Subject:
News
To:
Angelina Vanny
From: Emir Mahira
From: Emir Mahira
Vanvan, maaf. Aku salah. Harusnya aku
udah kasih tau kamu hal ini sejak beberapa hari lalu. Maaf Van, aku kira ini
akan berjalan lancar. Tapi ternyata, tak semua berjalan mulus.
Jujur, aku gak merencanakan ini
semua.
Dua hari lalu, penyakit jantung Ayah
kambuh. Waktu itu dia ada di Jogja, sempet juga masuk rumah sakit di Jakarta,
sebelum dirujuk ke rumah sakit Singapore. Maaf, dua hari kemarin aku gak bisa
ke rumah mu, gak ada orang lain selain aku yang bisa jagain ayah. Kai sama Omar
masih perjalanan ke Spore. Sementar Ibu, sibuk registrasi dan ngasih tau
keluarga di Indonesia. Sampai tadi pagi, beberapa menit setelah Kai-Omar
dateng, ayah menghembuskan napas terakhir. Dia langsung dibawa ke Jogja, ayah
pernah minta makamnya ada disebelah makam eyang.
Maaf, aku harus meninggalkan kamu saat
pertandingan. Sore ini pesawatku berangkat. Maaf. Aku harus meninggalkan kamu
lagi. Aku janji, aku akan selalu menirimimu kabar. Aku janji, aku akan pulang.
Karna aku tau, orang pertama yang aku cari di Indonesia itu seseorang yang
pasti akan mau menungguku dengan setia.
Aku yakin, waktu tak akan berani
memisahkan kita. Aku yakin jarak tak akan menjauhkan kita. Selama, kita
percaya.
I wish You can still love Me, like I
love You. Te Amo.
Membaca surat ini, sama saja seperti
mimpi buruk yang menantiku selama ini. Bahkan ini lebih mengerikan dari pada
melihat mayat-mayat hidup saat aku bersama.. Ah. Emir..
Aku melangkahkan kakiku ke belakang
sekali lagi. Aku ingin menyandarkan tubuhku, karna kedua lutut ini tak mampu
menopang. Entah ini perasaanku saja atau benar, ada seseorang yang mau menjadi
penopang, agar tubuhku dapat berdiri tegak. Aku tak memperdulikannya. Sekarang
otakku telah membeku, pikiranku kacau. Aku.. Tak menyangka Emir akan pergi
untuk kedua kalinya. Bahkan dia pernah janji kalau dia gak akan pernah pergi
dariku. Ternyata itu semua hanya sekedar janji, janji yang tak akan pernah ia
tepati. Disaat tertentu, dia sangat mengistimewakanku. Hingga akhirnya aku
memutuskan untuk serius kembali kepadanya dan berhenti berhubungan dengan orang
itu, secara sepihak. Aku kira semua skenario ini akan berakhir happy ending.
Tetapi aku baru ingat, ini hidup. Bukan skenario ataupun sandiwara. Aku bukan
aktris yang jago berakting. Aku hanya seorang gadis yang bodoh menaruh harapan
besar kepada seorang laki-laki pengecut sepertinya.
"Vanny?" Suara berat, tapi
bisa terdengar sangat lembut ditelingaku. Aku tersontak. Daniel di belakangku
dan dia adalah seseorang yang menopang diriku. Sekaligus, seseorang yang telah
menjadi pelarianku selama ini.
Aku sadar keberadaan Daniel saat ini,
persis seperti kejadian tiga tahun lalu. Emir pergi, lalu Daniel datang. Saat
Emir datang, aku membuang Daniel. Saat Emir pergi untuk kedua kalinya, Dia..
Masih tetap berada disisiku. Mungkin aku benci sikap Daniel yang terlalu
overprotective. Tapi setidaknya ia lebih dewasa dari laki-laki pengecut
itu.
"Ya..?" Jawabku sedikit
gemetar.
"Sebaiknya kita pulang,
Van.."
Kata-kata Niken aku serap dengan sangat lambat.
"Aku boleh anter dia pulang?" Daniel bertanya
dengan hati-hati.
"Hess." Bima mendesah kesal.
Sebenarnya Bima tadi sudah ingin menolak mentah-mentah permintaan Daniel,
tetapi ditahan oleh Niken yang memegang telapak tangannya.
Bima pergi begitu saja dari hadapanku–hadapan
kami. Disusul Aldi. Aku tahu Bima begitu benci Daniel, tapi ini hanya sekedar
salah paham. Daniel tak seperti yang ia pikirkan. Niken dan Rara menyusul. Saat
mereka pergi, aku merasa kenangan-kenangan indah kita selama ini, terbawa pergi
bersama sahabat terbaikku itu. Mereka.. Mereka seperti memberikanku pilihan,
antara persahabatan atau percintaan. Bodoh. Ini seperti apel dan jeruk yang
tidak dapat dibandingkan. Mereka berbeda! Mereka berdua selalu ada buatku.
Tanpa mereka, mungkin aku tak akan bisa setegar ini.
Setibanya dirumah, mama menyambutku
dengan wajah yang tak kalah cemas. Daniel membopongku ke arah kamar, didampingi
mamaku. Keheningan menyelimuti kami bertiga. Aku tak mau terjadi pembicaraan
serius diantara kita. Pasti mama akan melontarkan bertubi-tubi pertanyaan yang
memojokkan. Dia akan bertanya sampai semuanya terbongkar. Dia selalu bilang, ia
tak mau anak sematawayangnya bisa sampai salah pergaulan. Kalau sudah sampai
tahap itu, ocehan mama pasti tak bisa dihentikan. Dia memang cerewet, tapi dari
situ, aku bisa merasakan kasih sayang dari Mama yang sangat tulus.
"Tante, maaf. Saya boleh minta
beberapa es batu?" Tanya laki-laki satu-satunya yang berada dikamarku.
Awalnya aku dan Mama kebingungan dengan
pertanyaan itu, permintaan Daniel terlalu aneh untuk saat itu. Tapi setelah ia
mendapatkan barang yang ia cari, Daniel mengambil handuk kecil yang ada
ditasnya, memasukkan es itu didalamnya. Dengan telaten dia membuka perban
dikaki kanan ku lalu meletakkan handuk yang terisi es situ pada bagian kaki ku
yang sakit.
Mama melihatnya dengan penuh senyum,
itu sangat memberikan arti yang berbeda untukku. Aku takut. Takut Mama menaruh
harapan besar pada aku dan Daniel, untuk tidak bermain-main. Senyum dan tatapan
mata mama seperti memberitahu, Daniel adalah orang yang tepat untuk
mu, Vanny. Bukan laki-laki kaya raya yang selalu memberikanmu kemewahan, siapa
namanya?
'Shhh.' Aku mendesah kesal.
Emir tak bisa berhenti menghantuinya.
"Sakit ya.. Maaf." Kata Daniel, ia
salah mengartikan desahanku tadi. Aku menggeleng.
Mama semakin tersenyum lebar, sebelum
ia meninggalkan kami berdua ditempat ini. Hah. Kenapa mama harus pergi? Aku tak
betah berada didekat Daniel, berdua disini! Aku merasa ada perang dingin
diantara kita, ada tembok tinggi yang memisahkan kita.
Daniel mengambil tas-nya yang
tergeletak dilantai dan merogoh-rogoh untuk mengambil suatu benda. Entah benda
apa. Aku tak memperdulikannya. Untuk yang kesekian kalinya, aku tak ada
hubungan dengan dia lagi. Titik.
"Hallo Vanny! Selamat ya buat
pertandingan tadi! Aku bangga punya kapten sekuat dan setangguh kamu! Mungkin
kalau lagi pertandingan, kayanya kamu lebih sangar dari pada aku.. "
Suara yang aku kenal, sangat. Suara
yang mungkin akan aku rindukan kembali selama bertahun kedepan. Suara yang
mungkin sekarang sudah berada disuatu pesawat yang akan membawanya pada belahan
dunia lain. Suara itu keluar dari benda yang Daniel cari di tas nya, handphone.
Keluar tawa yang mungkin agak dipaksa saat kalimat terakhir selesai. Lalu,
hening.
"Vanvan.. Mungkin aku udah bilang
beribu kata 'Maaf' untuk kamu. Tapi, aku selalu melakukan kesalahan yang sama. Mungkin
aku laki-laki paling jahat buat hidupmu van. Mungkin aku laki-laki paling
pengecut yang pernah meninggalkan seorang gadis seorang diri tanpa
perlindungannya. Mungkin aku laki-laki terbodoh yang pernah menyuruh seorang
gadis menunggunya kembali.." Hening.
"Mungkin itu semua yang ada
dipikiran kamu tentang diriku, Van. Aku tahu. Semuanya sudah jelas, aku telah
menjelaskan semuanya didalam surat, surat yang aku tulis dengan tangkanku
sendiri."
Kata-kata Emir semakin melambat.
"Kalau kamu ada dihadapanmu
sekarang, aku aka memberikan pekukkan terakhir buat mu, sebelum aku pergi. Take
care my little baby, Angelina Vanny. Love you ya.." Hening.
Benar-benar hening. Bola mataku basah,
ingin rasanya aku menangis sekarang juga!
Aku mengambil bantal, dan menutupi
wajahku dengan benda itu. Aku tak mau terlihat lemah dihadapan Daniel. Dia tak
pernah melihatku menangis.
Aku tak akan membiarkan itu terjadi.
Tapi entah, kata demi kata yang Emir katakan tadi kembali mengiang dikepalaku.
Aku binggung! Apa maksud Emir ngerekam suara dia di handphone Daniel? Kenapa
tidak di Niken, Rara, Aldi atau temannya sendiri, Bima? Bukannya akan
mempermudah semuanya? Dia aneh.
"Love you too ya.."
Terdengar bisikan yang keluar
diantara tangisanku yang semakin menjadi-jadi dibantal yang aku peluk. Biarlah
Daniel melihatnya, aku tak perduli. Aku ingin menenangkan diriku dengan caraku
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar