Hari ini menginjak hari ke tiga
dia dan adiknya tinggal di rumahku. Kalau bukan gara-gara Mama, mungkin
mereka tak akan ada disini dan mungkin aku tak akan pernah memperbaiki
hubunganku dengan Emir.
Tiga hari ini terakhir ini, aku
juga bertugas untuk menyiapkan sarapan untuk mereka. Tentunya dibantu
oleh bibi. Telur mata sapi, sosis rebus, roti panggang dan selai tiga
rasa sudah terpajang di meja makan. Tak lama mama menghampiriku, dengan
baju yang rapih.
"Mama pergi dulu ya sayang.. Ada
client di butik kita." Katanya sambil mencium pipi ku.
Pergi? Bukankah selama tiga hari penuh ini dia selalu pergi? Bahkan kita hanya bertemu dipagi hari dan malam hari. Lalu, buat apa Mama ke Jakarta kalau hanya mengurusi butik-butik itu? Apakah butik-butik Mama saja yang butuh perhatian? Aku apa, Ma?
Pergi? Bukankah selama tiga hari penuh ini dia selalu pergi? Bahkan kita hanya bertemu dipagi hari dan malam hari. Lalu, buat apa Mama ke Jakarta kalau hanya mengurusi butik-butik itu? Apakah butik-butik Mama saja yang butuh perhatian? Aku apa, Ma?
"Hari ini bukannya hari sabtu, Ma?" Tanyaku hati-hati.
"Sabtu adalah hari kerja untuk
Mama.." Mama menjawab dengan tenang, dia langsung menyambar roti
pangganganku lalu pergi dan menghilang dibalik pintu. Mama tak pernah
berubah. Selalu mengutamakan bisnisnya dibanding berkumpul bersama
keluarga. Dia wanita yang sangat sibuk.
"Pagi-pagi udah benggong, gimana
siangnya.. Mau kalau kesambet setan?" Kalimat ini terdengar menyindir,
terdengar dari balik meja makan.
"Gak mau lah.." Aku segera bergabung dengannya, menyantap sarapan bersama.
"Kemana Mama mu?" Tanyanya.
"Butik. Ada client." Jawabku singkat, mood pagi ini langsung hancur. Lawan bicaraku mengangguk pelan, tanda mengerti.
Kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Emir masih mengoleskan selainya pada roti, sementara aku menyeduh teh hangat untuk kita berdua. Raut wajah Emir terlihat beda hari ini, terlihat lebih cerah dan ceria, jauh berbeda dengan apa yang Kai ceritakan kepadaku saat dibandara.
"Makasih sayang.." Kata Emir saat aku menaruh secangkir teh dihadapannya.
"Sayang?" Alisku terangkat sebelah.
"Kenapa? Kamu gak suka?" Emir berbalik menanya.
"Bisa gak sih, kamu gak membalikkan pertanyaan dari aku." Balasku yang sedikit marah. Tapi datar. Sip.
"Iya maaf, Vanvan.." Aku hanya bisa menggeleng. Aku duduk didepannya dan menyuapkan beberapa potong sosis masuk kemulutku.
"Hari ini masih ngurus passport mu lagi?" Tanyaku.
Ya, selama Emir tinggal dirumahku. Dia dan Kai pergi mengurus passport yang hampir habis masa berlakunya, dari pagi hingga sore. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan hingga membutuhkan waktu yang lama. Emir menggeleng.
"Berarti kamu jaga rumah ya, bibi
mau ke pasar. Aku mau ujian skipsi." Setelah mendengar kalimatku, sudut
bibir emir tertarik keatas dan membentuk senyum samar. Pasti ini ada
maksud tertentu.
Dan benar saja. Saat aku
menyertater Rush ku, Emir langsung menyelundup masuk ke mobil. Sempat
aku tegur dan aku ancam, tapi begitulah Emir. Sudah dibilang berapa kali
pun, dia tetap bersikukuh mengikutiku. Aku takut, Emir akan bertemu Daniel. Meski aku tak yakin Dia dan
Daniel tidak akan bertemu. Kelas kami berbeda, mungkin hari ujian kami juga
berbeda. Mungkin.. Berjalan bergandengan tangan
dengan Emir dilorong menuju kelas ujian begitu menyiksaku. Dilihat
beratus pasang mata dengan tatapan aneh, dan juga cara berjalan Emir
yang begitu cool, membuat aku harus mengurangi kecepatan berjalananku.
Kita sampai didepan kelas, menunggu giliranku. Sampai tiba saatku untuk
masuk.
"Semangat Vanvan!" Emir menyemangatiku. Matanya berbinar-binar seperti sangat senang.
"Aku tunggu kamu dikantin ya cantik.." Emir memgecup keningku sebelum aku masuk dan menghilang tertelan pintu.
Kenapa hari ini Emir terlihat begitu senang? Perlakuannya juga begitu berbeda..
Kaki-kaki ini membawaku menuju
kantin yang lumayan sepi. Mungkin karena ini sudah lebih dua jam dari
makan siang. Aku meninggalkan Emir sendiri lebih dari 3 jam. Aku tak tahu
kenapa tiba-tiba dosen ku menyuruh aku untuk menilai presentasi
teman-teman yang lain, tanpa memberikan penjelasan. Ada dua kemungkinan:
Aku mendapat nilai sempurna atau.. aku mendapat nilai buruk, entah apa
hubungannya. Aku juga binggung kenapa aku bisa berpikiran seperti itu.
"Maaf Mir, aku lama." Kataku sesampainya di meja yang ditempati Emir, aku lihat dia memerhatikan jam tangannya saja.
"Keluyuran?" Tuduh Emir. Wajahnya
terlihat marah, sangat berbeda saat terakhir kali aku meninggalkannya.
Secepat itukan Emir merubah sikapnya?
"Im waiting for your answer baby.." Sindirnya.
"Emm.. Tadi aku disuruh ngenilai anak-anak yang lain." Jawabku.
"Bisa gitu ya? Kamu dosen baru
disini? Sejak kapan? Kamu gak pernah cerita." Kalimat Emir seperti
kereta ekonomi yang membawa pemudik dari Jakarta. Panjang dan padat. Aku
tak dibiarkan menjawabnya satu persatu.
"Engga, aku juga gak tau Mir.."
Bela ku. Kenapa Emir jadi seperti ini, kenapa dia menjadi overprotective.
Seperti.. Daniel? Apakah dia bertemu Daniel? Atau dia sudah tau kalau
Daniel satu kampus denganku?
"Kamu aneh. Kamu masih marah sama aku, soal bertahun-tahun lalu? Kamu nyembunyiin apa sih Van? Kamu masih menanggapku sebagai teman? Atau malah musuh?"
"Cukup Mir! Aku pure mau bantuin dosen aku. Bukan apa-apa. Aku
serius. Kamu itu udah aku anggap lebih dari temen, ataupun sahabat.."
Aku terbawa emosi. Napasku mulai tak terkendali.
"Lalu.. Kamu anggep aku apa?" Tanyanya dengan wajah menelusuri. Aku mengangkat kedua bahuku. Pipiku memanas. Mugkin sudah merah.
"Aku-sayang-kamu" Jawabku dengan lirih.
"Apa? Aku gak denger."
"Aku, sayang kamu.." Kataku lebih keras.
"Sayang siapa?" Suara Emir lebih keras. Menuntut.
"Aku sayang kamu Emir Mahira
Salim..." Kataku menjawab tuntutan Emir dengan keras, tegas dan lugas.
Jujur ini sangat memalukan. Untung saja ditempat ini hanya ada aku dan
Emir. Untung saja aku tidak berada satu kampus dengan sahabatku--sahabat
kami. Niken, Rara, Bima dan Aldi. Ah. Aku sepertinya kangen mereka...
Mungkin aku harus bertemu mereka setelah ini. Atau aku harus mengundang
mereka memginap dirumahku. Ah ya! Benar! Weekend kali ini pasti akan
sempurna!
"Ehem.. Jadi selama ini kalian pacaran dibelakang kita.."
Deg--
Suara laki-laki yang aku kenal. Mata Emir melirik kebelakang ku dan alis matanya naik sebelah. Ada sesuatu dibelakang..
Saat ku tengok.. Hmm... Dejavu?
Dua wanita dengan celana pendek dan kaos tshirt, dan dua laki-laki berkemeja
yang lengannya ditarik hingga sikut, ditambah celana denim. Mereka
terlihat casual, sama seperti pakaian Emir. Berbeda seratus delapan
puluh derajat denganku yang menggunakan rok selutut hitam dengan blazer
biru tua. Formal. Sekali.
Aku memeluk mereka, Emir
memantau kami dari belakang. Dia hanya tersenyum senang. Ini sangat
mengingatkanku pada kejadian bertahun-tahun lalu disebuah villa didaerah
Bogor. Kami masih seperti dulu, kebersamaan kami tak akan pernah pudar.
"Van, lo kok tambah..." Kalimat Rara menggantung.
"Seksi!" Celetuk Bima dengan semangatnya. Wajahku panas, mungkin memerah. Apasih Bima..
"Feminim kali, bukan seksi."
Kalem Aldi. Dia kelihatan lebih cool, badannya juga tidak kerempeng saat
SMA dulu. Kini lebih berisi dan berbentuk.
"Dan tambah romantis..." Kata Emir, kini dia ikut campur dalam omongan kita yang sudah melenceng dari jalur.
"Emang, kenapa Mir?" Tanya Rara.
"Waktu gue sampe di Jakarta,
rencananya gue pengen bikin surprise buat dia. Eh tapi dia yang bikin
kejutan ke gue, dia dateng ke soeta tanpa gue suruh.." Jelas Emir dengan
semangat empat lima.
Ah. Sebenernya sudah berapa kali aku bilang, aku
bukan menjemputmu Emir!
Aku hanya menggeleng,
teman-temanku berlanjut dengan tema-tema yang aneh. Sebenernya bukan
teman-temanku, sahabat laki-lakiku seperti Emir, Bima dan Aldi yang aku
anggap polos, kini lenyap begitu saja. Mereka sedang berbicara tentang
perempuan seksi di Barcelona dan cara mereka berpakaian. Sementara Rara
dan Niken tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Emir. Kacau. Aku
hanya diam, sambil meminum es jeruk yang ku pesan. Meski pun aku sedikit
menguping.
"Apasih kalian. Kok jadi ngomong jorok gitu." Kataku memotong pembicaraan.
"Ah, lo aja kali yang cemburu Emir bilang cewe-cewe seksi.." Balas Bima. Aku mulai geram. Bukan maksudku seperti itu!
"Gue lagi gak mau berantem,
Bima.. Mending kalian masuk ke mobil, kita bikin acara reuni
kecil-kecial dirumah gue." kataku santai.
Benar saja, wajah mereka
langsung berbinar-binar mendengar perkataanku tadi. Sehari penuh kita
habiskan waktu berenang ditaman belakang rumah, sambil menyemil beberapa
masakkan buatan Emir khas Spanyol. Meskipun rasanya aneh, tapi aku rasa
ada kemajuan untuk Emir. Rasa cupcake bikinannya, tak seasam dulu.
Ha-ha.
Semalam berlalu, para laki-laki
itu betah sekali menatap layar led tv diruang keluarga yang didominasi
warna lapangan hijau. Mereka begadang demi menonton pertadingan sepak
bola, yang menurut Rara dan Niken, itu adalah hal terbosan yang pernah
mereka lakukan: Melihat dua puluh dua orang memperebutkan satu bola.
'Kenapa wasit gak ngasih mereka bola sepak satu-satu biar gak rebutan?' Ucap Niken setiap kali kami menonton pertandingan bola.
Sore ini Emir tengah mengantar
mereka kembali kerumah mereka masing-masing. Sebenarnya aku ingin ikut,
tetapi katanya, aku jaga rumah saja. Selagi menunggu Emir, aku terduduk
diatas sofa, menatap layar led tv yang tergentung ditembok. Huh..
Lama-lama dia memang aneh. Ini seperti bukan Emir yang aku kenal. Emir
yang aku kenal itu orangnya ceroboh, pemalas dan pengecut. Tetapi Emir
yang ada didalam kehidupanku sekarang adalah Emir yang mandiri,
bertanggung jawab, dan hm.. Penyayang. Dia bisa diandalan dalam hal apa
saja.
Dia.. Sempurna.
Dia.. Sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar