Jumat, Oktober 16, 2015

EmirLoveStory: "Stay, He Said" - PART 13


Malam itu adalah malam dimana kami saling menemukan orang yang menghilang bertahun-tahun lamanya. Malam dimana kami menceritakan semua kisah kami semenjak perpisahan kami. Malam yang menghancurkan benteng penghalang antara kami.  Dan entahlah apa yang terjadi kedepan. Semua itu terasa sangat menyenangkan. Namun ada sesuatu berkata berbeda di dalam hati kecilku. Sesuatu yang harusnya tidak boleh terjadi..

Kami telah memiliki cerita masing-masing. Cerita berbeda yang tidak bisa disatukan. Emir dengan cerita kehidupannya dan aku pun begitu. Kita berbeda. Dia telah menjadi orang hebat dan aku hanyalah bawahannya.

Kadang aku pun menyadari kedekatan kami yang sudah melampaui batas antara bawahan dan atasan saat didepan banyak orang. Aku berusaha supaya membangun benteng pertahananku supaya aku tidak terjatuh lagi padanya. Mungkin usaha ku gagal jika hampir setial hari aku bertemu dengannya. Aku pun tak mengerti mengapa seorang direktur utama perusahaan sebesar miliknya harus turun tangan dalam pembuatan hotel ini.
Dan pagi ini aku sudah membuat janji dengannya untuk melihat rumah miliknya yang sudah 80 persen selesai digarap. Memang progress pembuatan rumah lebih cepat dibanding pembuatan hotel yang baru 30 persen.

Aku sudah tiba dirumah miliknya beberapa menit lalu, ada beberapa tukang disana yang sedang memasang platfom dan meletakkan berbagai macam prabotan rumah tangga. Pada awalnya  Emir mengusulkan akan berangkat bersama berhubung penginapan kami yang dekat dan tujuan kami sama, namun aku berusaha menolaknya dengan alasan aku harus mengurus beberapa hal teknis pembangunan rumah itu. Jadilah tiba lebih awal.




Mobilku-- maksudku mobil dinas mewah pemberian Emir ku parkirkan didepan pintu masuk. Rumah ini tidak mempunyai taman yang luas, namun ada beberapa pohon yang mirip dengan pohon kelapa menjulang keatas dan rumput sebagai pagar rumah ini.  Meskipun rumput dan tanaman disini masih terlihat gersang karna baru saja dipasang namun beberapa bulan lagi juga akan menghijau. Dibagian depan rumah ini memiliki sebuah tembok besar dan tinggi yang berguna untuk menutupi rumah yang mayoritas dinding dalamnya terbuat dari kaca ini dari pengguna jalan yang tidak jauh dari pintu masuk.

 Langkahku kembali memasuki ruang tamu yang luas bernuansa elegan dan glamour. Karena pada dasarnya aku memang mengangkat tema house club. Dimana ruangan yang ada besar untuk menampung banyak orang. Tak terlalu banyak barang-barang di ruang tamu ini hanya satu set sofa broken white meja dan karpet.  Diruang tamu juga telah ku sediakan frame kosong yang mungkin akan diisi dengan foto keluarga emir kelak.

Keluarga Emir, kelak.

Keluarga Emir,

Aku terdiam diruang tamu.

Bahkan membayangkannya saja aku tidak sanggup.

Bagaimana menerima kenyataan nantinya dia akan bersama orang lain.

Argh!

"Aduh, bu maaf. Saya tidak melihat ibu," kata seorang tukang dengan meja besar yang sedang dibawanya.

"Gimana sih, Pan! Makanya jalan pake mata!"Kata tukang yang lain.

Mereka pun meletakkan mejanya dan orang yang bisa kusimpulkan bernama 'pan' itu berusaha meminta maaf kearahku. Ternyata mereka sedang meletakkan barang-barang pesananku. Dan tak sengaja mereka menabrakku yang sedang melamunkannya lagi.

"Kembalilah bekerja, kalian tidak digaji untuk menggoda boss kalian, bukan. "

Bukan kalimat tanya. Namun kalimat suruhan.

Siapa lagi kalau bukan boss diktator itu.

"Ba-baik pak."

"Maaf pak"

Seolah olah tersihir dengan perkataan Emir, mereka kembali mengangkat meja itu dengan rasa takut yang bisa ku lihat.

"hust! Apa yang kamu lakukan!" Kataku setelah mereka benar-benar pergi dari ruang tamu ini.

"menjaga mu supaya tidak digoda pekerja itu," ucapnya santai.

Dibalik kacamata hitam yang ia kenakan aku bisa melihat ada kecemburuan dibola matanya yang hitam itu. Cemburu? Hah. Berhayal kau.

"Mereka hanya menabrakku dan meminta maaf, lalu ku datang seperti rentenir hutang dengan, wow baju serba hitammu yang tidak pernah diganti dan kacamata hitam didalam ruangan seperti ini," ocehku yang sudah sangat kesal dengan dirinya. Kamu. Aku akui apapun yang ia pakai pastilah selalu pas dibadannya.

"Dan sejak kapan kau memperhatikan pakaianku?"tanya Emir dengan penuh selidik.

"Berdebat denganmu hanya menguras tenagaku." Kataku ku lalu mengantarku menuju dapur rumah ini yang bergabung dengan mini bar disana.

Perabotan dapur sudah lengkap dan masih dibungkus dengan plastik. Aku sapukan pandangan ke meja makan yang dapat menampung enam orang sekaligus. Pemandangan dari meja makan ini pun cukup bagus yaitu kolam renang dan taman belakang yang sangat luas jika dibandingkan halaman didepan. Aku memutuskan untuk duduk dikursi bar yang tinggi. Pakaian yang aku pakai sekarang cukup santai, hanya blouse hijau pastel dan rok bahan berwarnaputih gading dan heels putih.

"Aku kira butuh waktu berbulan bulan untuk menunggu rumah ini selesai," Kata seseorang yang aku tahu siapa.

Dia pun duduk dikursi sebelahku sambil meletakan dua buah sterofoam diatas meja bar. "kau pasti belum sarapan,"

Sejak kapan ia perhatian seperti ini, huh.

"Aku tidak biasa sarapan," Kataku.

"Ayolah, kau ingin terlihat seperti tulang berjalan? Jangan menyiksa tubuhmu seperti itu, aku tahu kamu sangat sibuk. Tapi jangan melupakan kesehatanmu," Bujuknya yang menatapku dengan tatapan lembut. Tapi pandanganku masih menyapu pada perabotan disini. Aku masih meneliti celah yang kuanggap masih kurang pas.

"tidak, Mir."

"Baiklah," Katanya sambil merapihkan duduknya. Dia merapihkan kemejanya dan duduk dengan tegap. "Bagaimana kalau boss mu yang menyuruh kau makan? Kau pasti tidak akan menolak, kan?"

Aku memutar bola mataku kesal. "Apa apaan sih Mir, kau punya kepribadian ganda? Atau bagaimana?"

"Ehm. Anda sedang berbicara dengan boss anda sendiri, nona." Ia melepas kacamatanya dan meletakannya diatas meja. Emir menatapku dengan wajah serius dan menyeramkan!

"lalu?" Tantangku dengan kenaikan kedua telapaktanganku seolah tidak takut apapun.

"Apa anda tidak menghargai apa yang telah diberikan boss anda? Saya kira anda seseorang yang profesional dan segan terhadap atasannya,"

"Baiklah Boss diktator!" Aku menyerah. Aku ambil kotak putih itu dan menemukan bubur didalamnya. Tanpa memerlukan waktu yang lama aku berdoa lalu memakannya. Dan sejak tadi Bossku malah memandangiku dan tidak memakan makanannya.

"kenapa kau tidak makan?"

"Ini buatmu juga, untuk jaga-jaga kalau kau sangat lapar dan minta tambah," ucapnya dengan wajah polos. Sangat polos.

Oh ayolah mir!

"Kamu pikir aku gak makan berapa taun! Hah?!"

"Mungkin lebih dari itu," Ia masih tetap memandangku polos.

"Jangan bercanda! Cepat makan! Kau sangat menyebalkan dengan wajah yang seperti itu!"

"Wajah yang seperti apa?" Tanya Emir lagi dengan begitu polos.

"Wajah polosmu itu tuan! Cepat makan atau lebih baik kau pergi dari sini! Menganggu pekerjaanku saja!"

"baiklah cerewet. Aku kira semua wanita akan luluh dengan wajah polosku. Mungkin dugaanku selama ini benar kalau kau ini sebenarnya wanita jadi-jadian!"

Semua wanita? Berapa banyak wanita yang sudah ia dekati? Hah apa urusanmu, Cat!

Tunggu? Apa dia bilang?

"APA?! WANITA JADI JADIAN APA MAKSUDMU!" Semprotku dan beberapa nasi lembek itu maksudku beberapa butir bubur kembali keluar dari mulutku meskipun ini sangat tidak etis namun cukup sudah kesabaranku. "DASAAAR! BOSSS SUKA TEBAR PESON-- Uhuk,"

Al hasil aku tersedak sejadi-jadinya.

"uhuk,uhuk.. Uhuk, uhuk.."

"Sabar-sabar aku akan memberikan pertolongan pertamaku!" Kata Emir dengan wajah panik. Sementara aku terlalu sibuk terbatuk-batuk saat Emir berlari menuju dispenser.

Apa yang ia lakukan dengan dispenser kosong itu?! Bodoh!

"Dispensernya kosong! Sial!" Umpatnya dan berlari entah kemana meninggalkan aku yang masih terbatuk disini.

"uhuk. Uhuk." Dan yang aku rasakan saat ini adalah ada beberapa butir bubur itu memasuki indra pernapasanku. Hah, sungguh menyiksaa!

Langkah deru sepatu terdengar hingga pojok rumah ini dan beberapa saat kemuan Emir telah derdiri didelanku sambil menyodorkan sebotol air mineral entah datangnya darimana. Ia membukakannya untukku. Dan segera aku minum.

Seperti seseorang yang terkena dehidrasi hebat, aku menghabiskannya hingga titik terakhir dalam beberapa teguk saja.

"Minum mu banyak sekali ya! Aku juga haus!" Katanya sambil terengah-engah.

Kini aku menyadari Emir berdiri didepanku hanya beberapa senti saja dengan keringat yang mengalir mulus dari pelipis wajahnya. Sangat... Seksi? Uh no!

"Aku tahu pria berkeringat itu seksi, tapi kau tidak usah melihatku seperti itu,"

"Harusnya kau mengaca saat tadi kau panik dan memarahi dispenser seperti orang bodoh!"

"Dan kau tidak menyadari seberapa joroknya saat makanan itu keluar lagi dari mulutmu itu nona,"

"semua ini karena kau! Andai saja kau tidak menghinaku dengan sebutan wanita jadi-jadian!"
Aku rasa wajahnya semakin mendekat kearahku. Dan itu benar! Tanganku kini memegang kursi bar yang  berada disebelahku. Takut.

"Dan andai saja kau bisa bersikap manis didepan bossmu ini," ucapnya dengan suara bass yang terkesan berbisik ditelingaku persis. "Pasti semuanya tak akan seperti itu nona Catharine,"

PRANG!

"Pan! Kenapa dari tadi kau selalu menjatuhkan sesuatu!"

Kini pandanganku dan Emir tertuju pada kedua pekerja yang sedang memasang lampu tembak diatas meja makan. Ternyata lampu yang ia bawa terjatuh.

Sial. Pasti mereka melihat aku dan Emir pada posisi yang tidak enak untuk dilihat.
Dikesempatan yang sangat pas ini aku mendorong dada Emir yang ternyata keras sekali. Oke. Dia sedikit terkejut. Namun aku langsung menuju pekerja itu dan meninggalkannya yang masih menatapku dengan penasaran.

"kenapa pak?" Tanyaku yang setengah penasaran.

"Anu bu, anu.."

"Anu? Anu siapa?" Tanyaku semakin tidak mengerti.

"Bukan bu, tadi lampunya jatuh.."

"Oh. Apa kalian tidak apa-apa?" tanya ku tulus.

"Hati- hati kalau bekerja. Aku tidak ingin rumah ini hancur karna perbuatan kalian," Kata Emir yang tiba-tiba sudah disebelahku dam tangannya bertengger dipinggangku.

"Baik pak," ucap mereka secara bersamaan lalu mereka membersihkan beling itu dan kembali bekerja.

"Temani aku berkeliling,"

Tadaa. Emir sudah kembali kesifatnya yang diktator dan berkata-kata tajam. Aku sudah tidak bisa berkutit. Aku hanya mengangguk dan mengikuti kemana pun ia pergi.

Setelah hampir satu jam kami memasuki setiap ruangan dirumah ini sampailah lami pada taman belakang yang menyediakan sebuah gazebo yang berada ditengah taman yang rapuh dan teratur. Taman ini tidak semuanya rumput namun dibagian tertentu terdapat lantai granit yang dipasang beraturan supaya terlihat indah. Kami pun duduk didalam gazebo itu.

Rumah yang besar. Batinku

"Bagaimana menurutmu?" Tanya Emir yang menatap kolam yang masih kosong.

"Bukankah aku yang harus bertanya padamu? Secara kau ini klientku!"

"Aku hanya bertanya baik-baik nona, tidak ada kekerasan lagi disini.."

"Oh, baiklah.." Ucapku salah tingkah melihat kelakuan Emir yang sudah mulai melunak 

"Rumahmu sangat besar dan mewah. Aku rasa aku tidak akan pernah bosan untuk tinggal dirumah ini meskipun aku harus dikurung satu tahun penuh,"

"Bagian mana yang paling kau suka?"

"Hmm... Mungkin, ruang keluarga yang berada disebelah meja makan itu. Terlihat klasik dengan tambahan piano sesuai keinginanmu,"

Dan aku tidak tahu apakah Emir dapat bermain piano atau tidak. Namun ia meminta sebuah grand piano diketakan disuatu tempat. Dan aku pikir ruang keluarga lah yang paling cocok.

"Mengapa kau pilih ruangan itu?"

"Karna.." Aku dan entah siapa keluargaku kelak, dapat berkumpul diruangan itu saat malam tiba dan kami berbagi cerita apa yang sudah kami lewati selama hari itu. Penuh canda, tawa dan kehangatan. Dan setelah itu mendengarkan suara alunan piano sebelum kita tidur. Entah siapa yang bermain natinya..

"Hmm?" gumamnya yang sudah tidak sabar ingin mendengar alasanku.

"Entahlah, mungkin sebuah piano menarik perhatian ruangan ini dibanding ruangan yang lain," kataku pada akhirnya. Karena aku tidak tahu harus menjawab apa. "Bagaimana denganmu? Berikan pendapat atas rumah ini,"

"Hm. Bagus. Aku suka. Menarik. Elegan. Namun ya.. Aku suka."

"Hanya itu?"

Dia mengangguk. "Lalu kau mau meminta pendapat apa dariku?"

Aku membuat rancangan rumahini mati-matian tidak tidur beberapa hari dan dia hanya menjawab dengan sepatah dua patah kata ! Sabarkanlah hambamu ini ya Tuhan..

"Tidak. Lupakan." aku mengendus kesal mencoba menahan amarahku. "lalu bagian mana yang kau suka?"

"Dapur," ucapnya pasti. "Ya, dapur dan meja bar."

Aku menaikan sebelah alisku saat ia melihatku secara penuh.membuatku salah tingkah.

"Karna, setiap pagi aku akan duduk manis dikursi bar sambil menunggu sarapan apapun yang ia buat.."

"ia? Maksudmu--"

"Ia istriku, pendamping hidupku kelak," ucapnya tidak dengan nada garu.

Oke. Aku tidak bisa memasak. Memegangpisau pun saja aku masih sedikit kewalahan.


Hey! Yang dimaksud Emir bukan kamu Cat!

Pendamping hidup Emir itu jelas bukan kamu!

"Ada apa?" Tanya Emir tiba-tiba.

"apanya apa?"

"Kau menggeleng,"

Aduh. "tidak ada apa, hanya memikirkan sesuatu," sepertinya aku salah mengambil kata.

"memikirkan apa?" Ia kembali bertanya.

Kamu. "Emm.. Lupa hehe.."Akhirnya aku hanya membalas dengan cekikikan khas. Wajah Emir masih menatapku dan tersenyum simpul, wajah yang bisa kuartikan ia masih tidak percaya dengan apa yangku katakan.

"Ceritakan apa yang ingin kau ceritakan, berbagi keluh kesahmu atau apapun. Aku bisa menjadi pendengar sejatimu dan mungkin aku bisa sedikit menyelesaikan masalahmu, masalahmu masalahku juga. Masalah kita bersama.  tidak perlu sungkan. Anggap saja aku ini temanmu, teman lamamu. Bukan bossmu."

Teman, teman lama.

Hanya teman lama..

Dia menatapku intens dan wajahnya kembali mendekat. Aku begitu takut dan waspada hingga aku menyerah pada keadaan. Aku memejamkan mata.

Kringkring..

Telpon! Bagus!

Aku menjauh dari wajahnya, aku berdiri meninggalkannya dan berusaha mengambil iPhoneku-- iphone pemberian paksa oleh Emir,  dari tas tentengku. Tanpa melihat layar handphoneku dan melihat reaksi Emir, aku langsung sentuh layar itu dan menempelkan ke telingaku

"Halo,"

Tidak ada jawaban.

"Halo?" Sapaku.

Kringkring..

seperti ada yang janggal aku melepas iphoneku yang dan melihat layar yang menampilkan screenlock. Tidak ada panggilan.

Sial.

Baiklah ini pasti handphone Emir yang nada seringnya sama sepertiku. Dan pasti dia tengah menahan tawa dibelakang sana. Harus ditaruh mana wajahkuuu? Malu-maluin sekali kau cat!
Perlahan tapi pasti aku aku membalikan badan dan aku sedikit terkejut saat Emir menatap kosong ponselnya itu.

Kringkring..

Tlut.

Suara yang muncul saat ia menyentuh layar iphonenya yang mirip denganku. Saat aku mendekat, dan melihat panggilan telah ditolak, Emir memasukan iphonenya kembali kesaku celananya.

Aku menatap matanya dengan setengah keberanian, ingin aku bertanya siapa yang menelpon tapi begitu lancang kah seorang bawahan bertanya seperti itu kepada bossnya.
Hanya suasana canggung yang menyelimuti kita, diam salin memandang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Kringkring..

Aku yakin iphone Emir berbunyi lagi karna ponsel ku yang berada ditangan tidak bergetar.

Kringkring..

Matanya kini beralih dari mataku. Ada kekalutan dari balik mata hitamnya itu.

"Kenapa tidak diangkat?"

Dia melihatku sekilas dan mengambil iphonenya dari saku celananya. Menatap layar dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan.

"Ranti? Siapa itu?" Tayaku saat mataku dapat menangkap sebuah nama didalam layar tersebut.

"Ibu," ucapnya dengan nada dingin dan terdengar ia tidak menyukai nama itu menelponnya.

"Coba diangkat dulu, mungkin penting.." Balasku dengan nada membujuk. Sebenarnya aku tidak suka apa yang barusan aku ucapkan karena terkesan.. Merajuk? Eoh. Oke demi keberlangsungan keluarganya! Masalah Emir juga masalah ku, "Emir?"

Kringkring..

Mata emir yang sudah penuh akan amarah itu menatapku sekilas lalu beranjak dari gazebo sambil menempelkan ponselnya ditelinga.

Aku memerhatikannya dengan lekat. Entah benar atau tidak, aku bisa melihat tubuhnya menegang dan langkahnya membeku ditempat ia berdiri.

Ia melepaskan ponselnya dari telinga dan menyentuh layar beberapa kali dan kembali menempelkan benda itu ke telinganya. Tak selama telpon yang pertama ia segera mematikan sambungan dan berjalan dengan cepat kearahku. Langkahnya lebar dan wajahnya yang.. Membuatku takut.

Ia sampai didepan ku kami sama-sama memandang mata lawan bicara, dia sedikit menunduk karena tubuhku hanya sebatas hidungnya. Dari sorot matanya terpancar rasa takut, cemas atau apalah itu. Aku tak bisa mendefinisikannya.

"Bianca," Satu kata yang sudah lebih dari cukup aku mengetahui alasan dari semua kecemasan Emir saat ini. "Dia masuk rumah sakit,"

Aku masih menatapnya, menahan air mata ini supaya tidak jatuh. Aku tak mengerti kenapa air mata ini bisa muncul saat ia mengucapkan nama itu.

"Lalu apa yang kau lakukan disini?!" Kataku dengan tidak sadar. Ada nada membentak disana dan Emir sampai tersentak mendengarnya. "Cepat kau pergi!! Susul Bianca!"

"Apa kau yakin aku harus menemuinya?"

"Kamu manusia paling.. Arkh! Itu calon-istri-mu-tuan-diktator!"

"Aku tidak yakin.."

"Kau laki-laki paling jahat yang pernah aku kenal, Mir!"

Dia kemudian berbalik dan melangkah pergi, baru beberapa langkah aku baru menyadari drama apa yang baru saja terjadi. Otak dan alat indraku kini sudah tak singkron. Dia tiba-tiba diam ditempat, menolehkan kepalanya sekilas dan berkata "aku akan kembali secepatnya,"  Lalu ia benar-benar hilang dibalik pintu pembatas rumah belakang tanpa menoleh kebelakang lagi.

Bodoh!

Aku merutuki bibirku sendiri yang dengan lancang menyuruh boss ku untuk menemui orang yang paling ia benci. Oke meskipun aku tidak terlalu mengetahui secara detail apa masalah mereka.. Tapi setidaknya aku tahu secara garis besar bahwa Bianca adalah calon Emir.

Dan yang saat ini aku rasakan, kepala yang sangat pening dan luka yang kembali terkuak.

Emir terlihat begitu panik dan.. Entah. Mungkin tak ada salahnya aku mengoloknya tadi, demi kebaikannya. Meskipun dia.. sangat terlihat kacau. Dia meninggalkanku, lagi.

Bodoh!

Baru aku sadar, aku baru melihat wajah Emir sekhawatir tadi!

Aku pikir dengan semua sikap manisnya..

Kami akan..

Bodoh!

Kau bukan siapa-siapanya!

Kau hanya bawahannya!

Jangan berhayal lebih!

Mata ini sudah tak dapat menahan lagi seluruh rasa sakit ini, dan perlahan pipiku sudah mengalirkan cairan bening dari mataku.

Masalahku, adalah masalahmu. Bagaimana kalau masalahku adalah kamu? Kamu yang  bersikap manis kepadaku, kamu yang bisa membuatku jengkel, kamu dengan sikapmu yang berubah-ubah. Semua tentangmu. Apa yang akan kau lakukan?! Kau adalah masalah yang terbesar dalam hidupku.

"Dia masuk rumah sakit," kalimat tu berputar-putar dikepalaku.

Dia istriku, pendamping hidupku kelak..

Kalimat beberapa menit yang lalu sebelum telpon itu berdering dan mampu memporakporandakan suasana hati kami berdua.

Semua ini terlalu sulit untuk ku diterima.

Kenyataan bahwa Emir dan Bianca...

 Semua menjadi gelap tanpa celah.


Dan aku tak bisa mengendalikan kesadaranku. 



***

Jangan Lupa comment ya guys! :) Isinya bisa tentang:
-Isi hati kamu
-Kritik/saran
-Pesan/kesan
-Atau yang lain juga boleh

Maaf jika terjadi salah kata ya:)
Maaf juga lama banget gak di update
Tapi juli ini diusahain selesai:D
Thanks For Reading!  

1 komentar: