Rabu, Desember 25, 2013

Emir Love Story: "Memories" - PART 15

Aku tiba pukul sembilan malam, gerbang terlihat rapat tertutup, begitu pula dengan pintu luar. Suara nyaring dari siaran televisi tak terdengar saat aku masuk ruang tamu. Biasanya, Kai atau Emir masih selonjoran di sofa menunggu siaran langsung liga inggris atau spanyol. Aku beranikan diri untuk melihat ke taman belakang, kosong. Aku melangkah menuju kamar Kai, dikunci. Begitu pula kamar Emir yang bersebelahan. Rumah ini sepi. Sangat. Pasti bibi sudah tidur. Aku tak ingin mengganggunya, mungkin besok, keadaan akan lebih baik. 
Toktoktok.. 
Sudah dua hari pintu kamar Emir dan Kai terkunci rapat. Aneh. Mereka tak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Ini membuat aku sangat gerah.
"Bibi.." Panggilku saat aku berada di dapur.

"Ya non?" Balasnya.

"Bi, kamar Emir sama adiknya dikunci gitu. Bibi tau kemana?" Tanyaku. Bibi terlihat menghindari tatapan mataku yang tajam. Sesuatu yang janggal.. "Bi?" Alisku terangkat satu. 
"Den Emir sama adiknya pergi non," Bibi menjelaskan dengan sangat lamban dan ragu-ragu untuk menceritakannya. "Bawa koper yang gede keluar--"
"Mereka kemana?!" Aku memotong penjelasan Bibi, aku sangat khawatir. 
"Gak tau non, mereka bilang mau balik.." Jawabnya. 


Balik? Jangan bilang mereka ...

"Kunci kamar mereka dimana Bi?" Pertanyaanku dibalas dengan tingkah laku Bibi yang menunjuk kearah meja kecil disebelah pintu utama. Aku jarang menggunakan meja itu, kecuali untuk menaruh tanaman hias. 
Aku langsung menyambar dua kunci itu dan langsung menuju kamar. Kamar Kai, kosong. Maksud ku kosong, Kai tak ada disini. Lemari baju terbuka tanpa meninggalkan sepotong pakaian. Bedcover dan selimut yang berantakan, terbentang diatas masterbed. Jendela yang tertutup rapat dan lampu yang mungkin tidak dimatikan sejak dua hari lalu. Jauh berbeda dengan kamar Kai, kamar Emir terlihat rapih seperti saat dia menempati kamar ini. Lampu mati, hanya sinar yang melewati cela-cela tirai yang terbuka untuk menerangi ruangan ini. Springbed dan selimut terlipat rapih diatas masterbed. Tunggu sebentar.. Ada sebuah benda diatas selimut itu.. Aku mendekat, semakin dekat. Aku melihat sebuah surat yang terlihat rapih. Ah.. Sebuah surat, lagi? Aku sudah cukup muak dengan surat ini Emir. 
 
Maaf Van, selama di Jakarta aku dan Kai banyak merepotkan kamu. Mungkin kehadiran kami membawa masalah buatmu dan keluargamu. Gak usah basa-basi lagi, aku ingin pamit. Kamu pasti udah tau dari Kai soal kontrak kerja aku dengan club disana. Aku akan menetap disana. Jadi, kamu bisa melakukan apa saja semau mu tanpa aku larang-larang lagi. Aku tahu aku terlalu overprotective, seperti yang kamu bilang. Tapi itu semua demi kebaikan kamu. Selamat tinggal Vanny, aku tak akan mengganggu kehidupan kamu lagi.

Deg-- Suasana kamar berubah panas. Keringat bercucuran begitu saja. Aku mematung.
Emir! Ini tulisan Emir! 
Aku melendetkan diri pada tembok, lututku tak mampu lagi menopang tubuhku yang semakin berat dengan air mata. Lama kelamaan aku terduduk dengan lutut aku peluk serta gengaman yang sudah berisi kertas lecek dari Emir tadi.
Aku benci sikap Emir yang seperti ini! Terlalu chilldish. Dia pergi meninggalkan aku sendiri, dengan setumpuk masalah yang tak bisa aku seorang diri aku selesaikan. Dia tak tahu apa? Aku sekarang tinggal sebatang kara disini! Papa sudah pergi beberapa tahun yang lalu! Dan Mama baru minggu lalu. Sekarang kamu juga mau ikut pergi, Mir? Mau jadi apa aku nanti? Gelandangan? Hah. Kacau.. Aku masih membutuhkan kamu Emir, aku sayang kamu. Kamu gak tau rasanya ditinggal seseorang yang kamu cintai kan? Maaf kalau aku terlalu egois, aku selalu menentang kalimatmu. Semua itu aku lakukan karna aku tak mau lagi jatuh dalam lubang yang sama. Aku harus memastikan hubungan kita, Emir. Aku tak mau kehilangan kamu lagi. Aku mau kita serius, bukan main-main lagi! 
Ternyata dia tak jauh berbeda dengan Emir-Emir sebelumnya. Selalu pergi meninggalkan masalah-masalah yang masih menumpuk untuk aku selesaikan sendiri. Dia pergi meninggalkan aku seorang diri. Sekarang sudah jelas, aku terlalu berharap banyak padanya. Dia Emir, dan tetap sama dengan Emir-Emir zaman kami SMP ataupun SMA. Dia Emir, seorang pengecut. 

*** 

Aku setengah berlari menuju kamar dilantai dua. Suara rintihan terdengar hingga luar ruangan tersebut. Pintu yang terbuka membuat aku gampang untuk masuk kedalamnya dan melihat sosok perembuan yang sedang memeluk kedua lututnya, dengan jemari yang menggenggam sebuah kertas. Aku yakin itu dari Emir..
Untuk beberapa saat, aku membiarkan dia terdiam dan terenyak dalam pikirannya. 
"Vanny.. Aku tau rasanya ditinggal orang yang aku sayang.." Kata ku untuk menenangkan dia. Air matanya terus mengalir, untuk yang ke tiga kalinya aku melihat seorang yang selama ini aku anggap tegar, menangis didepanku hanya gara-gara laki-laki. Aku menyentuh pungunggnya, mencoba memberi ketenangan untuk dirinya. 
"Tapi kalau itu yang terbaik untuk dia, kenapa tidak?" Lanjutku. 
"Aku yakin, disaat kita melihat orang yang kita sayang merasa senang. Kita juga akan senang.. Semua demi kebaikan dia, Van.." Kalimat ini tulus dari dalam hatiku. 
"Kita gak boleh egois Vanny.." Seperti aku Van, aku rela kamu bersama Emir. Jujur, aku sangat rela, karena saat kamu bersama dia, kamu terlihat lebih ceria Van. Mata kamu tak bisa berbohong. Dan disaat kamu sedang ada dipuncak kebahagiaanmu, Emir harus pergi untuk yang kesekian kali. Aku tak tahu pasti kenapa Emir begitu kejamnya meninggalkan kamu sendiri di Indonesia, dengan menyisakan tangisan-tangisan pedih ini. Tapi, selagi aku bisa menenangkanmu, aku akan melakukannya. Meski aku tak mungkin bisa memilikimu, Vanny. 
"Iya Daniel.. Tapi-tapi-aku-kita-cuma-salah paham." Katanya dengan susah payah. Suara yang terdengar payau. 
"Ya Van. Aku mengerti.. Tapi kamu gak bisa begini terus kan?" Kataku sambil mengulurkan tangan. Dia tak bisa berkata-kata, dia hanya bisa mengangguk dan membalas uluran tanganku dengan lemas. 
Dia tak seperti Vanny yang aku kenal. 
***
Kehadiran Daniel ke rumah, membuatku sedikit lebih ringan. Dengan quotes yang bisa dibilang ampuh membuat aku lebih tenang. Daniel.. Disaat Emir pergi begitu saja untuk yang kesekian kalinya, kenapa kamu yang harus datang dan menopangku disaat jatuh seperti ini? Kamu tau? Kamu membuat aku binggung. 
Aku terduduk pada sofa didepan tv. Sementara Daniel masih sibuk didapur, membuat coklat hangat untuk kita berdua. Aku melihat diruang keluarga ini masih menggunung sampah sisa coklat beberapa waktu lalu. Aku memang menyuruh bibi untuk tidak memembereskannya. Tempat ini sungguh berantakan, mungkin ruangan ini tidak pernah aku sentuh lagi sejak dua minggu lalu. Bungkus coklat dan plastik-plastik masih berserakkan dimana-mana menutupi karpet sebagai alas kaki ruangan ini. Sisa coklat yang meleleh juga mengeras di meja. Tetapi ada dua kotak coklat diatas sofa yang masih utuh. ohya, aku ingat. Dua kotak itu adalah kotak paling besar dan paling kecil diantara kotak-kotak coklat lain. Aku memang merencanakan memakan coklat-coklat ini terakhir. Tetapi sebelum aku membuka coklat ini, Emir bertanya sesuatu. Dan pertanyaan itu mengubah segalanya. 
Perlahan aku mendekati sofa itu dan duduk diatasnya, aku melihat secara seksama kedua kotak itu. Aku ambil kotak coklat yang paling besar, bermotif tangkai bunga berwarna emas dan diimbangi warna merah ketuaan. Terliat.. Elegan. Aku angkat tutupnya perlahan.. Perlahan.. Dan.. 
"Emir..." Satu kata yang lembut keluar dari mulutku. 
Coklat yang tersusun rapih dan cantik. Tapi, ini bukan sekedar coklat biasa yang berbentuk bulat atau persegi panjang. Coklat didalam kotak paling besar ini memuat sebuah huruf-huruf balok yang membuat kalimat yang terdiri dari dua kata dan satu tanda seru.
MARRY ME ! 
Tuhan...
Air mataku turun kembali. Aku tak tahan. Jadi, Emir.. Ini nyata? Atau sekedar hayalanku saja?! Ah! 
Tanpa menutup kotak yang besar, aku mengambil kotak yang paling kecil. Bentuknya menyerupai kubus dengan motif yang sama tetapi berwarna biru tua, dengan pita kecil diatasnya berwarna emas ketuaan. Aku membuat celah diantara penutup kubus dengan kotaknya, semakin lama semakin besar. Deg--
Sebuah berlian yang indah ditaruh secara sempurna diatas sebuah logam emas berbentuk lingkaran yang sangat pas jika dimasukan kedalam jariku. 
Emir, kamu bercandakan? Iya kan? Jawab Emir! Jangan berlari dibelakangku saja! Aku tahu aku salah, aku salah besar! Aku tahu. Tapi tidak adakah kesempatan kedua? Untuk ku, Emir?

4 komentar: