Minggu, Agustus 04, 2013

Emir Love Story: "Memories" - PART 11


Sore ini aku memang sengaja untuk pulang lebih cepat. Aku segera memacu Rushku dengan kecepatan tinggi selama jalanan sepi, toh nanti aku juga akan terjebak dalam kemacatan Jakarta. Rencananya, Mama akan pulang dari Manhattan dan tiba di Jakarta nanti malam. Aku tak bertemu lama dengannya, mungkin lebih dari enam bulan lamanya. Semenjak papa di panggil Tuhan, mama lebih senang mengurusi butik-butiknya yang diluar negeri. Mama begitu sensitif, dia bahkan sudah menjual rumah kami sehari setelah aku lulus dari SMA. Katanya: setiap kali dia menginjakkan kakinya dirumah kami, ia selalu terbayang sosok papa. Ya, apa boleh buat. Aku harus menuruti Mama yang sudah menjadi single parents. Otomatis, aku akan jauh dari sahabat-sahabatku: Niken, Rara, Bima dan Aldi. Mereka berempat masuk dalam universitas negeri yang sama. Seperti impian mereka. Sementara aku. Entah mimpi buruk apa aku selama ini. Aku harus berada dalam satu kampus dengan Daniel. Kita satu jurusanJurusan BisnisTapi untung saja kelas kita berbeda.  Jadi, aku tak melihat wajahnya setiap hari. Semenjak kepergian Emir yang kedua, aku selalu menjaga jarak dengan Daniel. Dia juga tak keberatanMenurut pandanganku. Kita memang sudah tak bisa berhubungan lagi. Semuanya sudah selesai. Dan aku sangat keberatan untuk meneruskannya lagi. Kita hanya sebatas Teman.




Oh ya. Emir. Aku binggung, ada sedikit rasa benci dalam hatiku saat mengingat pengecut itu. Tapi setelah dipikir, Ayah Emir meninggal bukan ia yang merencanakan, tapi Tuhan. Mungkin selama ini aku salah untuk memberi julukan pengecut untuknya. Mungkin rasa benci itu lama kelamaan memudar dan berganti kerinduan.

Ah Emir. Beberapa minggu setelah ia pergi, Emir sempat menggirimkan email seperi dahulu. Isinya bisa kau tebak, permintaan maaf untuk yang ke seribu satu kalinya. Maaf-maaf-dan-maaf. Dia tak pernah bosan mengucapkan kata itu. Aku saja bosan membaca kata itu. Bukan, aku bukanberarti menolak permintaan maafnya. Aku hanya.. Entahlah. Tak ada satu emailnya yang aku balas. Aku telah memaafkannya, bukan lewat surat, telepon, email atau apapun. Aku memaafkannya lewat hati. Itu cukup.

Aku melihat ke kanan dan ke kiri. Mencari sosok wanita paruh baya yang mungkin sudah mendarat di Jakarta. Mama. Tapi belum juga terlihat. Aku mencoba mendekat ke arah pintu kedatangan. Ramai sekali. Sepertinya ada pesawat yang baru turun, dan pesawat itu bukan pesawat yang ditumpangi Mama. Aku tak menyerah, aku tetap memerhatikan wajah orang-orang asing yang ada disekitarku.  


Eh, ralat, tak semuanya asing. Ada seorang laki-laki berambut sedikit gondrong, berkulit sawo matang, membawa koper besar dan sepertinya ia terlihat mencari-cari seseorang juga. 

"KAI!" Aku mencoba memanggil orang itu, dan aku mendekati dia. 

"Kai! Kamu nyari siapa?"
Aku menepuknya dari belakang, membuatnya sedikit kaget dan linglung. 


"Kak Vanny? Kakak kenapa

"Kamu kenapa yang disini?"
Kataku memotong kata-kata karil yang terlihat masih terkejut dengan kehadiranku. 


"Kai ada janji di Jakarta.." Katanya

Janji? Sama siapa? Sebenarnya aku ingin tahu jelas, kenapa Kai bisa sampai disini, di Jakarta demi sebuah janji? Segitu pentingkah janji itu, hingga Kai rela terbang dari London dan mendarat di Jakarta?

Aku berusaha menahan semua pertanyaanku. Tak enak rasanya jika aku langsung menembakkan pertanyaan yang sifatnya pribadi didepan umum. Dan, ya. Ku bawa Kai pada sebuah cafe tak jauh dari pintu kedatangaan.Dia duduk persis didepanku. Aku pesankan saja dia makanan, sementara aku hanya minuman, aku tak lapar.
"Jadi.. Kenapa kamu tadi?" Aku memecah keheningan. 

"Tadi?" Tanyanya balik. 


"Iya, soal janji itu.."
Dia merunduk dengan kalimatku ini. 


"Kai disuruh ke Jakarta.." Kata Karil.

"Disuruh? Maksud kamu?" 

"Iya..  Kai juga gak tau ngapain." 


"Disuruh sama siapa?" Tanyaku menyelidik. Dia sudah aku anggap sebagai adik-ku sendiri. Jadi, mana mungkin aku rela adikku sendiri disuruh-suruh orang!


"Hmm.. Disuruh Bang Emir." katanya kalem. 

Siapa? Pengecut itu? Ah. Sudah lah. Lima tahun sudah berlalu. Aku juga tak mempunyai hubungan lagi dengan orang itu. Kami hanya sekedar kenal, cukup. 

"Kamu
" Kalimatku terpotong. 

"Semenjak Bunda pergi dua bulan lalu, Bang Emir sering maksa Kai. Dia berubah jadi kasar. Gak tau kenapa. Dia juga jadi tertutup sama keluarganya sendiri. Kai jadi takut. Bang Emir pernah ngebantah Bang Omar, dan sekarang Bang Omar gak mau ngurusin dia lagi.." Dia menghembuskan napas berat. Apa? Aku tak mengerti. Aku biarkan dia bercerita sendiri. Sepertinya, dia mempunyai masalah yang berat. 


"Kakak, bisa bantu Kai buat balikkin Bang Emir yang dulu, kan?"
 



Apa? Aku harus berteman lagi dengan seorang pengecut bernama Emir itu? Oh, tidak. Aku hanya akan membuang waktuku yang berharga, Aku hanya akan mendapat lelahnya saja. Aku tidak akan mungkin membantu kamu Kai, Maaf.

"Jujur kak, tabungan Kai abis buat ngebantu Bang Emir tinggal di Barcelona, selagi dia nyari pekerjaan baru buat
"

"Pekerjaan baru?"
Tanyaku memotong perkataan Karil.


"Bang Emir dipecat, mungkin gara-gara sikap dia itu.." 


Deg.
Segitukah penderitaan Kai selama lima tahun ini? Apa Emir gak punya rasa sayang sedikitpun ke adiknya? Apa pikiran dia sudah terlanjur buntu? Hah? Emir memang tak pernah berubah. Dia selalu Egois. 


"Nah itu, si abang!"
Karil menunjuk salah satu laki-laki berjaket barcelona sambil mendorong koper-koper besar. 

 
Ah. Sudah. Jangan panggil dia. Aku tak kuat harus menatap matanya. Dia.. Terlihat dewasa. Tetapi siapa yang tahu kalau dia adalah seorang pengecut?

3 komentar:

  1. Minnnnn plisss lanjut els looo yaallahhhhh gue kepo parahhhh

    BalasHapus
  2. min ayo lanjut dongggggg

    BalasHapus
  3. min lanjut, jangan buat gue mati penasaran :)

    BalasHapus