"Ehem. Ada yang lagi mikirin aku
ya?" Suara Emir tiba-tiba terdengar keras di telingaku. Aku pastikan
wajah Emir berada diatas bahu kananku persis. Aku hanya bisa
menghembuskan napas berat.
"Engga lah, lagian kamu kan cuma pergi sebentar." Kataku.
Hening..
"Van..?" Panggil Emir yang masih dalam posisi seperti itu.
"Liat ke kanan deh.." Pinta
Emir. Aku tahu yang akan terjadi setelah ini. Saat aku mengalingkan
pandangan ku ke arah Emir.. Hap! Bibir Emir mendarat mulus di pipiku.
Emir..
Tapi sepertinya bukan itu saja
kejutan dari Emir. Aku melihat bungkusan plastik yang sangat besar
berada diatas kap mesin Rush. Plastik besar yang memuat beberapa kotak
yang bisa aku pastikan itu berisi coklat. Aku segera berlari mengambil
plastik itu dan membawanya kembali ke sofa. Aku bongkar paksa isi
plastik itu. Yes. Benar! Plastik ini penuh dengan kotak-kotak coklat!
Dari coklat berbentuk persegi panjang hingga bulat. Dari dark chocolate
hingga sweet chocolate. Dari coklat berwarna putih hingga coklat tua.
Dari coklat dalam negeri ataupun luar negeri. Ini sangat.. Luaar
biasaaa!
Aku segera mendekap Emir dengan
kedua tanganku, saat ia duduk disebelahku. Hmm.. Ini bukan apa-apa. Ini
hanya sebuah tanda terimakasih dariku. Cukup.
Aku segera membuka kotak-kotak
itu, hingga tinggal tersisa dua kotak. Satu kotak paling kecil dan
paling besar. Mulutku masih penuh dengan coklat, sementara dijemariku
memegang sebuah coklat kecil terakhir dari kotak coklat sebelumnya.
Aku
Vanny, dan Aku Chocolate Addict.
Aku tak akan membiarkan siapapun memakan
coklat ini! Termasuk Emir! Dia berhasil mengambil coklat ditanganku, dengan tatapan jahil, dia menantangku untuk mengambil kembali coklat milikku. Langsung saja aku kejar dia hingga dapat. Toh, hukum alam. Kecepatan berlari laki-laki pasti lebih tinggi dari pada kaum hawa. Aku terengah-engah dipojok ruangan, lelah. Aku tak mendapatkan coklatku, coklat yang telah berada di mulut Emir.
Saat aku membuka mata, Emir telah berada didepanku. Dia menarik tanganku, lalu menatapku
lekat. Dia mulai mendekatiku sambil memiringkan kepalanya ke arah kiri dan
memejamkan matanya. Mau ngapain dia....
“Em--”
Cup!
Seketika
mataku membelabak selebar-lebarnya. Ini apa maksudnya! Ini bukan memperjelas!
Tapi mempersulit! Ah! Aku tak bisa berontak! Kedua tanganku dipegang Emir dengan
satu tangannya yang kuat, sementara satunya berada dipunggungku. Kacau.
Emir,
kehadiranmu selalu membawa masalah baru bagi hidupku.. Ingat itu ya.
KRING.. KRING.. KRING..
Handphone-ku tiba-tia berbuyi. Aku segera menarik diri dari Emir dengan sekuat tenaga, lalu mengusap-usap bibirku tanpa berhenti. Ini tindakan yang bodoh! Langsung aku merogoh kantong celanaku.
Daniel is
calling you.
"Hallo,
Van?" Nada Daniel sepertinya tergesah-gesah.
"Ya?" Aku masih mengatur napasku yang masih tersegal.
"Mama kamu! Mama kamu gak ada dirumah kan?"
Deg-- kenpa tiba-tiba dia bertanya soal mamaku sore-sore seperti ini. Kenapa dia tahu mama ku tidak ada dirumah?
"I-iya. Mama dari kemarin pergi," Balasku. Emir terlihat juga sedang mengatur napas dan membenarkan posisi duduknya. "Kenapa?"
"Mama kamu kecelakaan. Aku bawa ke rumah sakit pondok indah--" blabla.
"Ya?" Aku masih mengatur napasku yang masih tersegal.
"Mama kamu! Mama kamu gak ada dirumah kan?"
Deg-- kenpa tiba-tiba dia bertanya soal mamaku sore-sore seperti ini. Kenapa dia tahu mama ku tidak ada dirumah?
"I-iya. Mama dari kemarin pergi," Balasku. Emir terlihat juga sedang mengatur napas dan membenarkan posisi duduknya. "Kenapa?"
"Mama kamu kecelakaan. Aku bawa ke rumah sakit pondok indah--" blabla.
Telingaku
seperti tuli. Aku tak bisa mendengar ocehan Daniel lagi, ataupun mendengar
pertanyaan Emir yang bertubi-tubi melihat reaksiku. Wajahku pucat.
"Van, kenapa?" Tanyanya disela kesibukanku.
"Kecelakaan-rumah-sakit-mama-masuk-pondok-indah." Kata-kataku kacau. Otakku tak dapat berpikir. Emir dengan sigap mengambil kunci mobil diatas meja, dia segera berlari dari hadapanku beberapa saat dan kembali dengan sebuah jaket tergantung dibahunya.
"Ayo!"
"Ke-mana?"
Otakku sepertinya terlalu rumit untuk mencerna tingkah Emir disaat seperti ini.
Emir langsung
menarik tanganku dengan lembut, memasukkan aku kemobil dan dia menyetir dengan
cool-nya. Saat aku melihat kearahmya, eyecontact terjadi. Senyum tipis berada
disudut bibirnya.
"Daniel
pasti bisa menjaga Mama mu untuk sementara waktu. Tenang van.. Semua akan
baik-baik saja." Tangan kiri Emir memegang kedua tanganku yang sejak tadi
aku telungkupkan diatas celanaku. Untuk saat ini, Emir dapat menenangkan hatiku
untuk sementara.
Ku cepatkan langkah kaki ku menuju penghujung
lorong. Aku tinggalkan Emir yang sibuk mencari parkir untuk Rush ku. Benar kata
suster tadi, aku melihat dari kejauhan sosok laki-laki yang berdiri cemas
didepan pintu IGD. Wajahnya tak asing, senyuman yang dulu sering menghiasi
bibirnya kink kandas. Dia benar-benar cemas.
"Dan,
mama tadi kenapa..?" Kataku sambil menyeka air mata.
"Tadi ada kecelakaan tunggal di jalan tol yang sepi. Kebetulan aku lewat. Aku langsung bawa ke rumah sakit. Taunya itu mama kamu." Jelas Daniel panjang lebar.
"Mama didalem ngapain? Aku mau masuk.." Balasku.
"Mama kamu lagi dioprasi, bagian kaki dan kepala bagian belakang paling parah.." Entah dorongan dari mana, aku memeluk Daniel. Dia juga membalas pelukkanku, membiarkan air mata turun membasahi tshirtnya. Kata-kata Daniel satu ini membuat hati aku tertusuk-tusuk. Tak pernah aku sekecewa ini mendengar perkataan Daniel, dia orangnya kalem. Daniel berhasil membuatku menangis didepannya untuk yang kedua kalinya.
"Tadi ada kecelakaan tunggal di jalan tol yang sepi. Kebetulan aku lewat. Aku langsung bawa ke rumah sakit. Taunya itu mama kamu." Jelas Daniel panjang lebar.
"Mama didalem ngapain? Aku mau masuk.." Balasku.
"Mama kamu lagi dioprasi, bagian kaki dan kepala bagian belakang paling parah.." Entah dorongan dari mana, aku memeluk Daniel. Dia juga membalas pelukkanku, membiarkan air mata turun membasahi tshirtnya. Kata-kata Daniel satu ini membuat hati aku tertusuk-tusuk. Tak pernah aku sekecewa ini mendengar perkataan Daniel, dia orangnya kalem. Daniel berhasil membuatku menangis didepannya untuk yang kedua kalinya.
***
EMIR'S POV
Mencari
tempat parkir ditempat seperti ini sama susahnya mencari jarum ditumpuan
jerami. Parkir di Jakarta selalu penuh, tak seperti di Barcelona, dimana
orang-orang dan turis masih menggunakan kaki nya untuk berjalan. Bukan dngan
mesin modern seperti ini.
"Suster maaf mengganggu, pasien Fiona Sophie ada diruangan apa?" Tanyaku setibanya didalam gedung ini. Jujur, aku tak terlalu suka berada dirumah sakit. Baunya, suasananya, ataupun kenangannya.
"Suster maaf mengganggu, pasien Fiona Sophie ada diruangan apa?" Tanyaku setibanya didalam gedung ini. Jujur, aku tak terlalu suka berada dirumah sakit. Baunya, suasananya, ataupun kenangannya.
Kenangan saat ayah menghembuskan napas di rumah
sakit. Kenangan bunda yang belum sempat mendapat perawatan di tempat seperti
ini. Rumah sakit, tempat satu-satunya yang aku benci.
"Dilorong
ini, nanti diujung lorong belok kanan.." Jelasnya setelah mengecek daftar
dicomputer.
"Trimakasih." Kataku sambil menganggukkan kepala.
"Trimakasih." Kataku sambil menganggukkan kepala.
Apa katanya?
Penghujung lorong belok kanan? Apa? Suster itu mau memperlihatkan dua orang
yang sedang berpelukkan seperti itu?
Aku mulai
melangkahkan kaki mendekati mereka. Vanny dan Daniel. Selama aku tak ada, apa
mereka sering melakukannya? Seandainya itu bukan Daniel, kaki ini sudah lama
tak menendang sesuatu. Tangan yang mengepal ini juga siap membengkakkan
rahangnya. Aku menyentuh punggung Vanny dengan pelan sampai akhirnya menyadari
kehadiranku. Wajahnya tetap pucat dicampur dengan rasa terkejut. Terkejut
karena melihat aku dibelakang mereka. Hening.
"Gimana
keadaannya?" Tanyaku memecah keheningan.
"Lagi
oprasi Mir.." Jawab Daniel dengan wajah tak kalah terkejutnya dengan
Vanny. Mungkin dia kerkejut karena aku, dia pasti tak tahu aku berada di
Jakarta sejak seminggu ini. Aku tak akan biarkan dia menyentuhnya lagi.
Daniel, jangan pernah sekali-kali kamu menyentuh memori terindahku.
Daniel, jangan pernah sekali-kali kamu menyentuh memori terindahku.
***
Daniel's POV
Aku tak tahu apa hubungan Vanny dan Emir
sekarang. Mungkin sudah kembali berpacaran, atau malah sudah bertunangan. Dalam
waktu dekat, Vanny resmi sudah lulus kuliah. Dia juga sudah bekerja. Dia tambah
cantik, dewasa, dan feminim. Tak seperti Vanny yang aku kenal jaman SMA dulu.
Ah, Vanny.. Kenapa kamu tak bisa lepas dari pikiranku.
GREG..
Pintu disampingku terbuka. Terlihat tangan Emir
yang tergantung dipinggang ramping Vanny. Deg-- Kenapa aku berharap posisi Emir
adalah aku. Tidak! Aku tak mungkin bisa!
"Gi..gimana?"
Tanyaku berhati-hati.
"Oprasinya berhasil. Tapi ada yang kurang sempurna, beliau kritis." Balas Emir dengan sedikit angkuh terhadapku. Kenapa dia?
"Oprasinya berhasil. Tapi ada yang kurang sempurna, beliau kritis." Balas Emir dengan sedikit angkuh terhadapku. Kenapa dia?
Aku
membiarkan Emir menangani ini semua, mungkin dia lebih bisa menenangkan Vanny
dari padaku. Aku tahu, hati Vanny hanya bisa jatuh pada Emir seorang.
***
Emir's POV
Empat hari
berselang. Disinilah aku berdiri, ditengah perumputan hijau dengan batu nisan
yang ditaruh dalam posisi tertidur dan hanya gundukan tanah berbentuk persegi
panjang yang membedakan bahwa itu adalah makam didaerah Karawang Barat. Aku
mengenakan pantofel, kemeja, jas dan sepatu serba hitam sama seperti
pengunjung yang lain. Wanita yang kurangkul juga sama sepertiku, tetap cantik
seperti biasa. Hanya saja, air mata yang mengalir tak kunjung berhenti sejak
malam tadi, disaat satu-satunya orang tuanya harus pergi untuk selamanya.
Menangis didepan sebuah makam yang baru terisi pagi tadi. Andai saja sedih yang ia pikul bisa berpindah padaku, akan kulakukan apa saja demi dia seorang. Bahuku terbuka lebar untuk membiarkan dia memangis dan menenangkan diri. Tetapi mungkin itu hal mustahil saat ini. Dia menjauh dariku sejak kejadian di lorong rumah sakit empat hari yang lalu. Entah apa yang membuatnya begitu sangat menjauhiku, padahal aku sudah melupakan kejadian buruk itu. Aku tahu persis keadaannya waktu itu, dia pasti sangat amat terpukul. Sama seperti aku kehilangan Ibuku dalam kecelakaan pesawat beberapa bulan lalu. Ah. Sudahlah. Aku tak ingin membahasnya.
Menangis didepan sebuah makam yang baru terisi pagi tadi. Andai saja sedih yang ia pikul bisa berpindah padaku, akan kulakukan apa saja demi dia seorang. Bahuku terbuka lebar untuk membiarkan dia memangis dan menenangkan diri. Tetapi mungkin itu hal mustahil saat ini. Dia menjauh dariku sejak kejadian di lorong rumah sakit empat hari yang lalu. Entah apa yang membuatnya begitu sangat menjauhiku, padahal aku sudah melupakan kejadian buruk itu. Aku tahu persis keadaannya waktu itu, dia pasti sangat amat terpukul. Sama seperti aku kehilangan Ibuku dalam kecelakaan pesawat beberapa bulan lalu. Ah. Sudahlah. Aku tak ingin membahasnya.
Aku tahu Vanny tegar, dia pasti bisa melewati masa-masa seperti ini. Dia hanya butuh waktu.
***
Seminggu berlalu. Selama tujuh hari itu juga aku selalu menyempatan diri datang ke makam mama saat sore hari setelah bekerja sampai matahari terbenam.
Meskipun jarak kantor, rumah dan makam mempunyai
jarak yang sangat jauh dan berbeda arah, aku tetap sajaelakukan hal gila ini.
Tak jarang aku terjebak dalam kemacetan Jakarta yang tak teruraikan. Bahkan
dalam hari-hari tertentu, aku baru bisa sampai rumah pukul sebelas malam. Dan
sialnya, Emir berhasil memergoki ku pulang tengah malam dalam keadaan yang
kacau. Sebenarnya aku binggung. Segitukan Emir sangat memerhatikanku? Untuk
apa? Dia bahkan bukan siapa-siapa ku lagi. Dia terlalu overprotective!
Sore ini sama
seperti sore sebelumnya, aku telah memarkirkan Rush ku dan melangkah pada jalan
setapak menuju makam Mamaku. Aku berlutut didepan makam beliau sambil
mengucapkan doa, bayangan dia selalu muncul saat aku berada ditempat ini,
begitu pula dengan memori-memori bersama dia. Aku tak bisa membendung air
mataku sendiri, benda itu mengalir begitu saja membasahi blazer biru tuaku saat
ini.
"Jadi selama ini kamu disini.."
"Jadi selama ini kamu disini.."
Deg-- aku
segera menyekat air mataku dan mencari sumber suara itu. Emir..
"Kenapa
kaget?" Dia semakin mendekatiku dan duduk disebelahku persis. Tangannya
memegang kedua tanganku.
"Kenapa
kamu kemari? Setiap hari?" Tanya Emir. Aku tak berani menatap matanya
secara langsung. Dia terlalu tajam.
"Aku mau
nemenin Mama, Mir.." Jawabku dengan sedikit terbata-bata.
"Mama
kamu udah diatas Van. Kamu terlalu takut kehilangan Mama mu. Sementara
kenyataannya Mama mu udah pergi.."
"Engga.
Dia masih disini mir."
"Van, sadar. Aku tahu kamu sedih,
kamu merasa kehilangan kan? Aku juga pernah Van. Dua-duanya. Sama
sepertimu. Awalnya memang sulit, tapi lama kelamaan aku bisa
menerimanya--"
"Itu kamu! Bukan aku!"
"Terus kamu mau setiap hari kemari? Dan pulang tengah malam dengan keadaan yang memprihatinkan?" Nada Emir meninggi.
"Segitunya kamu peduli mir? Kamu terlalu overprotective! Kamu tau itu mir!" Emir menarik napas panjang.
"Iya, aku tahu.. Aku sayang kamu, Van. Aku gak akan biarin pacar aku terjebak dalam kesedihannya sendiri." Amarah Emir memuncak.
"Pacar?" Jawabku lirih. Emir terlihat terkejut dengan pertanyaanku. Dia menghembusan napas berat dan melepas genggamamnya.
"Sekarang terserah kamu Van. Aku
gak akan menganggap kamu lebih dari teman lagi. Aku gak punya hak untuk
mengatur atur hidupmu lagi." Emir berdiri dari duduknya.
"Trimakasih untuk semuanya." Dia mundur beberapa langkah. Aku masih terpatung dengan sikapnya yang sangat cepat berubah.
"Selamat Malam Vanvan."
Suara langkah kaki yang menjauh mendengung ditelingaku.Emir pergi begitu saja? Atau Aku yang terlalu keterlaluan? Ah.
Lanjooott min
BalasHapuslanjuuut minn
BalasHapusLanjut woy
BalasHapuslanjut .. Suka bnget ceritanya . Lagii, kabarin cerita selanjutnya .
BalasHapus