But baby if you say you want me to stay, I’ll change my mind'Cause I don’t wanna know I’m walking awayIf you’ll be mine
Dinginnya udara pagi ini memaksaku untuk bangun lebih awal dari yang lain. Jarum pendek di dinding menunjukkan pukul 4 pagi. Waktu yang masih pagi untuk beraktivitas ditempat seperti ini. Tempat yang terdapat dipinggir pantai.
Dinginnya udara pagi ini memaksaku untuk bangun lebih awal dari yang lain. Jarum pendek di dinding menunjukkan pukul 4 pagi. Waktu yang masih pagi untuk beraktivitas ditempat seperti ini. Tempat yang terdapat dipinggir pantai.
Aku menyebakkan selimut dan berdiri mengambil jaketku yang tergantung di tangan kursi. Berlangkah kecil menuju jendela yang menghadap ke pantai secara langsung, melihat langit yang berwarna gelap. Sunrice! Batinku berkata, bahwa sebentar lagi akan muncul matahari dari ufuk timur.
Aku pun keluar dari kamar dan bertemu sebuah lorong menuju lift menuju lantai dasar. Suasana tak kalah sepi. Tak ada yang lalu lalang dilorong ini seorang pun. Aku memencet tombol tanda panah kebawah. Menunggu pintu lift ini terbuka adalah salah satu hal yang membuatku bosan. Aku memutuskan untuk mengeluarkan noteku dan memainkannya.
Ting..
Pintu Lift mulai terbuka sedikit demi sedikit. Aku menemukan seseorang dengan kaos dan jeans pendek, yang selama tiga tahun ini telah menjadi teman, oh bukan. Sahabat sejatiku di SMA.
"Nat?" Dia tersenyum memamerkan giginya yang rapih dan putih itu. "Udah bangun?"
"Udahlah.. Kalo belom gak bakal disini gue." Jawabku sambil melangkah masuk ke dalam lift.
Suasana di dalam lift tampak sepi, hanya kita berdua didalamnya. Aku ingin menekan tombol 'G' tetapi tombol itu sudah menyala. Mungkin dia yang menekannya terlebih dahulu. Berarti tujuan kita sama.
"Kenapa bangun?" Tanyanya.
"Tadi gue kedinginan di kamar, terus gue bangun dan gak bisa tidur lagi. Akhirnya gue milih mau jalan-jalan aja.." Kataku sambil memandang wajahnya yang manis rupawan.
Jujur saja, sewaktu kita masih kelas X di SMA. Dia menjadi Mr. Kampus angkatan kita. Bayangkan berapa banyak mata yang memandangku tajam saat kami berjalan, bergurau, dan berbicara bersama. Tapi, tak masalah. Selama ini didasarkan pada persahabatan, aku tidak salah apa-apa kan? Dia tak melarangku berteman dengan siapa pun, dan aku juga tak berhak melarangnya. Kami hanya saling mengingatkan. Sudah. Itu saja.
"Gue.. Mau liat sunrice nih.." Katanya dengan santai. "Mau ikut gak?"
"Iyaa! Gue juga mau liat sunrice! Kalo gitu, kita bareng aja!" Balasku dengan ceria.
Kami tiba pada lantai ground yang juga tak terlihat keramaian disini, hanya beberapa petugas yang masih berjaga. Aku sedikit berlari menuju taman belakang yang terdapat kolam renang didalamnya. Kami berjalan menuju sepasang tempat duduk dipinggir kolam yang berhadapan langsung dengan tempat terbitnya matahari.
Meskipun sinar oranye baru memancarkan sepersekian persen dari cahaya aslinya tetapi aku tetap antusias menunggu mentari itu benar-benar memancatkan sinarnya.
Dia duduk disampingku, sama sepertiku, menunggu mentari memancarkan sinarnya.
"Nat, kayanya. Tiga tahun itu cepet, banget ya.." Katanya dengan pelan.
"Cepet karena ada gue, Mir!" Kataku sambil memamerkan behel hijauku yang kemarin baru diganti.
"Pede banget lo.." Balasnya sambil menjitak kepalaku dengan gemas. Dan kami tertawa bersama.
Keheningan menyelimuti benakku.
Benar juga katanya, tiga tahun sungguh amat cepat. Aku rasa baru minggu kemarin aku dan Emir melewati masa-masa awal kita masuk di sekolah ini. Sekarang, kami sudah lulus bersama-sama.
"Lo inget gak, waktu mos, lo datengin gue, terus minta tolong buat bikinin tas dari karung beras.." Flashback Emir menjadikan suasana menjadi nyaman dan menyenangkan. Tak ada lagi galau dan gundah setiap kali aku didekatnya.
"Terus lo gak mau bikinin buat guee! Padahal lo satu-satunya temen yang gue kenal waktu mos itu!" Aku berusaha bersikap marah dengannya, tetapi hanya nada canda dan tawa yang keluar dari bibir keciku.
"Ye, lagian lo gak tau diri banget. Karung kan susah dicari.. Mana gak ada bales budinya udah gue bikinin.."
"Kan dulu gue bilang, kalo lo mau buatin gue. Gue bakal jadi sahabat lo selamanya!" Kataku membela diri.
"Mainstream kali.." Balasnya.
"Ih.. Mana ada sih yang mau ngasih persahabatan secara cuma-cuma..?" Iya, karna cuma lo yang waktu itu gue kenal, Mir. Lo yang cuma gue tau. Tanpa lo, mungkin gue gak bisa jadi seceria ini..
Matahari sedikit sudah mulai terlihat dari ufuk timur dan langit mulai memancarkan sinar oranye yang indah. Aku memandangi terus sinar tersebut.
"Nat, sebenernya gue.."
"MIR LIAT! Mataharinya mulai muncuuul!!" Kataku dengan heboh, tak memperdulikan siapa saja yang melirik ke arah ku. Ini sunrice pertama yang pernah aku liat seumur hidupku. "Keren bangeeet....!"
Aku menikmati sunrice ini berdua. Jemari kami saling bertautan, meskipun ini bukan yang pertama jemari kita saling tertautan, tetapi entah memgapa. Ada yang berbeda dari hal kecil ini.
"Coba, gue bisa terus ngobrol, bercanda dan ketawa bareng lo lagi Mir.." Kataku dengan penuh perhatian.
"Lo bisa kapan aja, Nat. Handphone gue selalu on buat lo.." Balasnya dengam cepat.
"Tapi, pasti realitanya pasti beda. Gue bakal sibuk sama kertas, pensil dan komputer. Sementara lo bakal sibuk sama jas putih, stetoskop, dan alat bedah yang lain. Jalan kit beda.." Kataku memperjelas. Meskipun ini sedih, dan tak mau aku menghancurkan situasi ini. Tetapi mulutku langsung meluncurkannya.
"Gue janji, Nat. Gue bakal sering main sama lo.." Katanya.
Keadaan taman belakang ini semakin terang oleh sinar oranye dari sang mentari. Air kolam pun terlihat segar untuk ku masuki.
"Lo janji sama gue ya, kita bakal ketemu lagi.." Katanya sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
Aku memerhatikan raut wajahnya. Dia serius, tak ada lagi air wajah bercanda dalamnya. Aku menautkan kelingkingku dengan kelingkingnya.
"Janji deh, buat kamu.." Kataku.
Tiba-tiba Emir membuka lebar-lebar tangannya yang masih menghadap ke arahku. Aku bingung, dia seperti ingin memelukku. Apa yang bisa aku perbuat?
"Apa?" Tanyaku sinis.
"Can you give me bear hug please? For the first and last time...." Pintanya.
Aku menimbang-nimbang, apa? Last time? Kenapa harus terakhir?
Aku membalas pelukannya dan masuk dalam sensasi parfumenya yang terkesan manis dan enak untuk dicium. Andai ini bisa kuabadikan untuk selamanya. Bersama seorang sahabat sejati yang tak pernah menyakiti hatiku.
Aku semakin tak sadarkan diri. Perasaanku mengatakan bahwa aku sudah berada di penghujung tempat duduk yang bersebelahan langsung dengan kolam.
BYUUURRR.
Air kolam menyempur sampai ke jalan setapak disampingnya. Aku sadar aku sedang berada didasar kolam. Aku segera naik untuk mendapatkan oksigen. Tetapi tubuhku mengatakan tubuhku ditahan oleh seseorang yang bertubuh besar.
Ah, Emir! Sial.
Aku memukul perutnya menandakan bahwa aku sudah tak punya cadangan oksigen. Dia melepaskan tubuhku. Dan aku segera naik ke permukaan air. Menghirup udara sebanyak-banyaknya. Mencari sosok sialan itu diantara hamparan permukaan air. Nihil. Aku membalikkan badan, tiba-tiba saja dia sudah berdiri tegak dibelakangku.
"Sialan lo, Mir!" kata itu langsung meluncur dari bibirku. Dia malah tertawa sekeras-kerasnya.
"Kapan lagi gue bisa nyeburin lo? Hahaha.." Dia masih saja tertawa.
Aku berdecak pinggang, dan memasang wajahku dengan tampang marah. "Ternyata ada maunya juga.. Sial.."
***
Suasana ruang makan pagi ini sangatramai. Penuh dipadati oleh teman-temanku satu angkatan. Mereka sudah duduk ditempat duduk masing-masing termasuk, aku, sudah dudum dimeja bundar yang berisikan empat orang.
Piringku sudah berisikan nasi goreng dengan telur mata sapi, beberapa sayuran dan sebuah kerupuk udang. Sesendok nasi telah masuk dalam mulutku.. Rasanya... Enak..
"Nat, tadi pagi lo berenang?" Tanya Dian, teman sekamarku. "Sama Emir?"
Aku sedikit tersedak mendengarnya. "Berenang-sama-Emir? Engga lah. Gue diceburin sama itu anak.."
"Oh.. Gue kira kalian berenang, bareng." Katanya dengan penekanan di kata terakhir yang terucap dari bibirnya. "Kalian udah jadian belom sih?"
Pertanyaan ini benar-benar membuat perutku keram manahan rasa tawa. "Enggalah, dia sahabat gue, Di.."
"Tapi kalian cocok kok.. Emir jadi masuj kedokteran UI kan? Lo mana?" Tanyanya
Aku tertegun, dia tau Emir masuk mana? Sementara aku, yang berperan sebagai sahabatnya yang setiap hari bertemu dan bercanda gurau saja tak pernah bertanya. Kenapa? Kenapa aku tak pernah menanyakan masa depannya?
Hah...
Karena.. Karena aku tak sanggup menerima kenyataan bahwa sebentar lagi aku akan berpisah darinya untuk waktu yang tak bisa ditentukan.
"Gak tau, Di.." Jawabku jujur. Meskipun aku malu mengakuinya.
"Oh.. Oke." Dian mulai menatapku tak acuh.
Mungkin dia... menjelek-jelekan aku dalam hatinya. Seorang sahabat yang terlalu egois, tidak mau memperhatikan sahabatnya demi menjaga hatinya. Menjaga hati supaya tidak terluka karena perpisahan. Perpisahan oleh seorang sahabat sejati.
***
Empat hari sudah aku lewati hari-hari bebasku dipulau dewata ini, detik-demi detik yang aku lewati bersama seratus tujuh puluh sembilan anak angkatanku aku habiskan dengan senyum, canda dan tawa. Aku memang terkenal sebagai anak yang ceria, dan selalu tersenyum dimana-mana.Tetapi mereka tak tahu.. Just becauce a person smiles all the time, doesn't meant their life is perpect. Iya, itu yang bisa aku katakan, dalam situasiku yang seperti ini.
Malam ini adalah malam terakhir. Aku duduk diantara teman-temanku melingkar menghadap sebuah api unggun yang menyala terang. Kami tertawa bersama, dan mungkin ini tawa terakhir yang bisa kita lakukan bersama-sama sebagai sebuah angkatan yang solid.
Aku dihimpit oleh Dian dan Cindy-teman satu kamarku juga. Cindy bersama Adit, pacarnya. Dan Dian duduk bersama Adrian, kata teman-teman mereka sedang pdkt. Haha. Jadi untuk beberapa jam kedepan, aku akan duduk diam diantara pasangan-pasangan ini. Aku rasa, ini akan menjadi enam puluh menit terlama dalam hidupku. Dudum diam dalam keramaian.
"NAT! Nataline!"
Aku menoleh ke arah samping kanan dan kiri, aku tak melihat ada seseorang yang memanggilku. Aku menerawang kedepan, dibalik api unggun, tetapi tak ada juga. Aku menoleh ke belakang..
"Nat! Sini..!" kata seorang laki-laki dengan kupluk dikepalanya.
Akupun berdiri, keluar dari lingkaran dan berjalan menuju sumber suara.
"Dari pada lo duduk sendiri diantara orang pacaran, mending lo sama gue.." Katanya ketika aku sampai didepannya. Wangi parfume ini tercium lagi. Wangi yang sempat tercium saat berada dipinggir kolam renang menunggu terbitnya sang mentari.
"Emir? Lo misterius banget tau gak.." Kataku. Tapi tak dia balas.
Emir langsung menggenggam jemariku yang kedinginan dengan jarinya yang hangat. Aku dibawa ke sebuah tempat dibalik batu besar yang langsung menghadap laut. Ditempat itu juga terdapat api ungun yang lebih kecil dibanding didepan sana . Dan juga beberapa orang yang duduk dibatu sambil memegang gitar atau mananan kecil. Aku lihat dari postur tubuhnya, sepertinya mereka laki-laki.
"Pinjem gitarnya,Don.." Kata Emir saat kami duduk bersila dengan bersandarkan batu besar.
Benar, aku berada ditengah teman-teman Emir yang tak kalah dengan Emir. Maksudku, tak kalah 'Gantengnya' dengan dia. Meski harus aku akui, Emir lebih charming dibanding mereka.
"Mir, kenapa kita harus misah dari mereka?" Tanyaku saat Emir membenarkan senar gitar yang sedikit kurang pas.
"Karena.. Acaranya gak jelas. Itu bukan acara angkatan, tapi acara pacaran doang." Balasnya sinis.
Aku tertawa mendengarnya. "Hahaha.. Karena lo gak punya pacarkan Mir? Hahahaha.." kataku yang masih melanjutkan tawa.
"Ye, bisa aja gue nembak dan gue berdua sama dia sekarang." Kata Emir tak mau kalah. "Tapi kalo gue berdua sama pacar gue, lo sama siapa? Yagak?" Kini giliran Emir yang tertawa.
"Heeeh!" Bantahku. Tapi memang benar... "Gue juga bisa kaya loo!"
"Yakin?"
Aku melipat tanganku bersila didepan, dan memandangnya dngan sinis. Ah, dia menang lagi..
Lama dia membenarkan senar, Emir pun memulai memetik beberapa senar dan menciptakan alunan yang indah. Meskipun aku tak tahu judul dari lagu ini apa, tapi aku suka mendengarkannya.
"Mau request lagu apa?" Tanyanya padaku yang masih duduk masih disampingnya.
"Apa yang lo bisa?" Tantangku.
"Semua gue bisa.."
"Hmm.. Better That We Break? Maroon5.." Kataku setelah beberapa detik berpikir.
"Lagu indonesia aja.."
"Hah, katanya bisa. Boong banget.."
"Bukan gitu.. Gue sih bisa. Tapi biar dapet fellnya.." Belanya. Emir memang tak mau kalah.
"Sahabat Kecil..." Judul lagu itu yang langsung keluar dari mulutku.
Emir mulai mengambil nada dan seperdetik kemudian, intro lagu sahabat kecil mulai aku kenali. Emir bernyanyi sedikit, untuk memancing aku untuk ikut bernyanyi..
Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi
Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa di beli
Bersamamu ku habiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya
Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan
Tak akan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi
Janganlah berganti
Janganlah berganti
Janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
Janganlah berganti
Janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
Oke. Emir berhasil membawaku hanyut dalam petikan gitarnya yang mengagumkan. Tanpa ku sadari kepalaku telah menempel dibahunya, sementara kantung mataku sudah membuat bendungan supada air mataku tak jatuh.
"Jangan nangis.. Gue gak bakal berganti, Nat." Katanya sambil mengusap-usap kepalaku seperti anak kecil yang takut kehilangan sebuah mainan kesayangannya.
Aku bukan takut kehilanganmu Emir. Aku takut aku kehilangan diriku yang dulu.
***
Soekarno Hatta Airport, 10 A.M.
Suasana bandara seketika dipadati oleh angkatan ku. Kami langsung menyebar keseluruh sudut-sudut ruangan. Ada yang menunggu barang, ada yang bermain handphone, bercanda gurau, dan tetap melihat lingkungan sekitar sepertiku.
"Nataline! Pulang sama siapa?"
Aku mengalihkan pandanganku ke arah kanan, ternyata seorang anak laki-laki berwajah oriental, sedikit coklat tetapi manis. Manis sekali dengan senyum yang lucu memandang kearahku. Tetapi, siapa namanya? Aku lupa.. Sepertinya anak ipa kelas lain..
"Sorry Felix, Nataline udah janji mau pulang sama gue." kata Emir yang tiba-tiba sudah berdiri didepanku, diantara kami.
"Oh, oke. Maaf menggangu acara kalian.." Dia mundur beberapa langkah dan meninggalkan kami berdua.
"Ehem.." Aku pura-pura batuk. "Emangnya.. Kita pernah janjian Mir?"
"Sebenernya sih engga.." Emir bergerak cepat berada disampingku, menggantikan posisi Felix tadi dan langsung mengantungkan lengannya dibahuku. "Dari pada lo balik sama dia, mending sama gue.. Hahaha.."
"Ihh.. Berat tau!" Aku berusaha melepaskan tangannya dari pundakku, bukannya apa. Tetapi aku malu diliat anak lain yang masih lalu lalang diantara kami. Meskipun mata mereka tak menghadap ke arah kami tapi aku yakin, mereka tau apa yang aku lakukan.
***
Sebuah mobil porsche putih berhenti secara sempurna di pos security penjaga cluster perumahan. Mobil berjalan sedikit melambat melewati rumah-rumah minimalis berlantai dua ini menuju sebuah rumah yang berada dipenghujung jalan ponderosa.
"Mau masuk gak?" Tanyaku saat rumahku berada sekitar empat rumah lagi.
"Boleh nih?" Tanya Emir balik kepadaku.
"Ye, bolehlah.. Yaudah, parkir didalem aja.."
Mobil inipun masuk dalam lingkungan rumah. Didalam garasi hanya terdapat sebuah mobil SUV hitam ber huruf BRO dibelakang nomer plat mobil ini. Berarti, kakak lagi ada diatas nih.
Aku segera mengajaknya masuk dalam rumah. Emir membantu memasukan barang-barangku ke dalam meski sudah ku larang, tetapi dia tetap membantuku.
Rumah ini tak ada yang berubah sejak terakhir kali aku tinggalkan. Emir duduk di taman belakang, sementara aku sedang membawa dua cangkir jus anggur yang ada di kulkas.
"Mir, udah cuci kaki belom? Main masukin kaki aja di kolam.." Sindirku dengan tujuan bercanda.
"Ye, emang kaki gue sehina itu."
"Hahaha...." Aku menaruh dua cangkir itu disebelahnya. Aku duduk disamping Emir sambil menenggelamkan kaki juga.
Keheningan menyelimuti kita. Jujur, aku tak ingin pergi jauh darinya.. Aku tak ingin dia pergi dari sisiku, meski untuk sekian detik saja. Ya memang, aku bilang aku egois. Menahan hak seseorang yang bukan siapa-siapa demi aku. Seorang sahabat yang tak tahu diri.
"Jadi masuk ITB, Nat?" Tanya Emir memecah keheningan.
Aku kaget, jujur aku tak pernah berbicara dengannya tentang masa depanku termasuk universitas yang telah menerimaku melewati jalur undangan.
Aku mengangguk lemah. "Lo jadi masuk UI Mir?" Sekarang, Emir mengangguk. Aku memerhatikan gelombang ombak kecil yang aku ciptakan karena kegelisahan ini.
"Stay di Jakarta dong?" Aku melihatnya sekilas. Wajahnya tenang, tak menandakan apapun. "Kayanya gue harus gulung tiker ke Bandung.."
"Lo mau pindah?" Dia langsung menatapku tajam. Seakan-akan takut akan kehilangan jejak seorang anak kecil dalam keramaian.
"Iya kayanya.. Kalo harus bolah balik Jakarta-Bandung, capek dijalan.." Kataku.
"Gue, gue mau nganterin lo kok.. Asal, lo tetep di Jakarta... Nataline.." Kata Emir langsung bicara saat aku menyelesaikan kalimatku.
"Engga lah, gue gak bakal ngerepotin sahabat gue sendiri.. Ya gak?" Aku memkul lengannya dengan satu kali gengaman tangan ku yang mungil.
"Gak lah, buat sahabat gue yang paling gue cinta, gak akan ada kata ngerepotin.."
Tiba-tiba.. Jantungku serasa berhenti saat aku mendengar kalimat "Sahabat yang paling gue cinta..." ah.. Seandainya, aku dan kamu bersama, selamanya. Mungkin luka hati ini akan semakin dalam. Sepertinya, kita diciptakan untuk saling melengkapi meski tak dapat saling memiliki... Emir.
"Lagian setiap weekend gue bakal balik kok.. Gue janji bakal sering hangout sama lo. Asal.. Traktir aja yaaa..." Kataku sambil membuat ombak yang lebih besar. Aku melemparkan senyum kearahnya. Wajah Emir telihat lesu. Entab mengapa. Padahal aku mencoba untuk bersikap biasa saja.
"i-iya..."
"Ayolah Emir.. Jangan sedih.."
"Kalo lo mau.. Gue bisa pindah ke teknik sipil, Nat. Gue sebenernya mau masuk sana.." Katanya. Aku tegun, sebegitu inginkah dia tak mau berpisah denganku? Mengapa? Kita hanya dua insan yang menjalin persahabatan yang sangat sederhana bukan?
"Gak usah lah. Itu juga cita-cita lo dari SD. Dulu lo bangga banget pake stetoskop padahal itu stetoskop plastik yang dijual dipinggir jalan.. Jangan kecewain diri lo sendirk Mir.." Aku berubah menjadi serius. "Kita janji ya.. Kita bakal ngejar impian kita masing-maing. Bukan karena paksaan, tapi karena banyak orang dibelakang, mendukung kita."
Emir mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. "Siap bos besar!" Dia mengacak-ngacak rambutku."Bersulang dulu dong buat sikap bijak lo, Nat. Kayanya ada yang tambah tua nih.."
Emir mengambil dua buah cangkir dan satu cangkir yang lain diberikab kepadaku.
"Sialan..."
Makasih ya Emir, kamu udah ngebuktiin kalau kamu bakal selalu ada buat aku. Meskipun tak bisa saling bersama, aku bakal selalu support kamu. Aku gak bakal support dari belakang, tetapi aku akan selalu berada disampingmu yang selalu menyemangatimu dari lubuk hatiku yang paling dalam..
Trimakasih untuk tiga tahun yang indah ini. Untuk persahabatan ini, untuk semua yang telah kau buat untukku begitu indah. Buat diriku susah lupa....
|
Emirya sosweet bgt... Nanti Emir jadian sama Nataline min? Apa gimanaa? Cepen lanjut yaaaa
BalasHapusMinnn jangan nunggak els yaak! Gak sabar
BalasHapusMin lanjutt ya
BalasHapusLanjutannya mana? Min? -_-
BalasHapuslanjuttttt
BalasHapusUdah sebulan min.. Masa gak dilanjutin...
BalasHapus