Rabu, Oktober 16, 2013

Emir Love Story: "Memories" - PART 14





"Ehem. Ada yang lagi mikirin aku ya?" Suara Emir tiba-tiba terdengar keras di telingaku. Aku pastikan wajah Emir berada diatas bahu kananku persis. Aku hanya bisa menghembuskan napas berat. 

"Engga lah, lagian kamu kan cuma pergi sebentar." Kataku. 

Hening..

"Van..?" Panggil Emir yang masih dalam posisi seperti itu.

"Liat ke kanan deh.." Pinta Emir. Aku tahu yang akan terjadi setelah ini. Saat aku mengalingkan pandangan ku ke arah Emir.. Hap! Bibir Emir mendarat mulus di pipiku. Emir.. 

Tapi sepertinya bukan itu saja kejutan dari Emir. Aku melihat bungkusan plastik yang sangat besar berada diatas kap mesin Rush. Plastik besar yang memuat beberapa kotak yang bisa aku pastikan itu berisi coklat. Aku segera berlari mengambil plastik itu dan membawanya kembali ke sofa. Aku bongkar paksa isi plastik itu. Yes. Benar! Plastik ini penuh dengan kotak-kotak coklat! Dari coklat berbentuk persegi panjang hingga bulat. Dari dark chocolate hingga sweet chocolate. Dari coklat berwarna putih hingga coklat tua. Dari coklat dalam negeri ataupun luar negeri. Ini sangat.. Luaar biasaaa! 


Aku segera mendekap Emir dengan kedua tanganku, saat ia duduk disebelahku. Hmm.. Ini bukan apa-apa. Ini hanya sebuah tanda terimakasih dariku. Cukup. 

Aku segera membuka kotak-kotak itu, hingga tinggal tersisa dua kotak. Satu kotak paling kecil dan paling besar. Mulutku masih penuh dengan coklat, sementara dijemariku memegang sebuah coklat kecil terakhir dari kotak coklat sebelumnya.  

Aku Vanny, dan Aku Chocolate Addict.
Aku tak akan membiarkan siapapun memakan coklat ini! Termasuk Emir! Dia berhasil mengambil coklat ditanganku, dengan tatapan jahil, dia menantangku untuk mengambil kembali coklat milikku. Langsung saja aku kejar dia hingga dapat. Toh, hukum alam. Kecepatan berlari laki-laki pasti lebih tinggi dari pada kaum hawa. Aku terengah-engah dipojok ruangan, lelah. Aku tak mendapatkan coklatku, coklat yang telah berada di mulut Emir. 


Saat aku membuka mata, Emir telah berada didepanku. Dia menarik tanganku, lalu menatapku lekat. Dia mulai mendekatiku sambil memiringkan kepalanya ke arah kiri dan memejamkan matanya. Mau ngapain dia....


“Em--” Cup!

Seketika mataku membelabak selebar-lebarnya. Ini apa maksudnya! Ini bukan memperjelas! Tapi mempersulit! Ah! Aku tak bisa berontak! Kedua tanganku dipegang Emir dengan satu tangannya yang kuat, sementara satunya berada dipunggungku. Kacau.

Emir, kehadiranmu selalu membawa masalah baru bagi hidupku.. Ingat itu ya. 




KRING.. KRING.. KRING..


Handphone-ku tiba-tia berbuyi. Aku segera menarik diri dari Emir dengan sekuat tenaga, lalu mengusap-usap bibirku tanpa berhenti. Ini tindakan yang bodoh! Langsung aku merogoh kantong celanaku. 


Daniel is calling you. 

"Hallo, Van?" Nada Daniel sepertinya tergesah-gesah. 

"Ya?"
Aku masih mengatur napasku yang masih tersegal. 


"Mama kamu! Mama kamu gak ada dirumah kan?"
 


Deg-- kenpa tiba-tiba dia bertanya soal mamaku sore-sore seperti ini. Kenapa dia tahu mama ku tidak ada dirumah?

"I-iya. Mama dari kemarin pergi,"
Balasku. Emir terlihat juga sedang mengatur napas dan membenarkan posisi duduknya. "Kenapa?"


"Mama kamu kecelakaan. Aku bawa ke rumah sakit pondok indah--"
blabla.

Telingaku seperti tuli. Aku tak bisa mendengar ocehan Daniel lagi, ataupun mendengar pertanyaan Emir yang bertubi-tubi melihat reaksiku. Wajahku pucat.


"Van, kenapa?"
Tanyanya disela kesibukanku. 


"Kecelakaan-rumah-sakit-mama-masuk-pondok-indah."
Kata-kataku kacau. Otakku tak dapat berpikir. Emir dengan sigap mengambil kunci mobil diatas meja, dia segera berlari dari hadapanku beberapa saat dan kembali dengan sebuah jaket tergantung dibahunya. 

"Ayo!" 

"Ke-mana?" Otakku sepertinya terlalu rumit untuk mencerna tingkah Emir disaat seperti ini. 

Emir langsung menarik tanganku dengan lembut, memasukkan aku kemobil dan dia menyetir dengan cool-nya. Saat aku melihat kearahmya, eyecontact terjadi. Senyum tipis berada disudut bibirnya. 

"Daniel pasti bisa menjaga Mama mu untuk sementara waktu. Tenang van.. Semua akan baik-baik saja." Tangan kiri Emir memegang kedua tanganku yang sejak tadi aku telungkupkan diatas celanaku. Untuk saat ini, Emir dapat menenangkan hatiku untuk sementara. 

Ku cepatkan langkah kaki ku menuju penghujung lorong. Aku tinggalkan Emir yang sibuk mencari parkir untuk Rush ku. Benar kata suster tadi, aku melihat dari kejauhan sosok laki-laki yang berdiri cemas didepan pintu IGD. Wajahnya tak asing, senyuman yang dulu sering menghiasi bibirnya kink kandas. Dia benar-benar cemas.

"Dan, mama tadi kenapa..?" Kataku sambil menyeka air mata. 

"Tadi ada kecelakaan tunggal di jalan tol yang sepi. Kebetulan aku lewat. Aku langsung bawa ke rumah sakit. Taunya itu mama kamu."
Jelas Daniel panjang lebar. 


"Mama didalem ngapain? Aku mau masuk.."
Balasku. 


"Mama kamu lagi dioprasi, bagian kaki dan kepala bagian belakang paling parah.."
Entah dorongan dari mana, aku memeluk Daniel. Dia juga membalas pelukkanku, membiarkan air mata turun membasahi tshirtnya. Kata-kata Daniel satu ini membuat hati aku tertusuk-tusuk. Tak pernah aku sekecewa ini mendengar perkataan Daniel, dia orangnya kalem. Daniel berhasil membuatku menangis didepannya untuk yang kedua kalinya. 

***

EMIR'S POV

Mencari tempat parkir ditempat seperti ini sama susahnya mencari jarum ditumpuan jerami. Parkir di Jakarta selalu penuh, tak seperti di Barcelona, dimana orang-orang dan turis masih menggunakan kaki nya untuk berjalan. Bukan dngan mesin modern seperti ini.

"Suster maaf mengganggu, pasien Fiona Sophie ada diruangan apa?"
Tanyaku setibanya didalam gedung ini. Jujur, aku tak terlalu suka berada dirumah sakit. Baunya, suasananya, ataupun kenangannya. 

Kenangan saat ayah menghembuskan napas di rumah sakit. Kenangan bunda yang belum sempat mendapat perawatan di tempat seperti ini. Rumah sakit, tempat satu-satunya yang aku benci. 

"Dilorong ini, nanti diujung lorong belok kanan.." Jelasnya setelah mengecek daftar dicomputer. 

"Trimakasih."
Kataku sambil menganggukkan kepala. 



Apa katanya? Penghujung lorong belok kanan? Apa? Suster itu mau memperlihatkan dua orang yang sedang berpelukkan seperti itu? 

Aku mulai melangkahkan kaki mendekati mereka. Vanny dan Daniel. Selama aku tak ada, apa mereka sering melakukannya? Seandainya itu bukan Daniel, kaki ini sudah lama tak menendang sesuatu. Tangan yang mengepal ini juga siap membengkakkan rahangnya. Aku menyentuh punggung Vanny dengan pelan sampai akhirnya menyadari kehadiranku. Wajahnya tetap pucat dicampur dengan rasa terkejut. Terkejut karena melihat aku dibelakang mereka. Hening.

"Gimana keadaannya?" Tanyaku memecah keheningan.

"Lagi oprasi Mir.." Jawab Daniel dengan wajah tak kalah terkejutnya dengan Vanny. Mungkin dia kerkejut karena aku, dia pasti tak tahu aku berada di Jakarta sejak seminggu ini. Aku tak akan biarkan dia menyentuhnya lagi. 

Daniel, jangan pernah sekali-kali kamu menyentuh memori terindahku. 

***



Daniel's POV
Aku bersandar pada dinding pembatas lorong dengan ruang dokter yang mengurus Ibu Vanny. Dia terlihat pucat saat dia menghampiriku dan tuba-tiba memelukku. Semua terasa nyaman, aku hanya ingin menenangkannya. Sebelum Emir datang dengan wajah lelah, tetapi matanya menyatakan bahwa dia cemburu. 

Aku tak tahu apa hubungan Vanny dan Emir sekarang. Mungkin sudah kembali berpacaran, atau malah sudah bertunangan. Dalam waktu dekat, Vanny resmi sudah lulus kuliah. Dia juga sudah bekerja. Dia tambah cantik, dewasa, dan feminim. Tak seperti Vanny yang aku kenal jaman SMA dulu. Ah, Vanny.. Kenapa kamu tak bisa lepas dari pikiranku. 


GREG.. 

Pintu disampingku terbuka. Terlihat tangan Emir yang tergantung dipinggang ramping Vanny. Deg-- Kenapa aku berharap posisi Emir adalah aku. Tidak! Aku tak mungkin bisa!

"Gi..gimana?" Tanyaku berhati-hati.
 

"Oprasinya berhasil. Tapi ada yang kurang sempurna, beliau kritis." Balas Emir dengan sedikit angkuh terhadapku. Kenapa dia?

Aku membiarkan Emir menangani ini semua, mungkin dia lebih bisa menenangkan Vanny dari padaku. Aku tahu, hati Vanny hanya bisa jatuh pada Emir seorang. 

***


Emir's POV

Empat hari berselang. Disinilah aku berdiri, ditengah perumputan hijau dengan batu nisan yang ditaruh dalam posisi tertidur dan hanya gundukan tanah berbentuk persegi panjang yang membedakan bahwa itu adalah makam didaerah Karawang Barat. Aku mengenakan pantofel, kemeja, jas dan sepatu serba hitam sama seperti pengunjung yang lain. Wanita yang kurangkul juga sama sepertiku, tetap cantik seperti biasa. Hanya saja, air mata yang mengalir tak kunjung berhenti sejak malam tadi, disaat satu-satunya orang tuanya harus pergi untuk selamanya. 

Menangis didepan sebuah makam yang baru terisi pagi tadi. Andai saja sedih yang ia pikul bisa berpindah padaku, akan kulakukan apa saja demi dia seorang. Bahuku terbuka lebar untuk membiarkan dia memangis dan menenangkan diri. Tetapi mungkin itu hal mustahil saat ini. Dia menjauh dariku sejak kejadian di lorong rumah sakit empat hari yang lalu. Entah apa yang membuatnya begitu sangat menjauhiku, padahal aku sudah melupakan kejadian buruk itu. Aku tahu persis keadaannya waktu itu, dia pasti sangat amat terpukul. Sama seperti aku kehilangan Ibuku dalam kecelakaan pesawat beberapa bulan lalu. Ah. Sudahlah. Aku tak ingin membahasnya.


Aku tahu Vanny tegar, dia pasti bisa melewati masa-masa seperti ini. Dia hanya butuh waktu.

***


Seminggu berlalu. Selama tujuh hari itu juga aku selalu menyempatan diri datang ke makam mama saat sore hari setelah bekerja sampai matahari terbenam. 

Meskipun jarak kantor, rumah dan makam mempunyai jarak yang sangat jauh dan berbeda arah, aku tetap sajaelakukan hal gila ini. Tak jarang aku terjebak dalam kemacetan Jakarta yang tak teruraikan. Bahkan dalam hari-hari tertentu, aku baru bisa sampai rumah pukul sebelas malam. Dan sialnya, Emir berhasil memergoki ku pulang tengah malam dalam keadaan yang kacau. Sebenarnya aku binggung. Segitukan Emir sangat memerhatikanku? Untuk apa? Dia bahkan bukan siapa-siapa ku lagi. Dia terlalu overprotective! 

Sore ini sama seperti sore sebelumnya, aku telah memarkirkan Rush ku dan melangkah pada jalan setapak menuju makam Mamaku. Aku berlutut didepan makam beliau sambil mengucapkan doa, bayangan dia selalu muncul saat aku berada ditempat ini, begitu pula dengan memori-memori bersama dia. Aku tak bisa membendung air mataku sendiri, benda itu mengalir begitu saja membasahi blazer biru tuaku saat ini. 

"Jadi selama ini kamu disini.."

Deg-- aku segera menyekat air mataku dan mencari sumber suara itu. Emir..

"Kenapa kaget?" Dia semakin mendekatiku dan duduk disebelahku persis. Tangannya memegang kedua tanganku. 

"Kenapa kamu kemari? Setiap hari?" Tanya Emir. Aku tak berani menatap matanya secara langsung. Dia terlalu tajam.

"Aku mau nemenin Mama, Mir.." Jawabku dengan sedikit terbata-bata. 

"Mama kamu udah diatas Van. Kamu terlalu takut kehilangan Mama mu. Sementara kenyataannya Mama mu udah pergi.." 

"Engga. Dia masih disini mir." 


"Van, sadar. Aku tahu kamu sedih, kamu merasa kehilangan kan? Aku juga pernah Van. Dua-duanya. Sama sepertimu. Awalnya memang sulit, tapi lama kelamaan aku bisa menerimanya--"

"Itu kamu! Bukan aku!" 
"Terus kamu mau setiap hari kemari? Dan pulang tengah malam dengan keadaan yang memprihatinkan?" Nada Emir meninggi.
"Segitunya kamu peduli mir? Kamu terlalu overprotective! Kamu tau itu mir!" Emir menarik napas panjang. 
"Iya, aku tahu.. Aku sayang kamu, Van. Aku gak akan biarin pacar aku terjebak dalam kesedihannya sendiri." Amarah Emir memuncak.
"Pacar?" Jawabku lirih. Emir terlihat terkejut dengan pertanyaanku. Dia menghembusan napas berat dan melepas genggamamnya.
"Sekarang terserah kamu Van. Aku gak akan menganggap kamu lebih dari teman lagi. Aku gak punya hak untuk mengatur atur hidupmu lagi." Emir berdiri dari duduknya. 
"Trimakasih untuk semuanya." Dia mundur beberapa langkah. Aku masih terpatung dengan sikapnya yang sangat cepat berubah. 
"Selamat Malam Vanvan."
Suara langkah kaki yang menjauh mendengung ditelingaku.

Emir pergi begitu saja? Atau Aku yang terlalu keterlaluan? Ah.

4 komentar: