Senin, Juli 01, 2013

Emir Love Story: "Memories" - PART 9



Kemarin aku paksakan tubuhku untuk berlatih berjalan dan stretching. Kaki kananku sudah lebih baik dari kemarin, hanya saja sendi pada pergelangan kaki masih sedikit kurang sempurna. Aku yakin, jika saja aku memeriksakan pada dokter yang bertugas. Dia tidak akan memperbolehkanku bertanding saat ini. Tapi, semuanya tergantung pada pertandingan nanti. Aku bisa menahan rasa sakit ini selama pertandingan, kecuali terjadi kecelakaan untuk kedua kalinya pada kaki yang sama. 

Aku melihat jam ditangan, 03:45. Aku tak yakin dalam waktu lima belas menit, aku telah berada di GOR. Saat ini saja aku berjalan dari rumah hingga portal komplek, butuh waktu sepuluh menit. Jaraknya tak terlalu jauh, sekitar 200 meter. Sementara gor bisa sampai 4 kilometer. Meski aku sudah dibantu sebuah tongkat bambu, tapi ini tak berguna. Benda ini membuat aku semakin melambat.

Mobil-mobil melewatiku begitu saja. Andai, aku masih mempunyai Daniel. Pasti sekarang aku telah sampai di gor dengan motornya. Hah.. Daniel. 'Udahlah, jangan berharap terlalu tinggi. Daniel bukan milikmu lagi Van. Yang ada Emir, bukan Daniel.' Kata suara lain dari hatiku. Emir.. Andai ada Emir, aku yakin dia akan mengantarku dengan segala kemewahannya. Emir, anak yang beruntung mempunyai orang tua sebagai direktur beberapa perusahaan besar. Mereka keluarga sibuk. Saking sibuknya, hidup mereka berpencar. Kalau tak salah, ayah dan ibunya tinggal nomaden sekarang. Antara Singapore, Kuala Lumpur, Jakarta dan Yogyakarta. Bisnis mereka dimana-mana. Kakaknya.. Aku tak tahu pasti, Emir bilang dia tinggal di Eropa sana. Menuntut ilmu. Sementara adiknya.. Karil, ya Kai. Aku anggap dia seperti adik laki-lakiku. Aku sering bermain dengannya jika Emir sedang berlatih bola dan jika rumah sepi. Ya.. aku kesepian dirumah, anak tunggal itu tak selamannya enak. 
TINN..TINN..

Suara klakson mobil membangunkanku dari lamunanku. Aku segera menggeser tubuhku hingga merapat ke tembok. 

"Butuh tumpangan tuan putri..?" 

Aku menoleh. Pajero merah marun mengikuti langkahku dari belakang. Itu suara Bima. Disusuli senyuman Aldi, Rara dan Niken. Ada rasa sedikit kecewa saat mengetahui Emir tak ada di dalam mobil. Ya sudahlah. Mungkin dia sudah berada di gor. Mungkin. Aku berharap besar padanya..

Pertandingan baru setengah selesai, tapi kakiku tak bisa di kompromi. Tim kita telah tertinggal 8point. Hal yang aku takutkan akhirnya datang. Kecelakaan kecil yang membuat kaki kananku harus menopang seluruh tubuhku saat aku terjatuh. Pertandingan terpaksa terhenti. Semua perhatian tertuju padaku. Untuk beberapa waktu rasa sakit itu menghentikan seluruh panca indraku. Suara cheers yang terkejut melihat aku tergeletak tak berdaya, kini tak terdengar. Pandanganku kabur, lama kelamaan menjadi hitam. 

"Dimana Vanvan? Mana?" Suara yang sepertinya aku kenal. Ya. Aku sangat mengenali panggilan itu. Tapi aku tak ada tenaga sedikit pun untuk membuka kedua kelopak mataku.

Kulit kepalaku merasakan sentuhan yang lembut. Aku tak ingat semuanya, kejadian itu terjadi begitu cepat. Yang aku tahu, aku terjatuh dengan kaki kananku yang masih cidera sebagai tumpuan dan semuanya kelihatan begitu gelap. Seperti saat ini.

"Vanvan.." Suara tak kalah lembut menggema ditelingaku. Mengalahkan sorak sorai dari orang-orang disekitar kami. Setelah mengumpulkan semua kekuatan, aku membuka mataku. Emir, dia berada di sisi kanan tubuhku. Tangan kirinya berada dipunggungku, sementara tangan kanan memegangi telapak tangan kananku.  

"Van? Kamu bukan dugong yang terdampar dipantai kan?" 

Aku terkikik kecil. Disaat seperti ini Emir masih bisa membuatku tersenyum. Ini adalah salah satu kelebihannya dari laki-laki lain. Senyumnya dan tawanya tak pernah padam dari dirinya. Emir.. Dia tak akan bisa digantikan oleh orang lain. Tak terkecuali Daniel. Oh ya. Samar aku melihat dirinya disamping Emir, tapi sekarang tak ada. Entahlah. Dia bukan urusanku lagi..

"Perlu dicarikan pengganti?" Tawar Emir. Tentu saja aku menjawab, tidak. 

Aku mencoba berdiri, dibantu Emir tentunya. Tiba-tiba saja Daniel datang denganjemari yang menggenggam perban. Dia langsung melingkarkan benda itu pada pergelangan kaki kanan ku. Saat dia selesai, aku masih tak menyangka dia akan datang secepat itu. 

"Setidaknya, kakimu akan membaik." Katanya kalem, tenang.. Seperti biasa. 

Dan kali ini aku benar-benar berdiri. Benar katanya, kakiku lebih ringan sekarang. Saat aku bertanding, terlihat kasat mata, Emir duduk ditengah-tengah sahabatkuSahabat kami. Mereka terlihat sempurna, sama seperti tiga tahun lalu. Aku tak ingin kehilangan mereka lagi, terutama Emir. Dia selalu bisa membawa kami masuk dalam dunianya yang unik. Emir selalu bilang jika salah satu diantara kita ada yang down. In three words I can sum up everything I've learned about life, 

"It Goes On, Van.. Aku yakin kamu bisa." Teriakan Emir terdengar jelas di telingaku, mengalahkan segala suara yang ada ditempat ini. 

Yap, seperti yang aku harapkan. Tim ku, tim Kami, Keluar sebagai Juara I Lomba Basket Putri antar SMU Se-Jakarta. Pertama kalinya aku sebagai kapten bisa mewakilkan teman-teman untuk mengangkat trofi itu. Bangga. Aku yakin Emir akan bangga akan ini. Saat aku keluar nanti dari ruang ganti, pasti dia akan mencariku, menggenggam tanganku dengan erat dan kata-kata yang menyatakan bahwa dirinya bangga pasti akan keluar dari mulutnya. Atau.. Dia akan mengejekku lagi dan membuat kami tertawa. Hah. Ingin rasanya keluar dari ruang ganti ini dan kabur meninggalkan teman-teman tim ku yang masih mengangkat trofi kami. 

Benar apa ku bilang. Niken, Rara, Aldi, dan Bima telah menungguku didepan. Tetapi.. Mata mereka.. Mata mereka basah dan lembab. Aku lihat bibir mereka mengembangkan senyum yang agak dipaksa. Entah, ini benar atau perasaanku saja. Sebelum aku bertanya, mereka sudah memelukku diikuti tangisan Niken dan Rara. Aku merasa aneh. 


Seperti pertandingan-pertandingan sebelumnya, Niken, Rara, Bima dan Aldi tak mau memelukku, atau sekedar menyentuh. Kata mereka tubuhku bau sekali, seperti apa yang pernah dikatakan Emir saat kami bertemu di bandara. Tunggu. Emir?

Aku berhasil melepaskan pelukan mereka. Mundur beberapa langkah, untuk meminta penjelasan dari mereka. Ini semua tak wajar, something wrong here! Tiba-tiba saja Bima menyodorkan sebuah lipatan kertas ke arahku. Jari-jari gemetar saat membuka lipatan-lipatan itu. Aku mundur beberapa langkah lagi dan menggeleng lemah untuk meyakinkan semua ini hanya lelucon! Tapi, wajah mereka tak menunjukkan perubahan, tak menunjukkan bahwa ini sekedar skenario mereka. Aku membaca surat yang ditulis oleh tangan berkali kali sampai pada bagian tertentu aku sudah bisa menghafalnya.


^^^
Part Lain? Klik.

2 komentar:

  1. Lanjooottttt!! Gatau knp gue selalu excited sm story lo haha~

    BalasHapus
  2. Lanjuutt dong miinn... Gw ga ada kerjaan jadi baca ELS loo, tapi pas gw liat udah baca semua booring jadinyaa._. Lanjuutt!segera di kirim

    BalasHapus