Aku tiba pukul sembilan malam,
gerbang terlihat rapat tertutup, begitu pula dengan pintu luar. Suara
nyaring dari siaran televisi tak terdengar saat aku masuk ruang tamu.
Biasanya, Kai atau Emir masih selonjoran di sofa menunggu siaran
langsung liga inggris atau spanyol. Aku beranikan diri untuk melihat ke
taman belakang, kosong. Aku melangkah menuju kamar Kai, dikunci. Begitu
pula kamar Emir yang bersebelahan. Rumah ini sepi. Sangat. Pasti bibi
sudah tidur. Aku tak ingin mengganggunya, mungkin besok, keadaan akan
lebih baik.
Toktoktok..
Sudah dua hari pintu kamar Emir
dan Kai terkunci rapat. Aneh. Mereka tak pernah melakukan hal seperti
ini sebelumnya. Ini membuat aku sangat gerah.
"Bibi.." Panggilku saat aku berada di dapur.
"Ya non?" Balasnya.
"Bi, kamar Emir sama adiknya dikunci gitu. Bibi tau kemana?" Tanyaku. Bibi terlihat menghindari tatapan mataku yang tajam. Sesuatu yang janggal.. "Bi?" Alisku terangkat satu.
"Den Emir sama adiknya pergi
non," Bibi menjelaskan dengan sangat lamban dan ragu-ragu untuk
menceritakannya. "Bawa koper yang gede keluar--"
"Mereka kemana?!" Aku memotong penjelasan Bibi, aku sangat khawatir.
"Kunci kamar mereka dimana Bi?" Pertanyaanku dibalas dengan tingkah laku Bibi yang menunjuk kearah meja kecil disebelah pintu utama. Aku jarang menggunakan meja itu, kecuali untuk menaruh tanaman hias.
Aku langsung menyambar dua kunci
itu dan langsung menuju kamar. Kamar Kai, kosong. Maksud ku kosong, Kai
tak ada disini. Lemari baju terbuka tanpa meninggalkan sepotong
pakaian. Bedcover dan selimut yang berantakan, terbentang diatas
masterbed. Jendela yang tertutup rapat dan lampu yang mungkin tidak
dimatikan sejak dua hari lalu. Jauh berbeda dengan kamar Kai, kamar Emir
terlihat rapih seperti saat dia menempati kamar ini. Lampu mati, hanya
sinar yang melewati cela-cela tirai yang terbuka untuk menerangi ruangan
ini. Springbed dan selimut terlipat rapih diatas masterbed. Tunggu
sebentar.. Ada sebuah benda diatas selimut itu.. Aku mendekat, semakin
dekat. Aku melihat sebuah surat yang terlihat rapih. Ah.. Sebuah surat,
lagi? Aku sudah cukup muak dengan surat ini Emir.
Maaf Van, selama di Jakarta aku
dan Kai banyak merepotkan kamu. Mungkin kehadiran kami membawa masalah
buatmu dan keluargamu. Gak usah basa-basi lagi, aku ingin pamit. Kamu
pasti udah tau dari Kai soal kontrak kerja aku dengan club disana. Aku
akan menetap disana. Jadi, kamu bisa melakukan apa saja semau mu tanpa
aku larang-larang lagi. Aku tahu aku terlalu overprotective, seperti
yang kamu bilang. Tapi itu semua demi kebaikan kamu. Selamat tinggal
Vanny, aku tak akan mengganggu kehidupan kamu lagi.
Deg-- Suasana kamar berubah panas. Keringat bercucuran begitu saja. Aku mematung.
Emir! Ini tulisan Emir!
Aku melendetkan diri pada tembok,
lututku tak mampu lagi menopang tubuhku yang semakin berat dengan air
mata. Lama kelamaan aku terduduk dengan lutut aku peluk serta gengaman
yang sudah berisi kertas lecek dari Emir tadi.
Aku benci sikap Emir yang seperti
ini! Terlalu chilldish. Dia pergi meninggalkan aku sendiri, dengan
setumpuk masalah yang tak bisa aku seorang diri aku selesaikan. Dia tak
tahu apa? Aku sekarang tinggal sebatang kara disini! Papa sudah pergi
beberapa tahun yang lalu! Dan Mama baru minggu lalu. Sekarang kamu juga
mau ikut pergi, Mir? Mau jadi apa aku nanti? Gelandangan? Hah. Kacau..
Aku masih membutuhkan kamu Emir, aku sayang kamu. Kamu gak tau rasanya
ditinggal seseorang yang kamu cintai kan? Maaf kalau aku terlalu egois,
aku selalu menentang kalimatmu. Semua itu aku lakukan karna aku tak mau
lagi jatuh dalam lubang yang sama. Aku harus memastikan hubungan kita,
Emir. Aku tak mau kehilangan kamu lagi. Aku mau kita serius, bukan
main-main lagi!
Ternyata dia tak jauh berbeda
dengan Emir-Emir sebelumnya. Selalu pergi meninggalkan masalah-masalah
yang masih menumpuk untuk aku selesaikan sendiri. Dia pergi meninggalkan
aku seorang diri. Sekarang sudah jelas, aku terlalu berharap banyak
padanya. Dia Emir, dan tetap sama dengan Emir-Emir zaman kami SMP
ataupun SMA. Dia Emir, seorang pengecut.
***
Aku setengah berlari menuju
kamar dilantai dua. Suara rintihan terdengar hingga luar ruangan
tersebut. Pintu yang terbuka membuat aku gampang untuk masuk kedalamnya
dan melihat sosok perembuan yang sedang memeluk kedua lututnya, dengan
jemari yang menggenggam sebuah kertas. Aku yakin itu dari Emir..
Untuk beberapa saat, aku membiarkan dia terdiam dan terenyak dalam pikirannya.
"Vanny.. Aku tau rasanya
ditinggal orang yang aku sayang.." Kata ku untuk menenangkan dia. Air
matanya terus mengalir, untuk yang ke tiga kalinya aku melihat seorang
yang selama ini aku anggap tegar, menangis didepanku hanya gara-gara
laki-laki. Aku menyentuh pungunggnya, mencoba memberi ketenangan untuk
dirinya.
"Tapi kalau itu yang terbaik untuk dia, kenapa tidak?" Lanjutku.
"Aku yakin, disaat kita melihat
orang yang kita sayang merasa senang. Kita juga akan senang.. Semua demi
kebaikan dia, Van.." Kalimat ini tulus dari dalam hatiku.
"Kita gak boleh egois Vanny.."
Seperti aku Van, aku rela kamu bersama Emir. Jujur, aku sangat rela,
karena saat kamu bersama dia, kamu terlihat lebih ceria Van. Mata kamu
tak bisa berbohong. Dan disaat kamu sedang ada dipuncak kebahagiaanmu,
Emir harus pergi untuk yang kesekian kali. Aku tak tahu pasti kenapa
Emir begitu kejamnya meninggalkan kamu sendiri di Indonesia, dengan
menyisakan tangisan-tangisan pedih ini. Tapi, selagi aku bisa
menenangkanmu, aku akan melakukannya. Meski aku tak mungkin bisa
memilikimu, Vanny.
"Iya Daniel.. Tapi-tapi-aku-kita-cuma-salah paham." Katanya dengan susah payah. Suara yang terdengar payau.
"Ya Van. Aku mengerti.. Tapi
kamu gak bisa begini terus kan?" Kataku sambil mengulurkan tangan. Dia
tak bisa berkata-kata, dia hanya bisa mengangguk dan membalas uluran
tanganku dengan lemas.
Dia tak seperti Vanny yang aku kenal.
***
Kehadiran Daniel ke rumah,
membuatku sedikit lebih ringan. Dengan quotes yang bisa dibilang ampuh
membuat aku lebih tenang. Daniel.. Disaat Emir pergi begitu saja untuk
yang kesekian kalinya, kenapa kamu yang harus datang dan menopangku
disaat jatuh seperti ini? Kamu tau? Kamu membuat aku binggung.
Aku terduduk pada sofa didepan
tv. Sementara Daniel masih sibuk didapur, membuat coklat hangat untuk
kita berdua. Aku melihat diruang keluarga ini masih menggunung sampah
sisa coklat beberapa waktu lalu. Aku memang menyuruh bibi untuk tidak
memembereskannya. Tempat ini sungguh berantakan, mungkin ruangan ini
tidak pernah aku sentuh lagi sejak dua minggu lalu. Bungkus coklat dan
plastik-plastik masih berserakkan dimana-mana menutupi karpet sebagai
alas kaki ruangan ini. Sisa coklat yang meleleh juga mengeras di meja.
Tetapi ada dua kotak coklat diatas sofa yang masih utuh. ohya, aku
ingat. Dua kotak itu adalah kotak paling besar dan paling kecil diantara
kotak-kotak coklat lain. Aku memang merencanakan memakan coklat-coklat
ini terakhir. Tetapi sebelum aku membuka coklat ini, Emir bertanya
sesuatu. Dan pertanyaan itu mengubah segalanya.
Perlahan aku mendekati sofa itu
dan duduk diatasnya, aku melihat secara seksama kedua kotak itu. Aku
ambil kotak coklat yang paling besar, bermotif tangkai bunga berwarna
emas dan diimbangi warna merah ketuaan. Terliat.. Elegan. Aku angkat
tutupnya perlahan.. Perlahan.. Dan..
"Emir..." Satu kata yang lembut keluar dari mulutku.
Coklat yang tersusun rapih dan
cantik. Tapi, ini bukan sekedar coklat biasa yang berbentuk bulat atau
persegi panjang. Coklat didalam kotak paling besar ini memuat sebuah
huruf-huruf balok yang membuat kalimat yang terdiri dari dua kata dan
satu tanda seru.
MARRY ME !
Tuhan...
Air mataku turun kembali. Aku tak tahan. Jadi, Emir.. Ini nyata? Atau sekedar hayalanku saja?! Ah!
Tanpa menutup kotak yang besar,
aku mengambil kotak yang paling kecil. Bentuknya menyerupai kubus dengan
motif yang sama tetapi berwarna biru tua, dengan pita kecil diatasnya
berwarna emas ketuaan. Aku membuat celah diantara penutup kubus dengan
kotaknya, semakin lama semakin besar. Deg--
Sebuah berlian yang indah
ditaruh secara sempurna diatas sebuah logam emas berbentuk lingkaran
yang sangat pas jika dimasukan kedalam jariku.
Emir, kamu bercandakan? Iya kan?
Jawab Emir! Jangan berlari dibelakangku saja! Aku tahu aku salah, aku
salah besar! Aku tahu. Tapi tidak adakah kesempatan kedua? Untuk ku,
Emir?
Lanjut ya miin
BalasHapuslanjut mimin cantikkk
BalasHapusMin lanjur dong min asap :') please
BalasHapusUdah ya..Happy Reading Guys :)
Hapus