Kemarin
aku paksakan tubuhku untuk berlatih berjalan dan stretching. Kaki kananku sudah
lebih baik dari kemarin, hanya saja sendi pada pergelangan kaki masih sedikit
kurang sempurna. Aku yakin, jika saja aku memeriksakan pada dokter yang
bertugas. Dia tidak akan memperbolehkanku bertanding saat ini. Tapi, semuanya
tergantung pada pertandingan nanti. Aku bisa menahan rasa sakit ini selama
pertandingan, kecuali terjadi kecelakaan untuk kedua kalinya pada kaki yang
sama.
Aku melihat jam ditangan, 03:45. Aku
tak yakin dalam waktu lima belas menit, aku telah berada di GOR. Saat ini saja
aku berjalan dari rumah hingga portal komplek, butuh waktu sepuluh menit.
Jaraknya tak terlalu jauh, sekitar 200 meter. Sementara gor bisa sampai 4
kilometer. Meski aku sudah dibantu sebuah tongkat bambu, tapi ini tak berguna.
Benda ini membuat aku semakin melambat.
Mobil-mobil melewatiku begitu saja. Andai, aku masih mempunyai Daniel. Pasti sekarang aku telah sampai di gor dengan motornya. Hah.. Daniel. 'Udahlah, jangan berharap terlalu tinggi. Daniel bukan milikmu lagi Van. Yang ada Emir, bukan Daniel.' Kata suara lain dari hatiku. Emir.. Andai ada Emir, aku yakin dia akan mengantarku dengan segala kemewahannya. Emir, anak yang beruntung mempunyai orang tua sebagai direktur beberapa perusahaan besar. Mereka keluarga sibuk. Saking sibuknya, hidup mereka berpencar. Kalau tak salah, ayah dan ibunya tinggal nomaden sekarang. Antara Singapore, Kuala Lumpur, Jakarta dan Yogyakarta. Bisnis mereka dimana-mana. Kakaknya.. Aku tak tahu pasti, Emir bilang dia tinggal di Eropa sana. Menuntut ilmu. Sementara adiknya.. Karil, ya Kai. Aku anggap dia seperti adik laki-lakiku. Aku sering bermain dengannya jika Emir sedang berlatih bola dan jika rumah sepi. Ya.. aku kesepian dirumah, anak tunggal itu tak selamannya enak.
TINN..TINN..
Suara klakson mobil membangunkanku dari
lamunanku. Aku segera menggeser tubuhku hingga merapat ke tembok.
"Butuh
tumpangan tuan putri..?"
Aku menoleh. Pajero merah marun
mengikuti langkahku dari belakang. Itu
suara Bima. Disusuli senyuman Aldi, Rara dan Niken. Ada rasa sedikit kecewa
saat mengetahui Emir tak ada di dalam mobil. Ya sudahlah. Mungkin dia sudah berada di gor. Mungkin. Aku berharap
besar padanya..
Pertandingan baru setengah selesai,
tapi kakiku tak bisa di kompromi. Tim kita telah tertinggal 8point. Hal yang
aku takutkan akhirnya datang. Kecelakaan kecil yang membuat kaki kananku harus
menopang seluruh tubuhku saat aku terjatuh. Pertandingan terpaksa terhenti.
Semua perhatian tertuju padaku. Untuk beberapa waktu rasa sakit itu
menghentikan seluruh panca indraku. Suara cheers yang terkejut melihat aku
tergeletak tak berdaya, kini tak terdengar. Pandanganku kabur, lama kelamaan
menjadi hitam.
"Dimana
Vanvan? Mana?"
Suara yang sepertinya aku kenal. Ya. Aku sangat mengenali panggilan itu. Tapi
aku tak ada tenaga sedikit pun untuk membuka kedua kelopak mataku.
Kulit kepalaku merasakan sentuhan yang lembut. Aku tak ingat semuanya, kejadian itu terjadi begitu cepat. Yang aku tahu, aku terjatuh dengan kaki kananku yang masih cidera sebagai tumpuan dan semuanya kelihatan begitu gelap. Seperti saat ini.
"Vanvan.." Suara tak kalah lembut menggema
ditelingaku. Mengalahkan sorak sorai dari orang-orang disekitar kami. Setelah
mengumpulkan semua kekuatan, aku membuka mataku. Emir, dia berada di sisi kanan
tubuhku. Tangan kirinya berada dipunggungku, sementara tangan kanan memegangi
telapak tangan kananku.
"Van? Kamu bukan dugong yang
terdampar dipantai kan?"
Aku terkikik kecil. Disaat seperti ini
Emir masih bisa membuatku tersenyum. Ini adalah salah satu kelebihannya dari
laki-laki lain. Senyumnya dan tawanya tak pernah padam dari dirinya. Emir.. Dia
tak akan bisa digantikan oleh orang lain. Tak terkecuali Daniel. Oh ya. Samar aku melihat dirinya
disamping Emir, tapi sekarang tak ada. Entahlah. Dia bukan urusanku lagi..
"Perlu
dicarikan pengganti?" Tawar
Emir. Tentu saja aku menjawab, tidak.
Aku mencoba berdiri, dibantu Emir
tentunya. Tiba-tiba saja Daniel datang denganjemari yang menggenggam perban.
Dia langsung melingkarkan benda itu pada pergelangan kaki kanan ku. Saat dia
selesai, aku masih tak menyangka dia akan datang secepat itu.
"Setidaknya,
kakimu akan membaik."
Katanya kalem, tenang.. Seperti biasa.
Dan kali ini aku benar-benar berdiri.
Benar katanya, kakiku lebih ringan sekarang. Saat aku bertanding, terlihat
kasat mata, Emir duduk ditengah-tengah sahabatku–Sahabat kami. Mereka
terlihat sempurna, sama seperti tiga tahun lalu. Aku tak ingin kehilangan
mereka lagi, terutama Emir. Dia selalu bisa membawa kami masuk dalam dunianya
yang unik. Emir selalu bilang jika salah satu diantara kita ada yang down. In three words I can sum up everything I've
learned about life,
"It Goes On, Van.. Aku yakin kamu
bisa." Teriakan
Emir terdengar jelas di telingaku, mengalahkan segala suara yang ada ditempat
ini.
Yap, seperti yang aku harapkan. Tim
ku, tim Kami, Keluar sebagai Juara I Lomba Basket Putri antar SMU Se-Jakarta.
Pertama kalinya aku sebagai kapten bisa mewakilkan teman-teman untuk mengangkat
trofi itu. Bangga. Aku yakin Emir akan bangga akan ini. Saat aku keluar nanti
dari ruang ganti, pasti dia akan mencariku, menggenggam tanganku dengan erat
dan kata-kata yang menyatakan bahwa dirinya bangga pasti akan keluar dari
mulutnya. Atau.. Dia akan mengejekku lagi dan membuat kami tertawa. Hah. Ingin
rasanya keluar dari ruang ganti ini dan kabur meninggalkan teman-teman tim ku
yang masih mengangkat trofi kami.
Benar apa ku bilang. Niken, Rara,
Aldi, dan Bima telah menungguku didepan. Tetapi.. Mata mereka.. Mata mereka
basah dan lembab. Aku lihat bibir mereka mengembangkan senyum yang agak
dipaksa. Entah, ini benar atau perasaanku saja. Sebelum aku bertanya, mereka
sudah memelukku diikuti tangisan Niken dan Rara. Aku merasa aneh.
Seperti
pertandingan-pertandingan sebelumnya, Niken, Rara, Bima dan Aldi tak mau memelukku, atau sekedar menyentuh.
Kata mereka tubuhku bau sekali, seperti apa yang pernah dikatakan Emir saat
kami bertemu di bandara. Tunggu. Emir?
Aku berhasil melepaskan pelukan mereka. Mundur beberapa langkah, untuk meminta penjelasan dari mereka. Ini semua tak wajar, something wrong here! Tiba-tiba saja Bima menyodorkan sebuah lipatan kertas ke arahku. Jari-jari gemetar saat membuka lipatan-lipatan itu. Aku mundur beberapa langkah lagi dan menggeleng lemah untuk meyakinkan semua ini hanya lelucon! Tapi, wajah mereka tak menunjukkan perubahan, tak menunjukkan bahwa ini sekedar skenario mereka. Aku membaca surat yang ditulis oleh tangan berkali kali sampai pada bagian tertentu aku sudah bisa menghafalnya.
^^^
Part Lain? Klik.
Lanjooottttt!! Gatau knp gue selalu excited sm story lo haha~
BalasHapusLanjuutt dong miinn... Gw ga ada kerjaan jadi baca ELS loo, tapi pas gw liat udah baca semua booring jadinyaa._. Lanjuutt!segera di kirim
BalasHapus