Malam itu adalah malam dimana
kami saling menemukan orang yang menghilang bertahun-tahun lamanya. Malam
dimana kami menceritakan semua kisah kami semenjak perpisahan kami. Malam yang
menghancurkan benteng penghalang antara kami.
Dan entahlah apa yang terjadi kedepan. Semua itu terasa sangat
menyenangkan. Namun ada sesuatu berkata berbeda di dalam hati kecilku. Sesuatu
yang harusnya tidak boleh terjadi..
Kami telah memiliki cerita
masing-masing. Cerita berbeda yang tidak bisa disatukan. Emir dengan cerita
kehidupannya dan aku pun begitu. Kita berbeda. Dia telah menjadi orang hebat
dan aku hanyalah bawahannya.
Kadang aku pun menyadari
kedekatan kami yang sudah melampaui batas antara bawahan dan atasan saat
didepan banyak orang. Aku berusaha supaya membangun benteng pertahananku supaya
aku tidak terjatuh lagi padanya. Mungkin usaha ku gagal jika hampir setial hari
aku bertemu dengannya. Aku pun tak mengerti mengapa seorang direktur utama
perusahaan sebesar miliknya harus turun tangan dalam pembuatan hotel ini.
Dan pagi ini aku sudah
membuat janji dengannya untuk melihat rumah miliknya yang sudah 80 persen
selesai digarap. Memang progress pembuatan rumah lebih cepat dibanding pembuatan hotel yang baru 30 persen.
Aku sudah tiba dirumah
miliknya beberapa menit lalu, ada beberapa tukang disana yang sedang memasang
platfom dan meletakkan berbagai macam prabotan rumah tangga. Pada awalnya Emir mengusulkan akan berangkat bersama
berhubung penginapan kami yang dekat dan tujuan kami sama, namun aku berusaha
menolaknya dengan alasan aku harus mengurus beberapa hal teknis pembangunan
rumah itu. Jadilah tiba lebih awal.
Mobilku-- maksudku mobil
dinas mewah pemberian Emir ku parkirkan didepan pintu masuk. Rumah ini tidak
mempunyai taman yang luas, namun ada beberapa pohon yang mirip dengan pohon
kelapa menjulang keatas dan rumput sebagai pagar rumah ini. Meskipun rumput dan tanaman disini masih
terlihat gersang karna baru saja dipasang namun beberapa bulan lagi juga akan
menghijau. Dibagian depan rumah ini memiliki sebuah tembok besar dan tinggi
yang berguna untuk menutupi rumah yang mayoritas dinding dalamnya terbuat dari
kaca ini dari pengguna jalan yang tidak jauh dari pintu masuk.
Langkahku kembali memasuki ruang tamu yang
luas bernuansa elegan dan glamour. Karena pada dasarnya aku memang mengangkat
tema house club. Dimana ruangan yang ada besar untuk menampung banyak orang.
Tak terlalu banyak barang-barang di ruang tamu ini hanya satu set sofa broken
white meja dan karpet. Diruang tamu juga
telah ku sediakan frame kosong yang mungkin akan diisi dengan foto keluarga
emir kelak.
Keluarga Emir, kelak.
Keluarga Emir,
Aku terdiam diruang tamu.
Bahkan membayangkannya saja
aku tidak sanggup.
Bagaimana menerima kenyataan
nantinya dia akan bersama orang lain.
Argh!
"Aduh, bu maaf. Saya
tidak melihat ibu," kata seorang tukang dengan meja besar yang sedang
dibawanya.
"Gimana sih, Pan!
Makanya jalan pake mata!"Kata tukang yang lain.
Mereka pun meletakkan mejanya
dan orang yang bisa kusimpulkan bernama 'pan' itu berusaha meminta maaf
kearahku. Ternyata mereka sedang meletakkan barang-barang pesananku. Dan tak
sengaja mereka menabrakku yang sedang melamunkannya lagi.
"Kembalilah bekerja,
kalian tidak digaji untuk menggoda boss kalian, bukan. "
Bukan kalimat tanya. Namun
kalimat suruhan.
Siapa lagi kalau bukan boss
diktator itu.
"Ba-baik pak."
"Maaf pak"
Seolah olah tersihir dengan
perkataan Emir, mereka kembali mengangkat meja itu dengan rasa takut yang bisa
ku lihat.
"hust! Apa yang kamu
lakukan!" Kataku setelah mereka benar-benar pergi dari ruang tamu ini.
"menjaga mu supaya tidak
digoda pekerja itu," ucapnya santai.
Dibalik kacamata hitam yang
ia kenakan aku bisa melihat ada kecemburuan dibola matanya yang hitam itu.
Cemburu? Hah. Berhayal kau.
"Mereka hanya menabrakku
dan meminta maaf, lalu ku datang seperti rentenir hutang dengan, wow baju serba
hitammu yang tidak pernah diganti dan kacamata hitam didalam ruangan seperti
ini," ocehku yang sudah sangat kesal dengan dirinya. Kamu. Aku akui apapun
yang ia pakai pastilah selalu pas dibadannya.
"Dan sejak kapan kau
memperhatikan pakaianku?"tanya Emir dengan penuh selidik.
"Berdebat denganmu hanya
menguras tenagaku." Kataku ku lalu mengantarku menuju dapur rumah ini yang
bergabung dengan mini bar disana.
Perabotan dapur sudah lengkap
dan masih dibungkus dengan plastik. Aku sapukan pandangan ke meja makan yang
dapat menampung enam orang sekaligus. Pemandangan dari meja makan ini pun cukup
bagus yaitu kolam renang dan taman belakang yang sangat luas jika dibandingkan
halaman didepan. Aku memutuskan untuk duduk dikursi bar yang tinggi. Pakaian
yang aku pakai sekarang cukup santai, hanya blouse hijau pastel dan rok bahan
berwarnaputih gading dan heels putih.
"Aku kira butuh waktu
berbulan bulan untuk menunggu rumah ini selesai," Kata seseorang yang aku
tahu siapa.
Dia pun duduk dikursi
sebelahku sambil meletakan dua buah sterofoam diatas meja bar. "kau pasti
belum sarapan,"
Sejak kapan ia perhatian
seperti ini, huh.
"Aku tidak biasa
sarapan," Kataku.
"Ayolah, kau ingin
terlihat seperti tulang berjalan? Jangan menyiksa tubuhmu seperti itu, aku tahu
kamu sangat sibuk. Tapi jangan melupakan kesehatanmu," Bujuknya yang
menatapku dengan tatapan lembut. Tapi pandanganku masih menyapu pada
perabotan disini. Aku masih meneliti celah yang kuanggap masih kurang pas.
"tidak, Mir."
"Baiklah," Katanya
sambil merapihkan duduknya. Dia merapihkan kemejanya dan duduk dengan tegap.
"Bagaimana kalau boss mu yang menyuruh kau makan? Kau pasti tidak akan
menolak, kan?"
Aku memutar bola mataku
kesal. "Apa apaan sih Mir, kau punya kepribadian ganda? Atau
bagaimana?"
"Ehm. Anda sedang
berbicara dengan boss anda sendiri, nona." Ia melepas kacamatanya dan
meletakannya diatas meja. Emir menatapku dengan wajah serius dan menyeramkan!
"lalu?" Tantangku
dengan kenaikan kedua telapaktanganku seolah tidak takut apapun.
"Apa anda tidak
menghargai apa yang telah diberikan boss anda? Saya kira anda seseorang yang
profesional dan segan terhadap atasannya,"
"Baiklah Boss
diktator!" Aku menyerah. Aku ambil kotak putih itu dan menemukan bubur
didalamnya. Tanpa memerlukan waktu yang lama aku berdoa lalu memakannya. Dan
sejak tadi Bossku malah memandangiku dan tidak memakan makanannya.
"kenapa kau tidak
makan?"
"Ini buatmu juga, untuk
jaga-jaga kalau kau sangat lapar dan minta tambah," ucapnya dengan wajah
polos. Sangat polos.
Oh ayolah mir!
"Kamu pikir aku gak
makan berapa taun! Hah?!"
"Mungkin lebih dari
itu," Ia masih tetap memandangku polos.
"Jangan bercanda! Cepat
makan! Kau sangat menyebalkan dengan wajah yang seperti itu!"
"Wajah yang seperti
apa?" Tanya Emir lagi dengan begitu polos.
"Wajah polosmu itu tuan!
Cepat makan atau lebih baik kau pergi dari sini! Menganggu pekerjaanku
saja!"
"baiklah cerewet. Aku
kira semua wanita akan luluh dengan wajah polosku. Mungkin dugaanku selama ini
benar kalau kau ini sebenarnya wanita jadi-jadian!"
Semua wanita? Berapa banyak wanita yang sudah ia dekati? Hah apa
urusanmu, Cat!
Tunggu? Apa dia bilang?
"APA?! WANITA JADI
JADIAN APA MAKSUDMU!" Semprotku dan beberapa nasi lembek itu maksudku
beberapa butir bubur kembali keluar dari mulutku meskipun ini sangat tidak etis
namun cukup sudah kesabaranku. "DASAAAR! BOSSS SUKA TEBAR PESON--
Uhuk,"
Al hasil aku tersedak
sejadi-jadinya.
"uhuk,uhuk.. Uhuk,
uhuk.."
"Sabar-sabar aku akan
memberikan pertolongan pertamaku!" Kata Emir dengan wajah panik. Sementara
aku terlalu sibuk terbatuk-batuk saat Emir berlari menuju dispenser.
Apa yang ia lakukan dengan
dispenser kosong itu?! Bodoh!
"Dispensernya kosong!
Sial!" Umpatnya dan berlari entah kemana meninggalkan aku yang masih
terbatuk disini.
"uhuk. Uhuk." Dan
yang aku rasakan saat ini adalah ada beberapa butir bubur itu memasuki indra
pernapasanku. Hah, sungguh menyiksaa!
Langkah deru sepatu terdengar
hingga pojok rumah ini dan beberapa saat kemuan Emir telah derdiri didelanku
sambil menyodorkan sebotol air mineral entah datangnya darimana. Ia
membukakannya untukku. Dan segera aku minum.
Seperti seseorang yang
terkena dehidrasi hebat, aku menghabiskannya hingga titik terakhir dalam
beberapa teguk saja.
"Minum mu banyak sekali
ya! Aku juga haus!" Katanya sambil terengah-engah.
Kini aku menyadari Emir
berdiri didepanku hanya beberapa senti saja dengan keringat yang mengalir mulus
dari pelipis wajahnya. Sangat... Seksi? Uh no!
"Aku tahu pria
berkeringat itu seksi, tapi kau tidak usah melihatku seperti itu,"
"Harusnya kau mengaca
saat tadi kau panik dan memarahi dispenser seperti orang bodoh!"
"Dan kau tidak menyadari
seberapa joroknya saat makanan itu keluar lagi dari mulutmu itu nona,"
"semua ini karena kau!
Andai saja kau tidak menghinaku dengan sebutan wanita jadi-jadian!"
Aku rasa wajahnya semakin
mendekat kearahku. Dan itu benar! Tanganku kini memegang kursi bar yang berada disebelahku. Takut.
"Dan andai saja kau bisa
bersikap manis didepan bossmu ini," ucapnya dengan suara bass yang
terkesan berbisik ditelingaku persis. "Pasti semuanya tak akan seperti itu
nona Catharine,"
PRANG!
"Pan! Kenapa dari tadi
kau selalu menjatuhkan sesuatu!"
Kini pandanganku dan Emir tertuju
pada kedua pekerja yang sedang memasang lampu tembak diatas meja makan.
Ternyata lampu yang ia bawa terjatuh.
Sial. Pasti mereka melihat
aku dan Emir pada posisi yang tidak enak untuk dilihat.
Dikesempatan yang sangat pas
ini aku mendorong dada Emir yang ternyata keras sekali. Oke. Dia sedikit
terkejut. Namun aku langsung menuju pekerja itu dan meninggalkannya yang masih
menatapku dengan penasaran.
"kenapa pak?"
Tanyaku yang setengah penasaran.
"Anu bu, anu.."
"Anu? Anu siapa?"
Tanyaku semakin tidak mengerti.
"Bukan bu, tadi lampunya
jatuh.."
"Oh. Apa kalian tidak
apa-apa?" tanya ku tulus.
"Hati- hati kalau
bekerja. Aku tidak ingin rumah ini hancur karna perbuatan kalian," Kata
Emir yang tiba-tiba sudah disebelahku dam tangannya bertengger dipinggangku.
"Baik pak," ucap
mereka secara bersamaan lalu mereka membersihkan beling itu dan kembali
bekerja.
"Temani aku
berkeliling,"
Tadaa. Emir sudah kembali
kesifatnya yang diktator dan berkata-kata tajam. Aku sudah tidak bisa berkutit.
Aku hanya mengangguk dan mengikuti kemana pun ia pergi.
Setelah hampir satu jam kami
memasuki setiap ruangan dirumah ini sampailah lami pada taman belakang yang
menyediakan sebuah gazebo yang berada ditengah taman yang rapuh dan teratur.
Taman ini tidak semuanya rumput namun dibagian tertentu terdapat lantai granit
yang dipasang beraturan supaya terlihat indah. Kami pun duduk didalam gazebo
itu.
Rumah yang besar. Batinku
"Bagaimana
menurutmu?" Tanya Emir yang menatap kolam yang masih kosong.
"Bukankah aku yang harus
bertanya padamu? Secara kau ini klientku!"
"Aku hanya bertanya
baik-baik nona, tidak ada kekerasan lagi disini.."
"Oh, baiklah.."
Ucapku salah tingkah melihat kelakuan Emir yang sudah mulai melunak
"Rumahmu sangat besar dan mewah. Aku rasa aku tidak akan pernah bosan
untuk tinggal dirumah ini meskipun aku harus dikurung satu tahun penuh,"
"Bagian mana yang paling
kau suka?"
"Hmm... Mungkin, ruang
keluarga yang berada disebelah meja makan itu. Terlihat klasik dengan tambahan
piano sesuai keinginanmu,"
Dan aku tidak tahu apakah
Emir dapat bermain piano atau tidak. Namun ia meminta sebuah grand piano
diketakan disuatu tempat. Dan aku pikir ruang keluarga lah yang paling cocok.
"Mengapa kau pilih
ruangan itu?"
"Karna.." Aku dan
entah siapa keluargaku kelak, dapat berkumpul diruangan itu saat malam tiba dan
kami berbagi cerita apa yang sudah kami lewati selama hari itu. Penuh canda,
tawa dan kehangatan. Dan setelah itu mendengarkan suara alunan piano sebelum
kita tidur. Entah siapa yang bermain natinya..
"Hmm?" gumamnya
yang sudah tidak sabar ingin mendengar alasanku.
"Entahlah, mungkin
sebuah piano menarik perhatian ruangan ini dibanding ruangan yang lain,"
kataku pada akhirnya. Karena aku tidak tahu harus menjawab apa. "Bagaimana
denganmu? Berikan pendapat atas rumah ini,"
"Hm. Bagus. Aku suka.
Menarik. Elegan. Namun ya.. Aku suka."
"Hanya itu?"
Dia mengangguk. "Lalu
kau mau meminta pendapat apa dariku?"
Aku membuat rancangan
rumahini mati-matian tidak tidur beberapa hari dan dia hanya menjawab dengan
sepatah dua patah kata ! Sabarkanlah hambamu ini ya Tuhan..
"Tidak. Lupakan."
aku mengendus kesal mencoba menahan amarahku. "lalu bagian mana yang kau
suka?"
"Dapur," ucapnya
pasti. "Ya, dapur dan meja bar."
Aku menaikan sebelah alisku
saat ia melihatku secara penuh.membuatku salah tingkah.
"Karna, setiap pagi aku
akan duduk manis dikursi bar sambil menunggu sarapan apapun yang ia
buat.."
"ia? Maksudmu--"
"Ia istriku, pendamping
hidupku kelak," ucapnya tidak dengan nada garu.
Oke. Aku tidak bisa memasak.
Memegangpisau pun saja aku masih sedikit kewalahan.
Hey! Yang dimaksud Emir bukan
kamu Cat!
Pendamping hidup Emir itu
jelas bukan kamu!
"Ada apa?" Tanya
Emir tiba-tiba.
"apanya apa?"
"Kau menggeleng,"
Aduh. "tidak ada apa,
hanya memikirkan sesuatu," sepertinya aku salah mengambil kata.
"memikirkan apa?"
Ia kembali bertanya.
Kamu. "Emm.. Lupa hehe.."Akhirnya aku hanya membalas
dengan cekikikan khas. Wajah Emir masih menatapku dan tersenyum simpul, wajah
yang bisa kuartikan ia masih tidak percaya dengan apa yangku katakan.
"Ceritakan apa yang
ingin kau ceritakan, berbagi keluh kesahmu atau apapun. Aku bisa menjadi
pendengar sejatimu dan mungkin aku bisa sedikit menyelesaikan masalahmu,
masalahmu masalahku juga. Masalah kita bersama.
tidak perlu sungkan. Anggap saja aku ini temanmu, teman lamamu. Bukan
bossmu."
Teman, teman lama.
Hanya teman lama..
Dia menatapku intens dan
wajahnya kembali mendekat. Aku begitu takut dan waspada hingga aku menyerah
pada keadaan. Aku memejamkan mata.
Kringkring..
Telpon! Bagus!
Aku menjauh dari wajahnya,
aku berdiri meninggalkannya dan berusaha mengambil iPhoneku-- iphone pemberian
paksa oleh Emir, dari tas tentengku.
Tanpa melihat layar handphoneku dan melihat reaksi Emir, aku langsung sentuh
layar itu dan menempelkan ke telingaku
"Halo,"
Tidak ada jawaban.
"Halo?" Sapaku.
Kringkring..
seperti ada yang janggal aku
melepas iphoneku yang dan melihat layar yang menampilkan screenlock. Tidak ada
panggilan.
Sial.
Baiklah ini pasti handphone
Emir yang nada seringnya sama sepertiku. Dan pasti dia tengah menahan tawa
dibelakang sana. Harus ditaruh mana wajahkuuu? Malu-maluin sekali kau cat!
Perlahan tapi pasti aku aku
membalikan badan dan aku sedikit terkejut saat Emir menatap kosong ponselnya
itu.
Kringkring..
Tlut.
Suara yang muncul saat ia
menyentuh layar iphonenya yang mirip denganku. Saat aku mendekat, dan melihat
panggilan telah ditolak, Emir memasukan iphonenya kembali kesaku celananya.
Aku menatap matanya dengan
setengah keberanian, ingin aku bertanya siapa yang menelpon tapi begitu lancang
kah seorang bawahan bertanya seperti itu kepada bossnya.
Hanya suasana canggung yang
menyelimuti kita, diam salin memandang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Kringkring..
Aku yakin iphone Emir
berbunyi lagi karna ponsel ku yang berada ditangan tidak bergetar.
Kringkring..
Matanya kini beralih dari
mataku. Ada kekalutan dari balik mata hitamnya itu.
"Kenapa tidak
diangkat?"
Dia melihatku sekilas dan
mengambil iphonenya dari saku celananya. Menatap layar dengan tatapan yang
tidak bisa aku artikan.
"Ranti? Siapa itu?"
Tayaku saat mataku dapat menangkap sebuah nama didalam layar tersebut.
"Ibu," ucapnya
dengan nada dingin dan terdengar ia tidak menyukai nama itu menelponnya.
"Coba diangkat dulu,
mungkin penting.." Balasku dengan nada membujuk. Sebenarnya aku tidak suka
apa yang barusan aku ucapkan karena terkesan.. Merajuk? Eoh. Oke demi keberlangsungan
keluarganya! Masalah Emir juga masalah ku, "Emir?"
Kringkring..
Mata emir yang sudah penuh
akan amarah itu menatapku sekilas lalu beranjak dari gazebo sambil menempelkan
ponselnya ditelinga.
Aku memerhatikannya dengan
lekat. Entah benar atau tidak, aku bisa melihat tubuhnya menegang dan
langkahnya membeku ditempat ia berdiri.
Ia melepaskan ponselnya dari
telinga dan menyentuh layar beberapa kali dan kembali menempelkan benda itu ke
telinganya. Tak selama telpon yang pertama ia segera mematikan sambungan dan
berjalan dengan cepat kearahku. Langkahnya lebar dan wajahnya yang.. Membuatku
takut.
Ia sampai didepan ku kami
sama-sama memandang mata lawan bicara, dia sedikit menunduk karena tubuhku
hanya sebatas hidungnya. Dari sorot matanya terpancar rasa takut, cemas atau
apalah itu. Aku tak bisa mendefinisikannya.
"Bianca," Satu kata
yang sudah lebih dari cukup aku mengetahui alasan dari semua kecemasan Emir
saat ini. "Dia masuk rumah sakit,"
Aku masih menatapnya, menahan
air mata ini supaya tidak jatuh. Aku tak mengerti kenapa air mata ini bisa
muncul saat ia mengucapkan nama itu.
"Lalu apa yang kau
lakukan disini?!" Kataku dengan tidak sadar. Ada nada membentak disana dan
Emir sampai tersentak mendengarnya. "Cepat kau pergi!! Susul Bianca!"
"Apa kau yakin aku harus
menemuinya?"
"Kamu manusia paling..
Arkh! Itu calon-istri-mu-tuan-diktator!"
"Aku tidak yakin.."
"Kau laki-laki paling
jahat yang pernah aku kenal, Mir!"
Dia kemudian berbalik dan
melangkah pergi, baru beberapa langkah aku baru menyadari drama apa yang baru
saja terjadi. Otak dan alat indraku kini sudah tak singkron. Dia tiba-tiba diam
ditempat, menolehkan kepalanya sekilas dan berkata "aku akan kembali
secepatnya," Lalu ia benar-benar
hilang dibalik pintu pembatas rumah belakang tanpa menoleh kebelakang lagi.
Bodoh!
Aku merutuki bibirku sendiri
yang dengan lancang menyuruh boss ku untuk menemui orang yang paling ia benci.
Oke meskipun aku tidak terlalu mengetahui secara detail apa masalah mereka..
Tapi setidaknya aku tahu secara garis besar bahwa Bianca adalah calon
Emir.
Dan yang saat ini aku
rasakan, kepala yang sangat pening dan luka yang kembali terkuak.
Emir terlihat begitu panik
dan.. Entah. Mungkin tak ada salahnya aku mengoloknya tadi, demi kebaikannya.
Meskipun dia.. sangat terlihat kacau. Dia meninggalkanku, lagi.
Bodoh!
Baru aku sadar, aku baru
melihat wajah Emir sekhawatir tadi!
Aku pikir dengan semua sikap
manisnya..
Kami akan..
Bodoh!
Kau bukan siapa-siapanya!
Kau hanya bawahannya!
Jangan berhayal lebih!
Mata ini sudah tak dapat
menahan lagi seluruh rasa sakit ini, dan perlahan pipiku sudah mengalirkan
cairan bening dari mataku.
Masalahku, adalah masalahmu.
Bagaimana kalau masalahku adalah kamu? Kamu yang bersikap manis kepadaku, kamu yang bisa
membuatku jengkel, kamu dengan sikapmu yang berubah-ubah. Semua tentangmu. Apa
yang akan kau lakukan?! Kau adalah masalah yang terbesar dalam hidupku.
"Dia masuk rumah
sakit," kalimat tu berputar-putar
dikepalaku.
Dia istriku, pendamping
hidupku kelak..
Kalimat beberapa menit yang
lalu sebelum telpon itu berdering dan mampu memporakporandakan suasana hati
kami berdua.
Semua ini terlalu sulit untuk
ku diterima.
Kenyataan bahwa Emir dan
Bianca...
Semua menjadi gelap tanpa celah.
Dan aku tak bisa
mengendalikan kesadaranku.
***
Jangan Lupa comment ya guys! :) Isinya bisa tentang:
-Isi hati kamu
-Kritik/saran
-Pesan/kesan
-Atau yang lain juga boleh
Maaf jika terjadi salah kata ya:)
Maaf juga lama banget gak di update
Tapi juli ini diusahain selesai:D
Thanks For Reading!
ditunggu lanjutannya terus minn
BalasHapus