Sore hari ini Bandara Soekarno Hatta terlihat sangat
ramai, sama seperi pikiranku, kacau. Sesampainya ditempat ini aku langsung
mencari LED TV yang menampilkan jadwal keberangkatan manuju Paris. Ah, pukul
16:45 salah satu pesawat Garuda Indonesia akan lepas landas. "Aku yakin
Emir pasti sedang berada pada pesawat ini..!”
Aku segera berjalan cepat
menuju counter Maskapai Garuda Indonesia tanpa memerhatikan sekelilingku.
“Selamat sore bu, ada yang
bisa saya bantu?” Tanya seorang wanita cantik yang berdiri dibalik kaca
didepanku.
“Apa ada satu tiket tersisa
untuk keberangkatan menuju Paris sore ini?”
“Saya akan mencarinya..”
Aku menunggu sambil berdoa
supaya ada secercah harapan dan keajaiban aku bisa bertemu dengan Emir
secepatnya.
Aku menahan napas saat
wanita itu membuka mulutnya untuk menentukan nasibku. Sepertinya harapan tidak
selamanya akan sesuai dengan kenyataan.
Tiket menuju Paris sore ini
sudah habis, dan lebih buruknya. Pesawat itu sudah berangkat sepuluh menit yang
lalu.
“Keberangkatan selanjutnya
nanti malam pukul sepuluh, dan tiket sudah terjual habis..”
“Baik, terimakasih..”
Pupus sudah harapanku akan
bertemu laki-laki jangkung itu. Aku segera mencari tiket lagi dibeberapa
counter maskapai internasional yang mungkin bisa mambawaku pada salah satu kota
teromantis di dunia.
Aku rela mengeluarkan
berapa uang pun supaya aku dapat terbang menuju Paris, meski itu akan
menghabiskan sebagian gajiku untuk sebulan ini. Dan disinilah aku, berdiri
mematung ditengah keramaian bandara Paris
Cuaca hari ini cukup
dingin, mentari bersinar samar-samar dibalik awan elabu yang menutupi kota ini.
Aku tak tahu harus kemana. Tidak satupun tempat yang ku pikirkan sekarang. Yang
ada di otakku hanyalah Emir. Bagaimana pun caranya, aku harus bertemu laki-laki
yang sudah tidak pengecut lagi. Aku tidak mau kehilangannya untuk yang ke
sekian kalinya, ya, untuk yang kesekian kalinya.
Hanya dengan sebuah tas
ditangan aku beranikan diri untuk mencari Emir ditengah-tengah kota yang
semegah ini. Aku berjalan tanpa arah. Mataku tidak dapat berhenti mencari
laki-laki itu. Sampailah aku pada sebuah stadion terbesar di eropa. Sering
disebut Stade de France.
Aku menemui seseorang
laki-laki tua yang aku perkirakan dia adalah seorang penjaga atau security. Dia
tidak bisa berbaahasa inggris jadinya, aku harus menggunakan bahasa france yang
sudah lama tidak bisa aku gunakan.
“Oh, kamu mau mencari seseorang
bernama Emir, Mahira Emir?” Katanya. Aku menangguk mantap.”Ikuti aku,”
Dibawanya aku ke dalam
stadion, menginjak-injak rumput hijau. Bisa dilihat jelas dari dalam sini,
seberapa besar, luas dan megahnya stadion ini. Tak salah orang menyebutnya stadion
terbesar di eropa.
“Apa kamu melihat Mahira?”
Kata Bapak tua tadi pada seorang pemain yang sedang berlatih.”
“Tidak,
hari ini dia belum masuk. Sepertinya dia masih di rumah kita,” Jawabnya.
“Dia
belum masuk? Bukannya hari ini latihan pertamanya,” Balas bapak ini.
Aku tak
mengerti apa yang terjadi antara percakapan mereka, yang aku tahu. Emir masih
dirumahnya dan belum masuk untuk latihan pertama.
Tidak
tahu siapa bapak tua ini, setelah ia tahu aku datang jauh-jauh dari Indonesia.
Dia langsung mengantarku menuju rumah Emir dengan mobil sport yang sangat
bagus. Sepertinya perkiraanku salah mengeni bapak ini yang bekerja sebagai
security.
Setibanya
didepan sebuah rumah berlantai dua dengan ornamen vintage, bapak itu turun dari
mobil dan mengajakku. Dia mengetuk-ngetuk pintu sampai seorang laki-laki
berkulit putih keluar dari balik pintu. Dia kelihatan kaget, dan langsung
bertingkah sopan.
“Kenapa
kamu malah bersantai-santai disini..!” Kata bapak tua disebelahku.
“Maaf,
Sir. Aku menemani teman kami yang sakit.” Katanya.
“Beritahu
aku siapa anak itu?” Balas bapak ini.
“Mahira,
Sir. Sepertinya dia sangat lelah terbang dari Indonesia dan baru sampai
beberapa jam yang lalu.” Jawaban dari laki-laki ini langsung mengejutkanku.
Tadi dia menyebutkan Mahira? Apa itu
Emir?
“Tunjukan
aku dimana Mahira!”
Kami
segera diantarnya menuju lantai dua rumah ini. Rumah yang bersih dan nyaman.
Dan terdiri dari banyak kamar-kamar yang besar untuk ukuran orang asia seperti
aku.
Kami pun
masuk pada sebuah kamar yang berisikan masterbed yang bersebelahan dengan
jendela besar menuju balkon yang memaparkan keindahan kota paris dari sisi
sini. Mataku tertuju pada seseorang dibalik selimut tebal yang menyelimuti
dirinya.
Bapak tua itu langsung melangkah mendekati seseorang itu dan membuka sedikit selimutnya. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang dan melihat wajah dari pria yang tertidur diranjang. Emir, Emir sakit?
Saat itu
juga aku mendekat ke Emir, aku tak menghiraukan Bapak tua ini ataupun pria yang
satu lainnya. Yang ada dipikirankuhanyalah Emir.
Aku
meletakkan tanganku ke dahi Emir. Demam. Aku yakin dia demam.
“Apa dia
sudah diberi obat?” Tanyaku.
“Belum,
dia baru datang kemari beberapa jam lalu. Dan itu dengan keadaan yang
memprihatinkan.” Kata pria yang tadi membukakan pintu untuk kami.
Hah? Prihatin?
“Apakah
kamu mempunyai handuk kecil, air panas dan sebuah mangkuk?” Tanyaku, tanpa
berkata-kata dia segera mengambil alat-alat yang tadi aku sebutkan.
Tak
beberapa lama, dia kembali dengan sebuah mangkuk berisikan air hangat dan anduk
kecil. Aku langsung mencelupkan handuk itu ke dalam air panas dan memerasnya
dan langsung aku tarus diatas dahi Emir. Aku rasa mengomprss adalah salah satu
cara untuk menurunkan demam.
“Maaf,
bisa kau tunjukkan dimana letak dapur?” Tanyaku.
“Mari
silahkan..”
Aku
mengikutinya, sampailah aku pada sebuah ruangan kecil yang mereka sebut dapur.
Tapi aku bilang ini adalah sebuah pantry. Aku langsung menyeduh sebuah teh
hangat dan kembali ke kamar Emir.
Tak ada
orang disana, hanya Emir sendiri. Aku duduk disebelahnya yang terbaring lemah.
Aku mengganti air kompresan supada hangat kembali. Aku mengelus punggung tangannya
dengan halus.
“Mir,
kenapa sih. Kamu selalu pergi disaat aku lagi senang dan disaat itu juga aku
langsung jatuh. Kamu gak pernahkan merasakan terjatuh saat kamu terbang diatas
awan? Aku pernah Mir, bahkan bukan hanya
satukali. Tapi berkali-kali hanya karena dirimu..” Kataku panjang. “Sekarang
aku gak mau pengalaman kelam itu terulang lagi, aku mau kamu ada untuk aku
dan aku ada untuk kamu. Tanpa kamu, aku gak bisa apa-apa Mir..” Airmataku
menetes dan jatuh diatas telapak tangan
Emir.
Tiba-tiba
tangan Emir bergerak dan diapun sadar.
“Van? Itu
kamu?” Kata Emir dengan suara yang parau.
Aku hanya
tersenyum senang. Akhirnya dia sadar..
Emir
memegang dahinya, “Ini apa?”
“Tadi aku
kompres, oh iya. Ini ada teh anget, kamu minum dulu ya..”
“Iya,
makasih Van. Tapi kenapa kamu bisa ada di-..”
“Hustt.
Ceritanya panjang, kalo kamu udah sembuh, nanti baru aku ceritain ya..” Kataku
dengan halus dan diakhiri semyumanku yang paling manis.
...
DI TUNGGU LAGI!!
BalasHapusYeay! Nextnya ditunggu secepatnya:)
BalasHapuslanjutannya kapan min? :(
BalasHapuskapan nih lanjutannya?
BalasHapusNext dong
BalasHapusLANJUT MINNNN! :(((
BalasHapusLanjut ya bro, gue suka sama cerita yang lo buat. Ayoo lanjutin ceritanya :)
BalasHapusLanjut ya bro, gue suka sama cerita yang lo buat. Ayoo lanjutin ceritanya :)
BalasHapusLanjuttt minnnn
BalasHapus