Senin, Maret 11, 2013

"Love Act" - Fan Fiction Emir Mahira


"Love, it never happens like You think  it really should"


Sudah 5 tahun Sivia pacaran dengan Emir. Waktu yang cukup lama. Tapi 2 tahun terakhir, Emir harus pindah rumahnya ke kota metropolitan yang sangat besar, Jakarta. Sebaliknya, Sivia tinggal disebuah desa kecil didekat Yogyakarta. Jauh jarak yang memisahkan mereka. Untungnya, Emir masih ingat dengan Sivia disini. Emir sering memberitahukan kabarnya, dan memberikan banyak informasi dari Jakarta. Mereka baru bertemu 2kali sejak Emir meninggalkan Sivia. Itu saja mereka hanya bertemu sebentar. Sejak saat itu, Emir dan keluarganya berubah menjadi keluarga sibuk. 



Enam bulan berlalu. Enam bulan itu juga Emir mulai jarang memberikan kabarnya. Kadang-kadang Sivia mengirimkan pesan singkat tapi tak ada balasan. Dulu pernah dia bilang
"Maaf, aku sibuk banget disini. Tapi kalau aku ada waktu pasti aku bales. Maaf banget ya Siv :) ilysm{}"



Sivia cuma bisa tersenyum pahit. Jakarta memang kota yang besar, kota sibuk. 
Kemarin sore Emir mengirimkan sms.



"Sivia! Aku bakal ke Jogja lusa!"
"iya? Kamu berangkat bareng siapa?" membalas smsnya.
"bareng temen-temen aku :D"
"Yeey! Sivia gak sabar!" dan dia tak membalas lagi.



Akhirnya.. Bersama teman-teman dari Jakarta-nya itu mendarat juga di Bandara Adisutjipto Yogyakarta
Hari ini Sivia berencana bilang ke Mas-nya, supaya besok Sivia bisa diantarnya ke Jogja. 



"Mas, besok bisa anterin Sivia ke Jogja?"
"Besok?"
"iya mas"
"Besok Mas Cakka ada tugas di sekolah"
"yah, mas bentar aja mas. Jarang Sivia ketemu sama Emir, mas :("
"Emir? Emir siapa?" kata Cakka penasaran.
"Emir, mas. Emir yang pindah ke Jakarta itu..."
"oh! Emir pacar kamu itu?"
"i..iya" kata Sivia malumalu
"Sivia masih pacaran sama Emir?! Udah berapa tahun kalian gak ketemu?!"
"emm.. Udah lama mas"
"kalau.. Mas Cakka jadi kamu, mungkin Mas Cakka udah mutusin dia.."
"hus! Mas Cakka ngomong apa sih! Sivia mau belajar dulu!"
"haha.. Yang bener ya adik paling cantik mas cakka belajarnya!"

Malam ini, Emir sms.

"Selamat malam Sivia! Sivia lagi sibuk gak? Mas Emir mau nelpon Sivia :)" Jarang Emir sms seperti ini. 

"Telpon aja mas :)" bales sms Emir

Tak berapa lama handphone Sivia bunyi. Dada Sivia mulai berdetak lebih cepat, karena lama tak mendengar suara Emir.

"Hallo? Sivia?"
"............."
"Siv? Ini Sivia kan?"
"..............."
"Sivia? Ini Mas Emir.. Kamu kenapa?"
Telpon Sivia tutup. 

Suara Mas Emir beda. Beda banget. Garagara Mas Emir tinggal di Jakarta? Atau karena Sivia gak pernah mendengar suara Mas Emir lagi?

"Sivia? Tadi mas telepon kok diputus?" isi sms Emir ke Sivia. 

Dia binggung mau bales apa. Untuk sejenak Sivia berdiam diri. Menarik napas dan menenangkan dirinya. 

Emir nelepon lagi. Untuk saat ini, Sivia lebih tenang mengangkatnya.

"Sivia? Ini benerkan kamu?"
"i..ya..."
"Siviaa! Aku kangen kamu!"
"Mas Emir?"
"iya ini mas, siv"

Mata Sivia mulai berkacakaca. Sivia adalah perempuan tangguh di desa mereka. Tapi, kalau masalah Emir, yang lama tak ia jumpai?

"Sivia juga kangen sama Mas.. Mas Emir kapan ke Jogjanya?"
"Mas udah di Jogja.. Tadi sore baru sampai"
"Mas udah di Jogja?!"
"iya.. Mas udah gak sabar mau ketemu kamu"
"Sivia juga mas.." Air matanya mulai turun.
"Kamu kenapa Sivia? Kamu nangis?"
"eng..enggak mas.. Sivia gak sabar besok"
"besok kita tekemu di cafe ya? Nanti Mas Emir kasih tau tempatnya"
"iya mas.."
"Siv, udah ya.. Mas mau tidur. Mas capek"
Ingin rasanya Sivia tak memutus pembicaraan.
"Yasudah.. Sampai besok Mas :']"
"Dah.. Selamat malam Siviaku yang cantik.."

Besoknya Sivia mendapat alamat tujuan Emir. Pagipagi benar ia sudah bersiap dan membangunkan Cakka yang tak mau terlambat. 

Akhirnya mereka sampai disuatu cafe. 

"Siv, kayanya nanti mas harus pulang. Ada tugas belum selesai"
"nanti Sivia pulang sama siapa mas?"
"Kamu naik bis ya. Ini Mas Cakka kasih uang"
"ya mas.. Makasih ya Mas Cakka! Hatihati pulangnya"
"Iya, hatihati juga ya! Kalau ada apaapa telepon mas. Sama, titip salam buat Emir"
"iya mas! Nanti Sivia sampaikan! Dah !"

Sivia mulai memasuki cafe itu. Mencari wajah seseorang yang lama tak berjumpa dengannya. Tapi tidak ada. Sampai, dia mendengar suara yang memanggilnya. Sivia binggung, siapa yang memanggil namanya. Tibatiba ada seseorang yang menyentuh pundaknya. Dia pun reflek berbalik. Sivia kebingungan. Sesosok remaja lakilaki berjambul, kaca mata hitam, berpakaian kotakkotak biru lengan panjang dan celana jeans hitam yang ada dibelakangnya. Dia membuka kacamatanya. Sivia semakin binggung. 

"Siv, ini mas.."
"ha?"
"Ini Mas Emir, Siv"
Sivia kembali degdegkan. Keringat menetes.
"Mas Emir?"
"Iya.."

Mata Sivia kembali panas dan mengeluarkan air mata kembali

"Oh.. Jadi selama kamu aku tinggal, kamu jadi cengeng gini ya?"
Silvia mukul Emir dengan gelinya. 
"apa sih mas? Engga lah"

Emir mengajak Sivia menuju tempat duduknya. Disana terlihat ada temanteman Emir yang sebaya.
Mas Emir mengenalkan mereka satusatu. Mereka terlihat cantik dengan kaos dan hotpans. Salah satu dari mereka juga ada lakilaki, yang gayanya gak jauh dari Emir. Emir udah benerbener jadi anak kota metropolitan. 

Beberapa menit setelah mereka berbicara, teman-teman Emir pun keluar dari cafe. Disana tinggal Sivia, dan Emir. Berdua disatu meja. Mata kita saling berpandangan. Mata Sivia sangat menikmati pandangan ini. Dia sudah lama tak memandang mata Emir yang indah itu. Mata Emir pun membalas pandangan Sivia. 

"hmm.. Lama ya.."
"iya mas.."
"Lamalama kamu makin cantik.. Beda sama jaman dulu"
"mas juga.."
"Mas kangen senyuman kamu.. Disana gak ada senyuman seindah kamu"
"ah.. Mas.." Menyusul pipinya yang semakin memerah.
"serius.. hahaha.. Oia Siv, kamu kesini sama siapa?"
"Sama Mas Cakka, ada salam dari dia"
"oh.. Cakka kakamu paling ganteng itu?"
"iya mas hehe"
"Mas pingin ketemu sama dia"
"yah Mas Emir gak bilang dari tadi. Mas Cakka-nya udah pulang tadi. Kayanya dia gak ke sini lagi jemput Sivia"
"gapapa Siv, nanti Mas Emir telepon dia"

Emir mulai memegang tangan Sivia yang membuat dia canggung.

"Kenapa Siv? Gapapa kan Mas Emir pegang tangan kamu?"
"eng.. Gakpapa mas"
"Mas pengen ngajak kamu jalanjalan"
"kemana?"
"tunggu ya.. Mas mau bayar dulu"

Suasana masih sejuk, matahari belum mengeluarkan sinarnya yang menusuk itu. Emir yang membonceng Silvia pergi ke suatu tempat yang masih dirahasiakan. Sesampainya, Sivia melihat hamparan luas pasir putih dan laut yang melintang. Mereka jalan berdua, bersenangsenang, melupakan semua hal yang menguras pikiran, menghabiskan waktu yang langka ini. Mereka  berdua bermain seperti anak TK yang baru pertamakali pergi ke pantai. Saat Sivia jatuh, Emir selalu membantunya. Saat Emir lelah, Sivia selalu menjadi penyemangat untuk Emir. 
Sore pun tiba. Mereka menunggu indahnya sunset. 

"Sivia.."
"ya? Kenapa mas?"
"Mas gak pernah melihat pantai seindah ini.. Mas juga gak pernah ngerasa seseneng ini sebelumnya"
"iya mas.. Kan kita udah lama gak ketemu"
"Mas gak ingin kehilangan kamu lagi. Mas gak ingin pisah dari kamu."
"Mas kan harus ke Jakarta.."
"Mas mau berangkat sama kamu"
"gak bisa Mas Emir, Sivia punya kewajiban disini.. Mas Emir juga kan. Di Jakarta kan lebih enak mas.. Banyak mall, game, dan banyak lagi"
"tapi disana gak ada kamu.."
"telpon bisa kan? Hah.. Mas kok jadi cengeng gini"
"hah? Engga. Mas gak nangis"
"tapi ngeluh. Udah lah mas, jangan dipikirin.. Suatu saat pasti kita kan bertemu lagi"
"iya Siv. Kamu bener"

Matahari mulai hilang dari pandangan. Cahaya pedesaan menemani perjalanan Emir yang mengantar Sivia kerumahnya.

"Mas Cakkaaa..! Maaas..!!"

Tak berapa lama Cakka keluar dari rumahnya. Cakka begitu kaget melihat Emir didepannya.

Mereka pun langsung berpelukkan.

"Udah gede banget kamu Mir"
"hehe iya mas.. Mas juga makin ganteng aja"
"halah, gak usah manggil mas. Panggil Cakka aja.."
Sementara Sivia membuatkan minum untuk masmasnya itu.
"gimana di Jakarta?"
"ya.. Baik mas"
"pasti banyak yang cantik ya disana?"
"yo, pasti mas. Disana kan kota besar"
"kenapa kamu gak pacaran aja sama mereka? Katanya cantik?"
"aku tetep milih Sivia lah mas, dia lebih dari pada cantik. Dia itu baik, dia masih lugu mas. Dan senyumannya itu loh"
"Kenapa senyuman adekku?"
"Senyumannya.. Bikin hati aku meleleh"


Seketika Sivia datang membawa cangkir-cangkir teh yang menghangatkan mereka.

"meleleh apanya mas?" tanya Sivia
"bukan apaapa hehe." kata Emir
"terus kalian bakal tetep lanjut?" tanya Cakka yang membuat Emir dan Sivia kaget.
"Kenapa? Mas Cakka salah?" lanjutnya

Sebenarnya, Emir ataupun Sivia sangat bingung menjawab pertanyaan yang dilontarkan Cakka kepada mereka. Emir dan Sivia saling berpandangan. Mereka seperti berbicara melalui mata.

"Kita akan jalani apapun itu yang terjadi." Kata Emir membela diri sambil mengengam tangan Sivia.
"Iya.. Karena kita percaya satu sama lain." Kata Sivia

Cakka hanya tersenyum mendengarnya. Dia tak yakin bahwa Emir dan Sivia tak akan berpisah. Karena Cakka punya pengalaman yang kurang mengenakan dengan pasangannya waktu itu. Semenjak saat itu, Cakka lebih sibuk belajar. Ayah Sivia dan Cakka telah meninggal 6Tahun lalu. Ibu mereka menyusul 3 tahun kemudian. Sebagai saudara yang lebih tua, Cakka wajib menjaga dan menghidupi adik kecilnya.

"Terus sampaikapan kamu di Jogja?"
"Besok Emir pergi dari Jogja Mas."

Sivia terdiam mendengar perkataan yang keluar dari mulut seorang lakilaki yang paling ia tunggu kedatangannya.

"Kamu mau kemana lagi?"
"Emir mau ke Candi Borobudur sama temen-temen Emir. Ada tugas sejarah gitu"

Sebuah pertanyaan polos yang keluar dari bibir mungil Sivia

"Berarti malam ini kamu harus pulang ke Jogja?"
"Maaf Siv.."

Cakka pergi dari hadapan mereka. Cakka ingin memberikan waktu kepada Emir untuk menenangkan hati Sivia.
Melihat Cakka yang tak ada lagi didepan mereka. Emir langsung merangkuk dan memeluk Sivia yang sedang kelabu hatinya.
"Mas Emir minta maaf Siv"
"..."
"Siv, ini bukan kemauan Mas Emir.. Mas Emir maunya tinggal disini sama kamu dan Mas Cakka. Mas Emir serius"
Mata Sivia mulai meneteskan air mata.
"Mas Emir minta maaf.. Sivia"
"Mas Emir perlu minta maaf, Mas Emir gak salah"
"Siv, kamu jangan nangis gitu"
"Sivia gak nangis mas. Sivia seneng bisa ketemu Mas Emir meskipun cuma sehari.."
"Maaf Siv, Mas Emir cuma bisa nemenin kamu kaya gini"
"Ini udah spesial banget mas dalam hidup Sivia"
"jadi gapapa kalo Mas Emir pulangkan?"
"ya..ya..yagapapa mas.. Asal Mas Emir jangan ngelupain Sivia ya. Meskipun Sivia gak secantik teman-teman mas di Ja...." 
"Siv, kamu cantik." putusnya
"Mas gak usah bohong. Sivia udah tau teman-teman Mas Emir kok. Mereka yang cantik, cantik banget. Kaya artis di tv. Mereka pasti punya rambut panjang terurus, pake bedak, dan pake celan pendek kemana-mana. Sivia gak ada apa-apanya dibanding mereka"
"Sivia.. Kamu.." Emir memegang pipi Sivia dan menghadapkan mata Sivia ke matanya.
Belum pernah mereka duduk sedekat ini selama mereka berteman ataupun berpacaran.
"Siv, kamu itu cantiknya bukan.. Kamu.. Kamu cantiknya itu beda! Mas Emir merasa nyaman sama kamu dibanding mereka. Kamu itu ramah, hati kamu tulus, kamu cantiknya itu dari hati."

Kalimat itu meyakinkan diri Sivia dan membuktikan kepada kakanya supaya mereka tetap melanjutkan hubungannya dengan Emir.
Malam pun tiba. Semua tamu di desa mereka tak boleh berada diluar rumah sampai larut malam seperti ini. Akhirnya Emir pun pamit kepada Sivia dan Cakka. Sivia bersalaman dengan Emir untuk yang terakhir kalinya pada pertemuan malam itu. Emir langsung memeluk Sivia dengan erat, karena ia tak mau berpisah dari Sivia. Emir membisikkan sesuatu kepada Sivia yang membuat Sivia meneteskan air mata dibahu Emir.
"Mas Emir sayang sama kamu Siv. Biarpun berpuluh kilometer memisahkan kita. Tapi kita akan tetap satu Siv, sampai kapanpun"

Cakka yang mendengar perkataan itu ikut bersedih. Ia sadar sekarang, betapa kuatnya kasih sayang adiknya dengan lakilali itu. Dan sampai akhirnya sebelum Emir pergi dari hadapan mereka. Ia memberikan sebuah bingkai handmade berbentuk setengah hati yang sangat indah berisikan foto Emir saat pertama kali mereka bertemu disawah tak jauh dari sekolah mereka. 

Tapi mas? Kenapa cuma ada gambar Mas Emir? Bukankah waktu itu kita berdua?

Sivia tak mengerti. Sebelum ia bertanya, Emir udah jauh meninggalkannya. Air mata Sivia mulai turun dengan deras. Ia hanya bisa memeluk bingkai itu.

"Sudahlah Siv, dia pasti akan balik." Sebuah kalimat yang keluar dari mulut Cakka.

~~~

Tiga tahun kemudian. Cakka dan Sivia memutuskan untuk pindah ke kota Yogyakarta. Karena saat itu Cakka telah mendapatkan pekerjaan disana, dan Sivia ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Ia mendapatkan beasiswa disalahsatu universitas besar. Selama ia berada di Jogja, Emir jarang menghubunginya lagi. Sama seperti dulu. Mungkin hanya dua kali dalam sebulan. Ataupun tak pernah. Ya, Tidak pernah sama sekali. Ia juga belum pernah bertemu dengan Emir lagi setelah peristiwa bingkai tersebut. Akhir-akhir ini Sivia coba menelpon Emir dari ponselnya, tapi kunjung tak ada jawaban yang berarti.

"Mas Cakka.." kata Sivia yang melihat kakanya telah pulang
"Ya?"
"Mas Emir kok gak pernah telpon Sivia lagi ya?"
"Mungkin dia sibuk"
"Sivia belum ngasih tau Mas Emir kalau kita udah pindah ke Jogja, mas."
"Belum? Kenapa?"
"Sivia gak enak sama Mas Emir"
"Siv, cepat atau lambat, dia pati akan tahu.. Mending kamu kasih tau langsung."
"iya mas, besok Sivia coba telpon Mas Emir lagi"

Beberapa hari Sivia mencoba menghubungi Emir tapi tetap tak ada jawaban. Sampai suatu saat Sivia mengirimkan sebuah surat ke kediaman keluarga Emir di Jakarta. 

Untuk Mas Emir,
dimana pun Mas Emir Berada. 

Hello Mas Emir :)

Mas sibuk ya di Jakarta? Sampaisampai mas gak pernah ngasih kabar ke aku? 
Mas, Sivia kangen sama Mas Emir.. Kangen banget. 
Sivia sekarang udah pindah ke Jogja, soalnya Mas Cakka udah punya kerja di Jogja. 
Mas Emir kapan ke Jogja? Biar kita bisa ketemu lagi.. Udah 3 Tahun mas.
Semoga Mas Emir gak ngelupain Sivia ya.. 
Semoga Mas gak lupa sama katakata Mas Emir waktu itu..
Maaf ya mas, kalau selama ini Sivia ngerepotin mas. 
Soalnya Sivia sayang sama Mas Emir..
Semoga Mas bisa bales surat ini ya..:)

Yours.


Sivia mengirimkan surat itu ke kantor pos. Beberapa minggu berlalu. Berharap surat yang ia kirim mendapat balasan dari lakilaki itu. Sampai suatu sore, sebuah motor orange bertuliskan POS berhenti didepan rumahnya. Sivia yang melihat dari jendela pun langsung berlari keluar dan mendekati motor tersebut. Berharap surat yang diantar olehnya adalah surat balasan Emir.


Tetapi hatinya pupus. Setelah tau bahwa surat yang ia kirim tak sampai pada rumah Emir. Dan satu hal yang membuat Sivia sakit hati adalah alasan surat itu tak sampai, karena keluarga yang telah menempati rumah tersebut telah pindah.


"Kemana mereka? Kemana Emir? Kenapa dia gak ngasih tau ke aku? Emir lupa denganku? ..."
Semua pertanyaan melintas di otak Sivia dalam sekejap.

~~~

Bertahun-tahun berlalu, Sivia telah lulus dari universitasnya. Ia langsung mendapat banyak tawaran dari perusahaan besar diseluruh kota di Indonesia, bahkan diluar negri.

"Siv kamu mau ngambil yang mana?"
"Sivia bingung mas"
"Jakarta aja, biar ketemu sama Emir"

Sivia termenung. Selama bertahuntahun ini dia tak pernah memberitahukan kepada Cakka bahwa Emir tak bisa dihubungi lagi. Dan ia sudah mulai untuk melupakan Emir dari kehidupannya. 

"Mas Emir entah dimana"
"Lah? Kamu gimana?"
"Taulah mas, udahjangan ngomongin dia lagi. Sivia bosen"
"Kok gitu? Bukannya dulu Kamu yang....."
"ah mas udah. Gak usah bahas dia lagi! Sivia capek!"

Sivia langsung masuk ke kamar sambil membanting pintu dan menguncinya. Dia menangis. Memikirkan dimana Emir sekarang. Bagaimana kabarnya. Apakah dia baikbaik saja? Selama semalam suntuk ia bisa berdiri dari tempat tidurnya.

~~~

Suatu sore di taman kota. Phone Sivia berbunyi. Tertulis nama "Mas Cakka" di home screen ponselnya.

"Hello Siv?"
"iya kenapa mas?"
"Kamu lama ya gak nelpon mas."
"hehe maaf mas.. Nanti takut ganggu mas"
"enggalah.. Sivi lagi dimana?"
"ditaman mas"
"wah asik! Gimana suasana?"
"Dingin mas.. Sivia harus pake jaket dobel. Pokonya dingin banget"
"kapankapan ajak mas, Siv. Haha.. Kamu harus kuat loh Siv, baru 2minggu aja udah sakit"
"iya mas.. Hehe cuacanya kan beda jauh sama di indoneisa.. Oia gimana kabar adek Angle?"
"baik aja Siv, makin gendut aja dia"
"boleh ngomong sama dia mas?"
"boleh, tunggu ya"

"halo?"
"hello Angle !" Sivia tersenyum manis.
"Tante Sivia baikbaik aja kan disana?"
"iya Angle.. Angle disana gimana?"
"Angle baikbaik juga.. Ayah sama bunda Angle juga baik"
"Wah baguslah kalau gitu"
"tante, kapankapan ajak Angle kelual negeli tante.. Angle mau ke Aus.. Ausia..  tantee.. Angle mau kesana tante"
"Australia Angle. Ya kapankapan ya.. Pasti tante ajak ke sini"
"yeey"

Terdengar suara telepon yang tergeletak.
"Hallo? Angle?"
"eh. Maaf Siv, si Angle nakal baget"
"hehehe iya gpp mas"
"yaudah ya Siv, nanti pulsa mas abis haha.. Jaga dirikamu baikbaik ya!"
"iya mas! Salam buat semua!"

Hawa dingin semakin menusuk kulit Sivia. Semenjak lusa lalu, Sivia sering berdiam diri ditaman yang tak jauh dari kantornya. Sendiri.. Hanya sendiri. Ia memikirkan kabar Masnya, teman temannya dan semua orang yang pernah ia kenal. Kangen. Sivia kangen Indonesia. Sivia tak menyangka bahwa seorang anak perempuan dari desa kecil akan tinggal di kota besar di luar negri. Tak jarang matanya memanas ketika ia mengingkat perjuangannya. Panjang sekali.

2tahun ia telah tinggal dikota ini. Menikmati kehidupan kota besar. Selama itu juga Sivia selalu berdiam diri ditaman kota. Sampaisampai teman kerjanya dikantor hafal betul kapan saja ia akan pergi ketaman itu.

"Hello" orang asing dengan jaket yang menutupi seluruh badan dan wajahnya itu menyapa Sivia disampingnya.
"Hai"
"Whats your name?"
"Sivia" melontarkan senyuman manis.
"Are you Indonesian?"
"Yeah of course"
"Oh.. Hi!"
"Indonesian too?"
"Iya!"

Sivia terdiam. 
Ternyata ada juga Indonesian disini. Ia berbicara dalam benaknya.
"kamu kerja disini?" tanya orang itu
"iya.." Di kantor itu" sambil menunjuk.

"udah lama?"
"ya sebulan. Kamu?"
"haha entahlah"

Mereka bercengkrama dengan santainya. Menunggu matahari terbenam dan merekapun pulang ke rumah masingmasing. Esoknya, orang itu kembali menyapa Sivia. Dalam waktu satu minggu, ia sudah bisa membuat Sivia nyaman dengannya. Tak jarang orang itu menjajani Sivia. Merekapun saling bertukar nomer telepon.

"maaf, nama kamu siapa?"
"kamu gak tau?"
"engga.. Maaf"
"yasudah.."

Dia diam. Sivia mengerutkan dahinya.

"Jadi?"
"apa?"
"Nama kamu?"
"terserah kamu"
"kok?"

Ia hanya tersenyum.
Akhirnya Sivia menuliskan "The Boy" di contact phonenya

Selama setahun ia masih menyembunyikan identitasnya dihadapan Sivia. Akrab. Akrab. Dan akrab. Mereka semakin dekat. Meskipun ia tak tahu nama lakilaki itu siapa. Tapi mereka kelihatan seperti bersahabat sejak kecil. Beberapa kali mereka pernah jalan bersama mengelilingi kota tempat mereka bekerja.

Sampai suatu saat dia mengajak Sivia kesebuah taman lain. Tempat yang lebih indah. Mereka duduk disebelah air mancur. Bermulai dengan basa basi. Dia memainkan gitar untuk Sivia didepan umum. Yang awalnya hanya bercanda. Tibatiba wajahnya menjadi serius.

"Kenapa? Ada masalah?" tanya Sivia
"...."
"Gapapa ngomong aja.. Aku bisa menjadi pendengar yang baik"
"aku mau serius dikit." Sambil menghelakan napas
"aku mau jujur"
".... iya kenapa?"
"maaf ya selama ini aku menghilang"
"what do you mean? You just stay with me everyday"
"but.. Before that..."

Dia memegang dagu Sivia dan mengarahkan mata Sivia kematanya.
Sivia seperti ingat sesuatu. Tapi ia tak bisa mengingatkannya lagi. Seperti kertas yang telah menyatu dengan tanah. Pikirannya tak bisa berpikir terlalu jauh. Sivia sudah memendam kertas itu. Bibir manisnya tak bisa berkatakata. Alisnya hanya bisa melipat. Ia menutup mata dan merundukkan kepalanya. Mencoba mencari kunci gerbang kenangan masa lalunya.

Lelaki itu tetap berada disampingnya. Seperti membantu mengingatkan kenangan Sivia.

"E, Emir?!" Bibirnya mengucap tanpa sadar, Sivia pun membuka mata.
Lakilaki itu hanya tersenyum.
"Bukan! Kamu bukan Emir! Bukan!" Sivia menjauh darinya.
"Aku.. Kamu lupa?"
"ta..ta..pi..ke..na..pa..ka..mu....." matanya mulai panas
"maaf, Siv.. Maaf"

Sivia ingin berlari dari tempat ini. Ia menarik tasnya. Tetapi, ditahan oleh pria yang mengaku Emir itu. Tak sengaja bingkai yang sudah hilang itu teratuh dari tas Sivia. Seperti air mata Sivia yang sudah tak bisa dibendung lagi.

Ia mengambil frame itu dan mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Dan ternyata.. 
Apa yang ditunggu Sivia selama ini dan sempat ia lupakan itu akhirnya datang kembali. Kembali menemani disisinya. Setengah bagian dari bingkai yang selalu dipertanyakan Sivia, keluar dari saku jaket laki-laki itu. Kini melengkapi bingkai Sivia. 

"Benar, ini Emir." kata hati Sivia. Tapi disisi lain..
"Emir? hah? Kemana aja dia selama ini? Saat kamu susah? Dimana dia? Halah, Laki-laki kaya gini gak bisa dipercaya! Tinggalin aja Siv! Gak penting!"

Melihat itu, Sivia pun lari meninggalkan tas dan bingkai itu ditangan Emir. Entah kemana ia berlari. Entah sampai kapan ia akan menjauh dari Emir. Sampai ia puas berlari.


Seminggu setelah kejadian itu. Sivia tak pernah masuk bekerja.Termasuk, ia tak pernah ke taman itu dan bertemu dia. 
Sementara dia tetap menunggu kehadiran Sivia ditaman itu. Ia tak tahu harus berbuat apa, dia tak tahu Sivia dimana.

Suatu pagi, Emir mencoba mendatangi kantor Sivia. Tapi, nihil. Ia mencoba datang ke apartment Sivia. Ya, sama. Nihil. Sampai ia binggung harus kemana. Tak ada satupun jalan yang bisa ia tempuh. Kecuali hanya duduk ditaman.

Berhari-hari.. Berminggu-minggu ia tak bertemu dg Sivia. Sampai suatu saat ia memutuskan untuk pulang kembali ke tanah airnya yang paling ia rindukan. Hanya untuk mencari Sivia. 
Dari Melbourne International Airport ia bertolak ke Adi Sucipto Airport. 
Semalam sebelum ia berangkat. Banyak keraguan. Emir sangat sulit untuk meyakinkan niatnya  untuk kembali ke negara aslinya. Dia yakin bahwa Sivia masih ada disekitar sini. Tiket sudah berada digenggamnya. 
Esoknya, ia datang lebih awal. menunggu di airport. Duduk disebuah cafe sambil memandang bingkai yang pernah ia buat untuk orang yang paling ia sayangi. Karena kebimbangan yang menimpa dirinya sejak kemarin pun, memaksa dia untuk berpikir ulang.

“Balik? Untuk apa aku balik jika Sivia masih berada disini?”
Sambil mengeluarkan ponselnya, Emir mencoba untuk menelpon Sivia. Yah, dunia sudah terbalik. Sekarang Emir tau bagaimana jika ditinggal begitu saja, dan tanpa meninggalkan sesuatu yang berkesan. Kecuali kesan pahit. Sivia sudah terlanjut membencinya.

Akhirnya, panggilan untuk para penumpang menuju Adi Sucipto Airport terdengar oleh telinga Emir. Yang semakin membuat dia binggung. Dia harus memutuskan suatu keputusan yang berat, pada saat itu juga. Detik berlalu begitu saja. Emir masih sibuk memikirkan putusannya itu. Sampai panggilan terakhir untuk pesawat yang akan membawa Emir ke Yogyakarta itu diumumkan. Emir segera menuju kedalam bandara dan check in. Tetapi. Jarak antara café dan gate yang dibayangkan Emir hanya sejengkal, teryata tidak. Ia harus berlarian dengan cepat menuju gatenya. Melewati banyak orang di tengah kerumunan.
Tiba-tiba salah seorang yang lewat persis disebelah Emir, menarik perhatiannya. Emir segera menengok kebelakang. Tanpa ia melihat wajahnya. Tanpa ia harus bertanya namanya. Tanpa harus memandang matanya. Tanpa harus melihat senyumnya. Emir mencari Seseorang itu, meninggalkan pesawat yang telah menunggunya.
Bodoh memang. Melakukan hal yang gila ini. Mengejar seseorang yang tak diketahuinya, dan meninggalkan pesawat untuk bertemu Sivia. Sekarang? Emir tak berhasil menemukan seseorang itu, dan ditinggal oleh pesawatnya.

Emir duduk ditempat yang sepi. Persis dibelakang tangga yang tak terlihat oleh seseorang pun. Menyesali apa yang sudah dilakukannya.

“Emir, lo kenapa? Kenapa lo harus ngejar seseorang yang lo gak kenal? Sekarang apa? Ketemu Orang itu? Sivia? ENGGA!! Kenapa lo harus ngelakuin itu?! Kenapa lo harus nyakitin hati Sivia sampai dia sebenci itu sama lo?!”

Disisi lain..

“Gue salah apa? Gue sayang sama dia! Gue sayang Sivia!  Gue masih setia sama dia! Emang gue salah. Iya gue ngaku salah. Tapi harusnya dia ngertilah. Bukannya gue aja yang harus ngerti dia.”

“Apasih lo! Mir, gue bilanginya. Lo itu Egois. Gak mentingin hati perempuan. Lo itu ga punya perasaan. Pria gak punya perasaan sedikit pun sama perempuan. Hati lo itu udah keras. Kaya Batu.”

Kepala Emir sudah penuh dengan kalimat-kalimat aneh dan kalimat itu selalu berputar dipikirannya. Membuat Emir semakin penat dengan keadaan yang terpojok ini.

“Ya. Harusnya gue gak pentes buat cari Sivia lagi. Sivia udah terlanjur benci sama gue. Anak desa yang sok sibuk di Jakarta. Otak lo, lo taro mana Mir? Lebih milih Jakarta dibanding Sivia! Payah lo Mir. Gue…”


“Emir?” Terdengar suara lembut yang memanggil namanya.
Emir mencari sumber suara itu. Terlihat siluet seseorang perempuan ada dihadapannya.
“Emir? Kamu kenapa disini?”
Emir berdiri. Dan… ya..
“Mir? Kamu baikkan? Kok keringetan gitu? Dan wajah kamu pucet banget.. kamu mau minum?”



Tanpa berpikir lagi emir segera memeluk wanita itu. Yang gak lain Sivia. Yang membuat ia terkejut.

“Kamu gak marah lagikan sama aku?”

“marah? Hah lupakan”
“Maaf Sivia.. Mas Emir ninggalin kamu. Sekarang aku tahu, bagaimana rasanya menjadi kamu. Mas janji, aku gak, gak, dan enggak ninggalin kamu lagi SIv! Mas janji akan menjaga kamu selama-lama-lama-lama-lama-lamanya. Aku janji gak akan egois lagi, aku akan mencoba belajar mengerti hati wanita, khususnya hati kamu. Siv..”
“ya mas?”
“Sivia mau maafin Mas Emir kan?”

Emir mangangkat jari kelingkingnya. 

“iya gapapa mas, Sivia akan selalu memafkan Mas Emir :)”
Dan.. Sivia pun membalas jari kelingking Emir..
Memberikan setengah bingkai itu kepada Sivia, menyatukan kembali dan mereka berdua tersenyum dengan sangat manis. 



END

4 komentar:

  1. so sweet banget minn <3333

    BalasHapus
  2. Lucu banget min pake mas emir gitu hahaha:))

    BalasHapus
  3. mas emiiiirrr <3 <3

    BalasHapus
  4. unyu banget ahaha udah baca cerita ini dua kali tetep ajaa wkwk

    BalasHapus