih, Felix. Tapi aku
udah ada janji sama Emir, kita mau ke Jakarta." Kataku mencoba untuk
ramah.
"Tapi gue boleh menemin lo
kan nunggu bocah ngaretan itu?"
Aku tidak bisa menolak. Tidak ada
alasan untuk permohonannya itu. Lagi pula, hanya mengobrol sedikit. Tak apa lah
"Starbucks ya? Gue aus
nih." Katanya sambil memasang wajah memohon. "Gue traktir..”
Kami berjalan menuju mobil sport
mewah tersebut. Meskipun jarak antara parkiran ini dengan tempat tujuan kita
tak terlalu jauh. Tetapi, badai mungkin akan menerbangkan kita bila kami tetap
nekat berjalan. Dalam perjalanan aku mengirimkan pesan untuk Emir.
To: Emir Mahira
Emir, aku tunggu di starbucks
ciwalk. Asap mir :)
Mobil toyota ini keluar dari area
kampus dan masuk daerah Mall Ciwalk. Tanpa berputar-putar kami langsung duduk
di salah satu bangku starbucks coffee.
Felix memesan Vanilla Macchiato sementara
aku Cotton Candy Frape. Benar katanya, aku tidak mengeluarkan uang sepeserpun
untuk diduduk ditempat ini.
"Lo ambil jurusan apa
Nat?" Tanyanya memulai pembicaraan.
"Teknik Arsitektur, maunya
desain interior.."
"Pantes. Sesuai dengan minat lo
kan?" katanya. Aku hanya mengangguk.
"Kalo lo apa?" Tanya aku
basa basi sambil memainkan sedotan pada minumanku.
"Sipil." Jawabnya
singkat. Sepertinya dia tau kalau aku hanya basa-basi.
Keheningan menyelimuti pembicaraan
kita kali ini ditengah hujan yang mulai menderas diiringi angin dimana-mana.
Sepertinya salah aku mengambil tawaran ini. Aku hanya menjadi patung ditempat
ini. Felix memainkan iphonenya sesekali melihat lingkungan sekitar. Sementara
aku memainkan Galaxy Note 3 Neo ku untuk menghubungi Emir. Tetapi tak ada
sautan. Aku coba bbm, whatsapp, message, tapi tetap tak ada balasan. Aku
bingung. Kemana dia?
"Argh..!" Geramanku
mulai stress.
Felix memalingkan pandangan heran
ke arahku. "Kenapa? Sampe mana dia?"
Aku menggeleng tak pasti
Zrt.. Zrt.. Zrt..
You got 5 messages.
Oh shit.
Emir membuka pesan paling baru di
iphone yang sekarat karena baterai yang tersisasatu bar. Pertemuan mendadak
senat tadi membuat Emir harus pulang lebih.
From: Nataline
Emir, aku tunggu di starbucks
ciwalk. Asap mir :)
Nataline ke Starbucks? Tumben.
Biasanya gue ajak ke sana alasannya gak suka nongkrong. Hah.
Mobil Porsche putih yang
dikendarai Emir masih berkutat dengan kemacetan di jalan bebas hambatan menuju
Bandung. Beberapa menit kemudian, akhirnya mobil ini berhasil menemukaan parkir
lahan parkir yang padat.
Emir langsung menyambar iphonenya
dari dashboard mobil dan berlari kecil menuju starbucks coffee yang berada
lumayan jauh dari pintu parkir.
Aduh, pasti Nataline udah nunggu
lama banget. Ngapain dia ke sini? Naik apa? Gimana kalo dia keujanan?
Gimana kalo dia sakit besok waktu ujian semester? Hah. Bego lo Mir.
Kalimat itu yang selalu ada
dipikiran Emir selama diperjalanan. Ia membuka pintu starbucks dan matanya
langsung tertuju pada Nataline yang sedang memainkan Note-nya. Dengan
seorang... Laki-laki? Siapa?
Nataline mengadahkan kepalanya ke
atas, mata mereka saling bertemu. Emir menghampirinya dan Nataline berdiri dari
tempat duduk membuat laki-laki itu menoleh kebelakang.
Shit. Felix? Ngapain brandalan itu
disini?
"Felix, Emir udah dateng..
Aku duluan ya.." kata Nataline kepada Felix yang membuat raut wajahnya
berubah.
"Hey! Emir! Lama gak ketemu
kita bro!" Dia menyalami tangan gue. Tiba-tiba Felix berubah ramah, sarap
ni anak. "Sorry tadi gue ngajak Nataline kesini. Dari pada
keujanan.."
"Iya, woles Fel." Kata
gue berusaha ramah. Meskipun gue selalu naik darah setiap ngeliat dia. Tapi
didepan Nataline gue harus berubaha bersikap cuek. Nothing happen. "Nat,
pulang sekarang?"
"Gak mau ngopi dulu
mir?" Tanya Felix. "Gue bayarin deh.”
Lo mau bayarin gue? Gak sudi
banget gue minum pake duit lo Fel.
"Sorry, gue udah ngopi."
Kata Emir berusaha untuk tidak berulah ditempat umum seperti ini.
"Yuk Mir. Aku belum packing
nih.." Kata Nataline.
"Iya Fel. Kita duluan ya..
Makasih" Lanjut Emir dan langsung menggenggam tangan Natali yang terjulur
ke bawah.
"Duluan bro..!"
Perang dingin pun selesai..
***
"Sorry ya Mir, rumah ku
sederhana... Banget." Kata Nataline saat kami tiba diperumahan tak jauh
dari kampusnya.
Mobil Porsche berhenti disebuah
rumah minimalis hijau-putih tak bertingkat. Sebuah mobil Scion TC terparkir
pekarangan rumah. Rumah yang sederhana tetapi terlihat nyaman jika tinggal
didalamnya
Karna kesederhanaan ini yang buat
lo beda sama cewek lainnya. Gue bangga punya, sahabat, kaya lo, Nataline.
Emir duduk diruang tamu yang jauh
lebih kecil dibanding rumah keluarga Nataline di Jakarta. Tapi tempat ini
rapih. Emir menggonta ganti channel TV meskipun ia tak tau apa yang sedang ia
lihat. Pikiran Emir entah melayang kemana.
"Yuk Mir!" Kata Nataline
sambil membawa sebuah tas Janspot Beatnik dipunggungnya.
"Udah?" Tanya Emir.
Nataline terlihat begitu cantik dengan Jersey Arsenal yang kegedean. Lengan yang kepanjangan itu dia lipet sedemikian rupa, ujung bawah baju bagian kanan ia ikat supaya tak terlihat terlalu besar. Celana jeans panjang dan rambut yang dikuncir acak, membuat beberapa anak rambut menjulur dibahunya menyempurnakan dirinya sore hari ini. "Kamu... Ca.." ntik. Eh.
"Udah.. Eh kenapa liatin gue
kaya gitu? Jelek ya? Ini kan kado dari kamu..” Tanyanya dengan wajah polos.
Iya kamu lucu... "Gak kok
bagus! Cocok! Yuk langsung aja keburu macetnya tambah parah.." Emir
mencoba bersikap cuek dan mengalihkan pandangan darinya, meski hati ini tak
ingin melakukannya.
Mobil melaju dengan cepat dijalan
bebas hambata. Tak sampai dua jam, mobil sudah memasuki daerah ibu kota
Jakarta. Emir mengalihkan pandangan ke bangku depan, ternyata Nataline sudah
terlelap dalam tidurnya. Akhirnya mobilpun beralih ke daerah BSD.
***
Suara mesin mobil sudah tak terdengar oleh telingaku, begitu pula dengan dinginnya AC yang menusuk-nusuk kulit. Akhirnya aku pun membuka mata. Sebuah rumah bertingkat megah yang terlihat dari kaca mobil ini. Oh aku inget! Ini rumah Emir! Sepertinya.. Tapi dimana Emir? Mataku beralih ke jok pengemudi tetapi Emir tak ada.
DUK!
Satu hentakan keras yang
menyadarkanku dimana keberadaan Emir. Bagasi mobil. Aku segera membuka pintu
mobil dengan sedikit keras dan disaat bersamaan Emir sedang berjalan disamping
pintu mobil bagian luar. Seketika tas yang ia bawa pun terlepas dari
genggamannya.
Ups.
"Mirr! Maaf!! Mir! Maaf ya!
Aku gak tau, aku abis bangun tidur terus aku kira kamu diluar. Terus aku buka.
Maaf mir! Ah.. Mirr! Aku gak sengaja.. Maaf banget mir.." Kataku tanpa aku
sadari. Kata-kata sepanjang itu yang akan terucap oleh ku.
"Gapapa.."
Apa? Emir hanya bilang
"Gapapa" ? Disaat tangannya terkena pintu mobil sendiri gara-gara
aku?
"ah.. Maaf banget..." kataku
sambil cemberut.
Aku segera membantunya membawakan
tas-tas yang terjatuh dan memasukan ke dalam ruang tamu.
Kedatanganku langsung disambut
oleh Tante Trien--Ibu dari Emir.
"Nataline? Kok kamu yang bawa
barang-barang?”
“Iya tante tadi Emirnya gak
sengaja ketabrak..”
Tante Trien hanya menggeleng.
Setelah menaruh barang-barang disofa, aku menjabat tangan tangan Tante Trien
dan menempelkan pipinya dipipiku.
“Gimana kabarnya di Bandung?”
"Baik tante.. Kabar tante gimana?"Tanyaku
basa-basi.
"Baik... Langsung makan yuk!
Emir! Keruang makan ya!" Ajaknya.
Kami masuk dalam suasana ruang
makan yang sama seperti dulu, nyaman. Tiga lampu kuning ditembakan langsung
diatas meja makan yang terbuat dari kaca, menimbulkan efek yang mewah.
Sementara pemandangan keluar jendela adalah sebuah taman dengan air terjun
kecil disana.
Aku duduk didepan Tante Trien. Tak
beberapa lama Emir duduk disampingku dan kami pun mulai mencicipi ayam gulai
dan beberapa tambahan yang dibuat oleh Tante Trien sediri.
"Enak banget tante!"
Kataku sambil mengacungkan jempol.
"Yaiyalah. Mama siapa
dulu.." Kata Emir dengan pedenya dengan tangan kanan mengacungkan jempol.
Aku langsung menatap tajam orang
yang berada disebelahku. Satu detik kemudian, tawa Tante Trien Pecah. Detik
berikutnya aku menyadari ada yang berbeda dari tangan Emir. Ada luka memar di
pergelangan tangan kanannya.
Aku langsung menarik tangannya
mendekat kearah mataku supaya aku bisa melihat lebih jelas. Benar! Luka memar.
Tapi kenapa? Apa jangan-jangan ...
"Ini kena pintu mobil tadi
ya?"
"I-iya.. Tapi gak sakit, cuma
biru doang.." Kata Emir, aku meraba-raba pergelangan tangan yang memar
itu. "Aduh.. Udah jangan dipegang-pegang.."
"Ih.... Mir! Pasti sakit ya?
Maaf ya.." Pintaku.
Tante Trien mendekat ke arah kami
dan melihat dengan seksama luka memar yang ada ditangan anak nya itu.
"Gapapa ini. Beberapa hari
lagi juga hilang.." Kata tante trien "Tapi jangan banyak gerak, nanti
sembuhnya lama.."
Kata-kata Tante Trien itu membuat
rasa bersalahku hilang sedikit, hanya sedikit. Masih ada berlipat-lipat rasa
bersalahku yang lain.
"Maaf ya Mir, kalo tau begini
aku gak bakal bangun deh tadi.. Maaf ya.." Pintaku untuk yang kesekian
kali.
Emir mengendus, entah apakah itu
artinya dimaafkan atau tak. Aku tak bisa menjelasnnya, laki-laki memang susah
untuk dimengerti.
"Udah aku maafin Natalineku
yang cantik..." Katanya sambil mencubi pipiku dengan tangan kirinya. Aku
merasakan rasa panas dipipiku. "Ini namanya takdir.. Oke? Sekali lagi kamu
minta maaf aku gak bakal maafin kamu.."
Aku hanya mengangguk,
mengelus-elus pipiku yang telah dicubit oleh Emir. Meskipun itu tidak sakit,
tapi aku merasakan suatu getaran aneh yang menjalar ke seluruh tubuh.
***
Rumah ini sudah sepi sejak
beberapa jam lalu, tapi entah mengapa aku tak bisa tidur. Meskipun kamar luas
ini sering membuatku nyaman berada didalamnya, untuk kali ini aku mengatakan
tidak. Rasanya aku ingin pergi ke kamar tamu dan menemaninya tidur.
Pergelangan tangan kananku tak
bisa digerakan, sekali saja aku membuat gerakan rasa sakit itu menyerang. Tapi
saat aku ingat siapa yang membuat luka ini, rasa sakit itu hilang. Entahlah apa
arti dari ini.
Tangan kiriku bergerak mengambil
pigura berwarna white broken dan terdapat tulisan bestfriend4ever dengan spidol
permanent dikayu bagian atas pigura. Pigura yang selalu berdiri tegak dimeja
sebelah tempat tidur ku. Pigura yang diberikan Nataline saat terakhir kali kita
bertemu sebelum ia pindah ke Bandung. Terdapat selembar foto yang didominasi
warna oranye--sunset terindahku dipulau dewata. Tergambar disana siluet kita yang
membelakangi kamera, disaat tangan kami saling bertautan.
"Emirrr!" Teriakan itu
membangunkan ku dari tidur siang yang nyenak. Aku membuka mata secara perlahan
dan melihat seorang siluet gadis didepanku.
"Nat? Ngapain sih ada dikamar
gue?" Balasku dengan nada jengkel.
"Ayo! Mau liat sunset gak?
Hari ini sore terakhir di Bali.. Temenin gue ya.."
Pintanya dengan lembut, aku yakin
tak akan ada orang yang bisa menolak ajakan anak kecil ini. Dia terlalu
lembut..
"Ya.. Tunggu diluar gih. Mau
ganti baju."
"Gak!!"
"Lo mau liat badan gue yang
sixpack ini?"
"Bukann! Maksud gue gak usah
ganti baju!"
Aku melihat diriku sendiri, kaos
abu-abu dan celana boxer. Mataku beralih pada Nataline, dia mengenakan kaos
barong putih yang kegedean dan short pants. Sederhana. But, i love it.
Apapun baju yang ia pakai, cantiknya tak akan pernah luntur.
Nataline berdiri disampingku,
menatap indahnya sunset. Membiarkan jemari kaki kita berpijak pada pasir yang
halus. Kelingking kami saling bertautan, diam seribu bahasa. Menikmati
detik-detik terakhir indahnya Pulau Dewata yang penuh kenangan. Aku menarik
tubuhnya mendekat kearahku. Hingga tak ada jarak lagi antara kita. Kutatap
matanya dengan dalam dan kukecup keningnya yang tertutup poni. Wangi choco
shampo tercium dihidungku, membuatku susah melepaskannya.
"Come just as you are to me.
Don't need apologies. Know that you are worthy. I'll take your bad days with
your good. Walk through the storm I would. I do it all because.."
kalimatku menggantung..
"I love you..."
Lanjutnya, lanjut Nataline. "Unconditionally.."
Matahari terbenam seutuhnya,
memunculkan bintang-bintang yang melengkapi indahnya malam ini.
Andai, kamu itu tau kalau.. Itu
bukan sekedar lagu. Antau kamu tau kalau.. Aku sayang kamu tanpa syarat, aku
sayang lebih dari persahabatan...
***
Pagi pertamaku di Jakarta.
Terlihat sangat cerah dan menyenangkan. Semoga. Saat ini aku sudah duduk
disalah satu kursi di meja makan. Tetapi aku tak melihat seorang pun disini.
"Non.." Aku terkejut mendengarnya dan menoleh kebelakang. Ternyata Bibi pengurus rumah ini tengah berada dibelakangku. "kata nyonya dimakan aja nasi gorengnya.."
"Iya bi.. Tante Trien kamana
ya Bi?"
"Nyonya jemput Tuan di
bandara.."
"Tuan itu Om
Herry?"
"Iya non. Tuan dari Perancis
udah seminggu ini, biasa kerjaan."
Kepalaku ditopang oleh kedua
tanganku. Nafsu makanku tiba-tiba saja menghilang. Nasi goreng yang awalnya
terlihat enak, kini menjadi biasa saja.. Huft.
Kasian ya Emir. Selalu ditinggal
papanya pergi-pergi. Berarti rumah segede ini selalu sepi, setauku Tante Trien
selalu pergi ke outletnya setiap hari kerja. Emir pasti sibuk di kampusnya
apalagi soal BEM dan Ketua Senat. Anak itu memang selalu sibuk bahkan aku sudah
melihatnya sejak sma dulu. Dia Selalu ikut OSIS, panitia ini itu dan menghendel
semua acara. Bahkan hampir seluruh kepanitian, Emir adalah ketuanya. Sementara
aku? Hanya seorang gadis tak terkenal yang sangat beruntung bisa menjadi
sahabat dia.
Tiba-tiba saja ada sebuah
tangan yang menutup mataku secara cepat. Haah. Siapa lagi kalo bukan bocah
tengil itu. Aku tak bisa lagi menahan senyum atas kekonyolan ini.
"Tebak gue siapa?"
"Emir." jawabku singkat.
"Nat! Bilangnya gak tau
dong.."
"Hm..."
"Ulang ya.." Katanya
dengan antusias. "Tebak ini siapa.."
"Aduh.. Siapa ya.. Aku gak
tau. Siapa sih? Bikin penasaran aja.." Kataku dengan nada
dibuat-buat.
"Masa gak tau? Cowok yang
paling ganteng itu loh.."
Bibirku kembali mengembang, aku
pukul dengan pelan tangan yang menutupi mataku ini.
"Ih, alay banget tau gak sih?
Lepasin lah.." Pintaku.
"Tapi janji ya hari ini lo
harus nemenin gue jalan, kemana pun.."
"Iya.."
"Iya apa?"
"Aku bakal nemenin
kamu.."
"Kemana?
"Kemana pun.."
Laki-laki yang mengaku paling
ganteng ini melepaskan tangannya yang menghalangi pemandanganku dan dengan
gerakan cepat mencium keningku. Seketika hatiku merasa hangat.
Mobil Porche putih akhirnya berhasil
memarkirkan dirinya disebuah cafe dibilangan Jakarta Selatan.
"Kita mau nongkrong di
kafe?"
"Bukan sekedar nongkrong. Gue
mau ketemu temen lama."
"Siapa?"
"Liat aja nanti.."
Dengan rasa penasaran aku mulai
menapaki batu-batu dilahan parkir yang sangat cocok dipadukan dengan suasana
nature di café ini. Aku mengikuti langkah Emir dari belakang, kami naik ke
lantai dua dan menemukan konsep café yang sedikit berbeda. Kalau dibawah
bernuansa nature dilantai dua ini lebih menjurus ke traditional. Semua
perabotan dibuat dari kayu yang menambah suasana cozy.
Langkah kami berhenti disebuah
tempat duduk yang berada dipojok ruangan terbuka ini, tempat ini terlihat
berbeda karena tempat duduknya terbuat dari kayu yang dilapisi sofa putih.
Mataku beralih kepada sekitar ada 6 orang yang tengah menduduki sofa tersebut.
Kayanya pernah ketemu..
“Emir! Lama gak kumpul bro!” Kata
salah satu laki-laki dari mereka mulai menyalami Emir satu persatu. Sampai
laki-laki itu memandangiku dari ujung kaki hingga atas kepala.
“Nataline? Iya kan..” Dia menjabat
tanganku. “Doni. Lo lupa?”
“Oh! Inget kok Don..” Kataku
sambil tersenyum memamerkan gigiku. Disebelahnya ada Brian, Adri, Mario, Eka
dan entah siapa yang duduk paling pojok itu, aku lupa. Atau bahkan aku tak
kenal.
“Makin cantik aja Nat”
Emir yang mendengar pernyataan itu
langsung menatap tajam Doni dan memaksanya untuk melepaskan jabat tangan
kami.
“Ya maap Mir, gue gak bakal nikung
keles. Nat, kok lo di Jakarta?”
“Iya, liburan..”
“Nginep dirumah siapa?”
“Em—“
“Gilaa! Lo nginep dirumah Emir?”
Tanya Doni dengan nada sangat antusias.
“I-iya..” Jawabku binggung.
“Anjir, rumah Emir bagus gila!
Beruntung banget lo! Gue aja gak dibolehin sana tu anak tengil!”
“Ye! Beda Don! Lo Jorok nanti
rumah gue kotor!” Cela Emir yang ternyata dari tadi mengikuti percakapan kami.
Aku tertawa mendengar perkataan
mereka yang saling membalas.
“Lo gak diapa-apain kan dirumah ni
bocah?” Tiba-tiba Doni bertanya seperti itu kepadaku.
“Hah?”
“Gak lah! Gila lo! Emang gue elo
apa!” Potong Emir lagi.
“Iya lah ya, kan ada bokap
nyokap.. Mana berani.. Hahaha..” Saat ini tawa Doni dan teman-teman lainnya
tengah meggelegar diseluruh ruangan ini. Kecuali aku dan seseorang asing yang
tak aku kenal namanya tadi.
Aku dan Emir duduk bersebelahan.
Seorang waiterss datang, Emir memesan Ice Cappucino sementara aku Ice Flavour
Latte. Setelah Waiterss itu pergi, kami kembali dalam percakapan.
“Emir, Nat, kenalin ini temen gue.
Dia yang nganterin gue kesini.. Namanya Julio” Doni memperkenalkan temannya
yang duduk persis didepanku.
Aku memembalas jabat tangannya,
mataku yang coklat bertautan dengan mata birunya. Ya! Aku baru tersadar bahwa
ia bukanlah makhluk pribumi seperti kita, kulitnya putih dan rambutnya coklat
pekat ditambah bola matanya yang biru. Oh God, He is so cute!
“Briggite Nataline, Nataline..”
Kataku sambil tersenyum.
“Julio Skyller, bisa dipanggil
Julio.” Balasnya dengan logat bahasa Indonesia yang lancar.
Lalu sosok laki-laki bernama
Jullio itu menyalami Emir. Meskipun matanya sudah tak menatapku tetapi mataku
tetap menatapnya dalam. Aku rasa, dia sangat.. good-looking.
Minumanku dan Emir datang. Mereka,
maksudku lima sekawan itu, Emir, Brian, Adri, Mario, dan Eka larut dalam
obrolan mereka sendiri sementara aku melihat-lihat interior ruangan ini yang
begitu apik. Disusun sedemikian rupa hingga terlihat indah. Ah.. suatu saat
nanti aku akan membuat café yang lebih indah lagi..
“Hei,” bola mataku beralih kembali
ke meja. Laki-laki good-looking itu, maaf maksudku Julio memanggilku.
“Ya?”
“Kamu kuliah semester berapa?”
Tanyanya dengan mata tak beralih dari mataku. Membuat aku sedikit
canggung.
“Semester dua..”
“Kamu ambil arsitektur ya?” Aku
tercekat mendengar perkataanya. “Desain Interior?”
Aku mengangguk.
“ITB?” Tebaknya lagi membuatku
terperanga. Aku menangguk.
“Rumah kamu gak jauh dari
kampus?”
Aku mulai takut laki-laki yang ada
didepanku ini pembunuh bayaran untuk membunuhku! Tanpa ku beritahu dia sudah tau!
Aku menangguk.
“Oh.. Dan minggu lalu kamu
baru ujian semester?”
Mataku langsung lesu. Okey, aku
benar-benar yakin kalau dia pembunuh bayaran! Atau dia bisa membaca pikiran dan memori ku!
“Gak, gue gak bisa baca pikiran
kok, gue juga bukan pembunuh bayarna.” Kata nya santai. Membuat mataku ingin keluar dari tempatnya semula.
“Lah? Itu tadi?” Tanyaku.
“Iya, keliatan. Anak arsitektur
emang gitu, punya apa ya.. Bisa aku bilang aura yang beda.” Katanya membuatku
semakin tak mengerti apa yang ia bicarakan.
“Iya, gitu. Sodara ku juga ambil
arsitektur di ITB jadi aku bisa tau.. hehe”
Aku langsung menghembuskan napas
yang sejak tadi ku tahan. Huft. Untung saja…
“Kalo kamu ambil apa?”
Tanyaku.
“Psikologi unpad.” Setelah dia
mengatakan psikologi aku baru mengerti semuanya. Psikologi, pantes dia bisa
kaya baca pikiran. Emang kerjaanya gitu ..
“Oh.. Salam kenal ya Nataline”
Katanya sambil memamerkan senyum terbaiknya. Bibir yang merah alami dipadukan
dengan kulitnya yang putih membuatnya semakin.. waw.
***
Balkon rumah ini telihat begitu mewah saat matahari. Dengan pemandangan yang dihadapkan dengan sebuah kolam renang berwarna biru yang diterkena biasan dari beberapa lampu diatasnya membuat malam ini semakin indah. Aku berdiri sendiri ditempat ini, menikmati malam terakhirku ditempat ini. Karena esok aku akan kembali ke rumah orang tuaku.
TOK.. TOK.. TOK..
"Ya?" Kataku sambil menoleh ke arah pintu.
"Aku masuk ya?"
Terdengar suara samar dari balik pintu.
"Iya.."
Pintu putih itu terbuka secara
perlahan, seorang laki-laki mengenakan kaos putih dan celana selutut memasuki
kamarku, kamar yang aku tinggali. Dia berdiri disampingku dan menyandarkan
tubuhnya ditralis balkon. Memandangi indahnya pemandangan dari tempat
ini.
"Makasih ya Nat buat tiga
hari ini.." Ucap Emir membuka pembicaraan.
Aku menatapnya dengan senyuman,
tapi terlihat raut wajahnya berbeda. Maksudku berbeda.. Dia terlihat tak
senang.
"Besok dirumah bunda, kamu
mau ngapain?"
"Mmm.. Paling dirumah
doang.."
Hening..
Entah mengapa kali ini situasi aku dan Emir yang biasanya penuh canda tawa itu kini menjadi suatu yang diam.
"Kenapa kamu gak tinggal
disini aja? Gue, maksudku aku bisa anter jemput kamu.." Katanya masih tak
menatap mataku.
" Gak lah mir, kamukan sahabat aku bukan supir aku.."
Emir tersenyum samar. Kini tangannya telah bertengger dipingangku membuat aku merasakan sesuatu yang berbeda.
Gak! Gak boleh! Aku menggeleng keras sambil memejamkan mataku .
"Kamu kenapa Nat?"
"Gapapa Mir.."
Hening..
Gak mungkin, gak akan lah aku suka
sama sahabat ku sendiri. Mau jadi apa persahabatan kita? Hancur begitu saja? Emir semakin
dekat berdiri disampingku. Rasa yang aneh itu muncul lagi bahkan lebih besar.. Aku
takut. Tubuh kami berhadapan dibawah lampu balkon berwarna kuning emas ini.
Emir mencium keningku secara perlahan membuatku tak nyaman dengan situasi
ini.
"Aku sayang kamu--"
Bisiknya saat bibirnya meyentuh keningku.
Kami masih bertahan dalam posisi kami dan aku masih membeku mendengar perkataan itu.
"Hm.. Mir aku ngantuk.."
Kataku berbohong aku hanya ingin keluar dari situasi ini.
Emir melonggarkan jarak antara
kami. Aku langsung mengambil langkah menuju bed yang diselimuti bedcover
berwarna broken white. Aku melentangkan badanku dan menarik selimut hingga
leher. Mataku sudah terpejam tetapi Emir masih mematung dibalkon.
"Mir, nanti jangan lupa tutup
pintu balkon sama matiin lampu ya. Makasih." Kataku menutup pembicaraan
kami malam ini.
Langkah kaki terdengar dari
kejauhan dan suara pintu balkon yang tertutup. Langkah kaki itu berhenti
disampingku. Emir sedang menatapku saat ini. Meskipun mataku tertutup tapi aku
bisa merasakannya.Pipiku kini merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang hangat
menjalar hingga jantungku berdetak lebih cepat. Aku menggeliat memunggunginya
hingga ia menjauh dari tempat tidurku dan hilang dibalik pintu.
Satu.. Dua.. Tiga..
Aku membuka mata.
Aku tak berniat untuk tidur tadi. Aku hanya ingin... Menjauh? Hmm. Aku sudah berasa ada yang aneh dari Emir sejak ia menjemputku dari Bandung. Aku hanya.. Aku hanya ingin semua ini tidak berubah. Aku masih butuh kamu Mir sebagai sahabatku..
Elahh lanjut min! Bersambungnya kaya sinetron ajaaa</3.-.v
BalasHapusgila lu min, lanjut ini sama stay, he said itu dongggggg!
BalasHapus