Selasa, Desember 31, 2013

Emir Love Story: "Memories" - PART 16



Sore hari ini Bandara Soekarno Hatta terlihat sangat ramai, sama seperi pikiranku, kacau. Sesampainya ditempat ini aku langsung mencari LED TV yang menampilkan jadwal keberangkatan manuju Paris. Ah, pukul 16:45 salah satu pesawat Garuda Indonesia akan lepas landas. "Aku yakin Emir pasti sedang berada pada pesawat ini..!”
 
Aku segera berjalan cepat menuju counter Maskapai Garuda Indonesia tanpa memerhatikan sekelilingku. 

“Selamat sore bu, ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang wanita cantik yang berdiri dibalik kaca didepanku.

“Apa ada satu tiket tersisa untuk keberangkatan menuju Paris sore ini?”
 
“Saya akan mencarinya..”

Aku menunggu sambil berdoa supaya ada secercah harapan dan keajaiban aku bisa bertemu dengan Emir secepatnya. 

Aku menahan napas saat wanita itu membuka mulutnya untuk menentukan nasibku. Sepertinya harapan tidak selamanya akan sesuai dengan kenyataan. 

Tiket menuju Paris sore ini sudah habis, dan lebih buruknya. Pesawat itu sudah berangkat sepuluh menit yang lalu.

“Keberangkatan selanjutnya nanti malam pukul sepuluh, dan tiket sudah terjual habis..”

“Baik, terimakasih..”

Pupus sudah harapanku akan bertemu laki-laki jangkung itu. Aku segera mencari tiket lagi dibeberapa counter maskapai internasional yang mungkin bisa mambawaku pada salah satu kota teromantis di dunia. 

Aku rela mengeluarkan berapa uang pun supaya aku dapat terbang menuju Paris, meski itu akan menghabiskan sebagian gajiku untuk sebulan ini. Dan disinilah aku, berdiri mematung ditengah keramaian bandara Paris

.

Cuaca hari ini cukup dingin, mentari bersinar samar-samar dibalik awan elabu yang menutupi kota ini. Aku tak tahu harus kemana. Tidak satupun tempat yang ku pikirkan sekarang. Yang ada di otakku hanyalah Emir. Bagaimana pun caranya, aku harus bertemu laki-laki yang sudah tidak pengecut lagi. Aku tidak mau kehilangannya untuk yang ke sekian kalinya, ya, untuk yang kesekian kalinya.

Hanya dengan sebuah tas ditangan aku beranikan diri untuk mencari Emir ditengah-tengah kota yang semegah ini. Aku berjalan tanpa arah. Mataku tidak dapat berhenti mencari laki-laki itu. Sampailah aku pada sebuah stadion terbesar di eropa. Sering disebut Stade de France.
Aku menemui seseorang laki-laki tua yang aku perkirakan dia adalah seorang penjaga atau security. Dia tidak bisa berbaahasa inggris jadinya, aku harus menggunakan bahasa france yang sudah lama tidak bisa aku gunakan.

“Oh, kamu mau mencari seseorang bernama Emir, Mahira Emir?” Katanya. Aku menangguk mantap.”Ikuti aku,” 

Dibawanya aku ke dalam stadion, menginjak-injak rumput hijau. Bisa dilihat jelas dari dalam sini, seberapa besar, luas dan megahnya stadion ini. Tak salah orang menyebutnya stadion terbesar di eropa.

“Apa kamu melihat Mahira?” Kata Bapak tua tadi pada seorang pemain yang sedang berlatih.”

“Tidak, hari ini dia belum masuk. Sepertinya dia masih di rumah kita,”        Jawabnya.

“Dia belum masuk? Bukannya hari ini latihan pertamanya,” Balas bapak ini. 

Aku tak mengerti apa yang terjadi antara percakapan mereka, yang aku tahu. Emir masih dirumahnya dan belum masuk untuk latihan pertama. 

Tidak tahu siapa bapak tua ini, setelah ia tahu aku datang jauh-jauh dari Indonesia. Dia langsung mengantarku menuju rumah Emir dengan mobil sport yang sangat bagus. Sepertinya perkiraanku salah mengeni bapak ini yang bekerja sebagai security. 

Setibanya didepan sebuah rumah berlantai dua dengan ornamen vintage, bapak itu turun dari mobil dan mengajakku. Dia mengetuk-ngetuk pintu sampai seorang laki-laki berkulit putih keluar dari balik pintu. Dia kelihatan kaget, dan langsung bertingkah sopan.

“Kenapa kamu malah bersantai-santai disini..!” Kata bapak tua disebelahku.

“Maaf, Sir. Aku menemani teman kami yang sakit.” Katanya. 

“Beritahu aku siapa anak itu?” Balas bapak ini.

“Mahira, Sir. Sepertinya dia sangat lelah terbang dari Indonesia dan baru sampai beberapa jam yang lalu.” Jawaban dari laki-laki ini langsung mengejutkanku. 

Tadi dia menyebutkan Mahira? Apa itu Emir?

“Tunjukan aku dimana Mahira!” 

Kami segera diantarnya menuju lantai dua rumah ini. Rumah yang bersih dan nyaman. Dan terdiri dari banyak kamar-kamar yang besar untuk ukuran orang asia seperti aku. 

Kami pun masuk pada sebuah kamar yang berisikan masterbed yang bersebelahan dengan jendela besar menuju balkon yang memaparkan keindahan kota paris dari sisi sini. Mataku tertuju pada seseorang dibalik selimut tebal yang menyelimuti dirinya.

Bapak tua itu langsung melangkah mendekati seseorang itu dan membuka sedikit selimutnya. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang dan melihat wajah dari pria yang tertidur diranjang. Emir, Emir sakit?

Saat itu juga aku mendekat ke Emir, aku tak menghiraukan Bapak tua ini ataupun pria yang satu lainnya. Yang ada dipikirankuhanyalah Emir.

Aku meletakkan tanganku ke dahi Emir. Demam. Aku yakin dia demam.
“Apa dia sudah diberi obat?” Tanyaku.

“Belum, dia baru datang kemari beberapa jam lalu. Dan itu dengan keadaan yang memprihatinkan.” Kata pria yang tadi membukakan pintu untuk kami.

Hah? Prihatin? 

“Apakah kamu mempunyai handuk kecil, air panas dan sebuah mangkuk?” Tanyaku, tanpa berkata-kata dia segera mengambil alat-alat yang tadi aku sebutkan.

Tak beberapa lama, dia kembali dengan sebuah mangkuk berisikan air hangat dan anduk kecil. Aku langsung mencelupkan handuk itu ke dalam air panas dan memerasnya dan langsung aku tarus diatas dahi Emir. Aku rasa mengomprss adalah salah satu cara untuk menurunkan demam.

“Maaf, bisa kau tunjukkan dimana letak dapur?” Tanyaku.

“Mari silahkan..” 

Aku mengikutinya, sampailah aku pada sebuah ruangan kecil yang mereka sebut dapur. Tapi aku bilang ini adalah sebuah pantry. Aku langsung menyeduh sebuah teh hangat dan kembali ke kamar Emir.

Tak ada orang disana, hanya Emir sendiri. Aku duduk disebelahnya yang terbaring lemah. Aku mengganti air kompresan supada hangat kembali. Aku mengelus punggung tangannya dengan halus.

“Mir, kenapa sih. Kamu selalu pergi disaat aku lagi senang dan disaat itu juga aku langsung jatuh. Kamu gak pernahkan merasakan terjatuh saat kamu terbang diatas awan? Aku pernah Mir,  bahkan bukan hanya satukali. Tapi berkali-kali hanya karena dirimu..” Kataku panjang. “Sekarang aku gak mau pengalaman kelam itu terulang lagi, aku mau kamu ada untuk aku dan aku ada untuk kamu. Tanpa kamu, aku gak bisa apa-apa Mir..” Airmataku menetes  dan jatuh diatas telapak tangan Emir. 

Tiba-tiba tangan Emir bergerak dan diapun sadar. 

“Van? Itu kamu?” Kata Emir dengan suara yang parau. 

Aku hanya tersenyum senang. Akhirnya dia sadar.. 

Emir memegang dahinya, “Ini apa?”

“Tadi aku kompres, oh iya. Ini ada teh anget, kamu minum dulu ya..”

“Iya, makasih Van. Tapi kenapa kamu bisa ada di-..”

“Hustt. Ceritanya panjang, kalo kamu udah sembuh, nanti baru aku ceritain ya..” Kataku dengan halus dan diakhiri semyumanku yang paling manis.

...

9 komentar:

  1. Yeay! Nextnya ditunggu secepatnya:)

    BalasHapus
  2. lanjutannya kapan min? :(

    BalasHapus
  3. kapan nih lanjutannya?

    BalasHapus
  4. LANJUT MINNNN! :(((

    BalasHapus
  5. Lanjut ya bro, gue suka sama cerita yang lo buat. Ayoo lanjutin ceritanya :)

    BalasHapus
  6. Lanjut ya bro, gue suka sama cerita yang lo buat. Ayoo lanjutin ceritanya :)

    BalasHapus